News

Guyuran November di Pendopo Walikota Bandung: Variasi Musik Lintas Negara di Tikpul Bandung

November akan basah. Di tengahnya, ada empat Rabu malam di Pendopo Wali Kota Bandung yang patut ditandai. Tikpul, Titik Kumpul Bandung, akan menggelar episode 144 hingga 147. Bukan sekadar konser namun ini soal pertemuan.

Rabu, 5 November, episode 144 membuka dengan “Kinarya Maestro”, membawakan karya-karya Nano S. Almarhum. Namanya disebut lewat musik yang ia tinggalkan, dimainkan oleh Sanggar Seni Purbaning Laras. Ini bukan sekadar konser memorial. Ini soal bagaimana karya seorang maestro tetap hidup, terus bernapas, bahkan setelah penciptanya pergi. Malam itu, Pendopo akan jadi ruang di mana musik menjadi cara kita mengingat, dan melanjutkan.

Seminggu kemudian, 12 November, episode 145 datang dengan dua wajah. Pertama: Suarajiwa. Tiga musisi elektronik dari Corsica—Olivier Bertholet, Pasqua Pancrazi, Laurent Gueirard bertemu lima musisi Indonesia: Aji Widyadhana Pangestu, Sumitra Adi Kusuma, Chaerul, Embung Surya Muhammad, Mahindra Askandar. Sepuluh hari mereka bekerja di Jakarta,
menghasilkan repertoar yang tak akan ditemui di algoritma streaming.

Synthesizer berhadapan dengan suling. Sequencer berdampingan gambang kromong. Avant-garde Eropa mencari bahasa bersama dengan akustik Betawi dan Melayu. Ini bukan fusion yang mudah dicerna. Yang akan lahir adalah ketegangan kreatif yang disengaja, dialog sesungguhnya, lengkap
dengan kerumitannya.

Malam yang sama, bagian kedua: charity untuk Kang Bubun. Agam Hamzah Trio, G Five bersama Mamay Soemantri, Dwiki Darmawan, Rudy Zulkarnaen, Adisty, Ral/G Prof, Elsembrero. Mereka berkumpul bukan untuk parade virtuositas. Seseorang membutuhkan, mereka datang. Dalam bahasa musik, charity bukan derma yang dingin. Ia solidaritas yang bersuara.

Rabu, 19 November, episode 146 mengambil tema “Ngabuana”. Kyai Fatahillah dari UPI Bandung, Jampi Gypsy dari jalanan Bandung, Nick Djaga dari Belanda. Kampus, urban, diaspora bertemu di satu panggung. Ngabuana bukan perpindahan geografis. Ia soal mental: menemukan
rumah di mana pun musik dimainkan.

Kyai Fatahillah, ensambel gamelan yang didirikan 1994 itu, adalah salah satu kelompok gamelan kontemporer terkemuka. Mereka telah membawa musik gamelan Sunda ke Berlin, Belanda, hingga berbagai panggung internasional. Jampi Gypsy membawa warna berbeda: energi urban yang gelisah, mantra jalanan yang berpadu dengan akar etnik. Nick Djaga dari Belanda melengkapi trio ini dengan perspektif diaspora: suara dari luar yang justru mengingatkan kita pada akar.

Rabu terakhir, 26 November, episode 147: “Showcase”. Radja Kucluk, Yujeng dan kawan-kawan dari Bandung, berhadapan dengan Gala Resonant dari Sumatera Barat. Sunda dan Minangkabau. Dua tradisi, dua cara memahami harmoni. Ini bukan kompetisi. Showcase di sini bukan etalase. Ia ruang belajar bersama, tempat perbedaan disajikan sebagai kekayaan, bukan ancaman.

Pendopo Wali Kota sepanjang November ini akan jadi lebih dari venue. Ia ruang publik yang demokratis. Siapa pun bisa datang, mahasiswa, buruh, birokrat, seniman, dan duduk tanpa sekat. Tikpul membuktikan sesuatu sederhana: budaya tak selalu butuh gedung megah. Kadang ia cukup
hadir dengan instrumen, listrik, dan ketulusan.

Yang menarik dari empat episode ini: keberagaman yang tak kehilangan benang merah. Dari maestro hingga musisi muda, dari charity hingga showcase, dari lokal hingga internasional. Semuanya terikat satu hal: musik sebagai ruang demokratis. Di Tikpul tidak ada VIP eksklusif. Yang ada adalah panggung terbuka, penonton yang mendengarkan dengan hormat.

November di Bandung memang selalu basah. Tapi jangan biarkan guyuran menghalangi langkah ke Pendopo. Justru di tengah dingin dan basah itulah musik terasa lebih bermakna, seperti api di malam kelam. Tikpul, dengan empat Rabu malamnya, mengingatkan: di dunia yang terfragmentasi, masih ada tempat di mana orang berkumpul bukan untuk berdebat.

Mereka datang untuk mendengarkan. Dan mendengarkan, kadang, adalah bentuk kebijaksanaan tertinggi.

Anda yang tertarik bergabung silakan hadir tiap rabu malam di Pendopo Walikota Bandung, Jln Dalem Kaum No.56.

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Zaki Peniti +6281320515882

Agus Setiawan Basuni

Pernah meliput Montreux Jazz Festival, North Sea Jazz Festival, Vancouver Jazz Festival, Chicago Blues Festival, Mosaic Music Festival Singapura, Hua Hin Jazz Festival Thailand, dan banyak festival lain diberbagai belahan dunia.

Bob Anwar

Sastrawan & musisi asal Kota Bandung. Tulisannya berupa esai & puisi tersebar di media seperti Kompas, Tempo, Republika, Jawapos, Pikiran Rakyat, Kalam, dan lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker