Festival

OPEN AIR JAZZ FESTIVAL 2002

OPEN AIR JAZZ FESTIVAL 2002:
Upaya untuk Mencari Nafas Baru Dalam Panggung Jazz di Indonesia

Meskipun sejak beberapa tahun terakhir ini acara festival jazz internasional JakJazz absen, masih ada saja pihak yang ingin tetap mengangkat musik jazz melalui panggung hiburan dan apresiasi di Indonesia sekarang ini. Upaya ini pada kenyataannya telah direalisasikan oleh Yayasan Daya Bina Budaya di bawah pimpinan Tjut Nyak Deviana Daudsjah. Setelah dirintisnya sejak dua tahun terakhir ini Deviana bisa berharap acara Indonesia Open Jazz bisa menjadi kegiatan rutin tiap tahunnya. Pada tahun ini rangkaian acara diselenggarakan dari tanggal 8 Agustus – 18 Agustus 2002. Berbagai program acara diselenggarakan, dari beberapa workshop di kelas, pentas di Ancol sampai pertunjukan di Istana Negara pada jamuan makan malam di hari kemerdekaan Republik Indonesia. Musisi yang terlibat tidak hanya dari Jakarta saja namun ada yang dari Bali, Yogyakarta dan Jerman. Selain itu juga tempat penyelenggaraannya tidak hanya di Jakarta saja, di Bali juga diselenggarakan acara serupa. Meskipun pada awalnya direncanakan pula untuk membawa para musisi tersebut ke Yogyakarta, namun karena ada kendala teknis dan financial acara tersebut urung diselenggarakan di kota budaya tersebut.

Pada hari Sabtu (10/08) kemarin bersamaan dengan hujan gerimis yang melanda di sebagian Jakarta untuk beberapa saat, dengan tetap tegar dan hangat salah satu rangkaian acara Indonesia Open Jazz 2002 yang bertajuk Open Air Jazz Festival diselenggarakan di panggung Pantai Indah Ancol tetap berjalan. Ada 10 kelompok / band yang ikut menghibur penonton dari jam 16.30 WIB sampai tengah malam. Mulai dari Marching Band dari UI, dua kelompok band dari Institut Musik Daya (IMD), Yogya Jazz Band, sebuah band bercorak latin jazz, Angelique Sextet, Marusya Ensemble, Balawan Trio, Daya Big Band serta pada akhir acara tampil sebuah sextet kolaborasi antara beberapa pemain jazz dari Jerman dan Indonesia.

Ketika acaranya dimulai masih sedikit penonton yang menyaksikan, apalagi ketika Marching Band UI tampil. Mereka membawakan beberapa repertoar standar musik jazz dengan aransemen dan konfigurasi khas Marching Band pada umumnya. Ada persinggungan antara Marching Band dengan musik jazz. Terutama dalam hal aransemen bagian alat tiupnya seperti dalam tradisi big band. Demikian juga dengan banyaknya brass band yang ada di New Orleans yang mempengaruhi kelahiran dan perkembangan musik jazz. Tidak lama setelah Marching Band UI tersebut bubar jalan, acara diinterupsi karena menjelang waktu Maghrib. Baru kemudian masuk sebuah band dari IMD I yang digeber dengan komposisinya Miles Davis yang berjudul ‘Milestone’ dan cukup percaya diri untuk membawakan komposisi standar yang lain seperti ‘Softly As A Morning Sunrise’. Urutan berikutnya tampil IMD II, yang masih membawakan komposisi standar seperti ‘The Song is You’ dan yang lain-lain. Satu hal yang patut diperhatikan adalah masih adanya goodwill dari para pemain muda untuk tampil dalam format instrumen maupun dalam memainkan karya-karya jazz yang populer. Seperti diketahui publik jazz bahwa komposisi modal ‘Milestone’ dikenal cukup sulit dimainkan. Sekalipun masih terlihat kaku, formal ataupun keterbatasan penguasaan teknis masih ada keberanian mereka untuk unjuk gigi. Mereka semua adalah murid dari IMD.

Salah satu line up, sebuah kelompok dari Yogyakarta tampil pada giliran berikutnya. Mereka antara lain adalah Agung (bass), Yosias (piano), Yohanes (trombone), Tutik Ardhi (vokal) dan BJ (drum). Dibuka dengan sebuah tembang yang bernuansa kental blues diganggu oleh “keributan” di speaker depan panggung. ‘In A Sentimental Mood’ dibuka dengan solo gesekan bass akustik Agung dengan suara yang kurang jelas. Tutik mencoba membawakan aksen dan improvisasi yang tidak jelek dalam menyanyikan ‘Honeysuckle Rose’. Pada umumnya kelompok ini berusaha untuk tampil dengan alami, organis dan lebih memperlihatkan unsur swingnya. Festival ini tidak ketinggalan pula dengan menampilkan sebuah band latin yang digawangi oleh Irsa Desfitri dan kawan-kawan. Salah satu komposisi yang mereka bawakan adalah ‘Armando’s Rumba’-nya Chick Corea. Menurut pendapat salah satu penonton yang hadir, “musik jazz bergaya latin itu selalu menarik. Namun jangan terlalu sering didengar, ntar cepat bosan”.

Pada urutan berikutnya tampil sebuah sextet yang terdiri dari beberapa siswa dari Jazz & Rockschule Freiburg Jerman. Kelompok ini bernama Angelique Sextet yang terdiri dari Angela Wiedemer(Vocals), Wolfgang Zumpe – (Trumpet), Christian Hauser (Guitar), T.L Mazumdar(Piano), Peter Steinbach (Double Bass) dan Martin Tront(Drums). Dalam kesempatan tersebut mereka menampilkan ‘Moon and Sand’, ‘James’- nya Pat Metheny, ‘Bags Groove’ dan lain-lain. Ada aransemen menarik dan hangat ketika mereka mainkan dalam ‘Night In Tunisia’. Tone yang bagus sudah muncul dari pemain trumpet maupun flugelhorn-nya. Dan pemain bassnya memang cukup berani membuat pola yang tematis untuk countermelody-nya. Secara kasar dari penampilan mereka mengisyaratkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktunya dalam jalur pendidikan formal di sekolahan untuk belajar musik jazz daripada di jazz club. Salah satu faktor yang mereka perlihatkan adalah mereka masih membaca transkrip musiknya di atas panggung kecuali pemain gitarnya. Seorang penonton dengan singkat mengatakan, “mereka kurang nge-swing”. Dua malam sebelum itu (8/08), mereka tampil pula di Goethe Haus dengan materi maupun gaya permainan yang mereka mainkan kurang lebih sama.

Memang di luar apakah itu masih menonjol irama swingnya atau tidak, tentunya secara umum dapat dilihat perkembangan musik jazz di luar Amerika sendiri di mana mereka sudah tidak tergantung lagi dengan “jazz murni” yang swing + blues. Apalagi ada perkembangan yang sangat signifikan jazz di Eropa mengingat sejarahnya juga berbeda. Ketika Deviana tampil bersama Karoline Hoefler (bass), Thomas Faist (saxophone), Peter Tuscher (trumpet), Guenter Weiss (gitar) dan Sri Aksana Syuman (drum) sebagai band penutup pun tidak terlepas dari stereotipe seperti di atas. Apakah sah untuk memunculkan istilah “Eropean Jazz” atau lebih amannya saja jazz di Eropa ataupun jazz di ujung dunia manapun. Tentunya mereka berhak juga untuk melakukan interpretasi dengan masing-masing ide dan gagasan yang kreatif akan musik jazz tersebut. Lebih lanjut lagi pada umumnya para musisi sekarang lebih senang jika mengatakan it’s just music.

Sebenarnya fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kelompok Krakatau (terutama dengan dua album terakhir mereka) atau malah Deviana bersama big bandnya yang sering tampil dengan mencoba mengolah kembali materi-materi tradisional dari berbagai tempat di Indonesia dengan musik jazz. Krakatau tampil dengan mengambil karakter khas ritmik tradisional yang menghentak-hentak dan tangga nada slendro dari beberapa daerah di Indonesia digabungkan style fusion namun ada juga yang mencoba untuk meng-swing-kan komposisi tradisional ilir-ilir misalnya.

Justru yang tidak kalah menarik disimak pula dengan penampilan Marusya Ensemble pimpinan seorang dosen komposisi dari Institut Kesenian Jakarta, Marusya Nainggolan. Ensemble ini terdiri dari Adnan (gitar akustik), Ponki (gitar listrik), Arif (bass), Taufan (kendang Bali), Danny (kendang sunda), Jimmy (conga), Vonty, Riza, Kristian (berbagai macam alat perkusi) dan Marusya Nainggolan sendiri bermain piano dan perkusi. Kelompok yang baru-baru ini juga tampil di Festival Gamelan Yogyakarta pada panggung Open Air Jazz Festival menampilkan komposisi ‘Dialog dengan Musik’ dan ‘Juwita Malam’-nya Ismail Marzuki. Gaya yang mereka tampilkan cukup multidisipliner. Paduan aksen klasik, avant garde, jazz, musik tradisional digarap dengan unik oleh mereka. Terkesan dengan spirit yang lebih terbuka dalam bermusik, mereka serius untuk menangkap pesan-pesan yang lebih universal dari esensi musik itu.

Bintang panggung pada malam itu sebenarnya ada di pundak seorang gitaris dari Bali, I Wayan Balawan yang akrab disapa Balawan. Ia didukung oleh Jeffrey Tahalele (bass) dan Eddie Syahroni (drum). Orang bilang gitaris ini sebagai Stanley Jordan-nya Indonesia. Bermodal penguasaan teknis tapping yang gesit dan cepat serta penggunaan sampling midi pada gitarnya, dia tampil memukau penonton dengan membawakan komposisi ‘Stolen Moments’, ‘St. Thomas’ dan lain-lain. Di salah satu selingan ketika pemain lain masih membereskan instrumennya, Balawan malah memain sebuah tembang India yang akhir-akhir ini sangat populer di Indonesia ‘Kuch Kuch Hotai Hai’ lengkap dengan suara sitar dan tabla memalui senar gitarnya.

Ada suatu hal yang barangkali rasanya kurang mengenakkan pada malam itu. Mengapa pertunjukan ini tidak banyak dihadiri oleh penonton? Apakah karena terjadi perubahan tempat pertunjukan dari Plaza Senayan ke Ancol? Hujan? Atau panitia kurang promosi? atau masalah yang lain. Untuk menghibur diri barangkali dapat juga diartikan dengan yang sedikit itu bisa lebih berkualitas dari pada yang banyak. Ada juga beberapa kekurangan yang tidak kalah penting, yaitu jadwal acara Open Air Jazz Festival 2002 secara detail yang tidak disediakan oleh panitia dan kurangnya layanan makanan, minuman maupun bentuk-bentuk merchandise lain yang berkaitan dengan musik jazz di dalam arena festival ini.

Tentunya para pecinta jazz tidak lupa pula menaruh harapan tentang penyelenggaraan JakJazz di tahun-tahun depan dapat terlaksana kembali. Dengan diselenggarakannya berbagai festival musik jazz di Indonesia yang berkelas nasional maupun internasional secara konsisten dan profesional tentunya menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi keberadaan musik jazz di Indonesia di mata internasional. Sehingga detak jantung kehidupan musik jazz di Indonesia dapat berjalan lagi.

Ceto Mundiarso

Pencinta buku yang banyak menelisik filosofi. Pernah menghadiri Konferensi Ekonomi Kreatif di Inggris. Merupakan bagian penting pada riset di WartaJazz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker