Saat Genderang Bali Jazz Festival 2005 Mulai Berdentum
Dari koridor Hard Rock Hotel Bali lantai 2 yang menghadap ke arah pantai, dari kejauhan sunset di Jum’at sore (19/11) tersebut terasa begitu nikmat dengan langit yang cukup cerah. Kenikmatan suasana sore tersebut terasa tertambah lagi dengan penampilan Imam Pras Quartet dengan bintang tamu pianis, vokalis, akordionis cantik muda mojang priyangan Imel Rosalin yang membawakan irama modern swing namun tetap santai. Mereka tampil sebagai kelompok pertama dimulainya ajang festival musik jazz terbesar di Pulau Dewata menjelang akhir tahun ini.
Ada 2 panggung yang disediakan panitia dalam menampung 38 group yang ikut meramaikan festival jazz selama tiga hari ini. Pertama panggung utama, yang berada di Sand Island Hard Rock Hotel. Dibangun di atas air di antara pulau pasir buatan dengan koridor belakang Hard Rock Café. Pulau pasir tersebut dikelilingi oleh kolam renang besar sehingga mencitrakan sebagai tempat yang eksotis. Untuk dapat sampai tepat di depan panggungnya telah disediakan beberapa jembatan yang menghubungkan pulau tersebut dengan Hard Rock Hotel dan Hard Rock Café. Ditambah lagi pada malam hari, muncul kesan dan suasana romantis dengan adanya beberapa sinar lampu yang menghiasi tempat tersebut.
Sedangkan panggung keduanya adalah di Hard Rock Café yang suasana dan interiornya sangat khas tersebut. Seperti yang dikatakan dalam poster festival ini, tiga hari penuh ng-jazz di tempat yang ngerock. Para penonton dapat secara bebas menikmati pertunjukan di kedua panggung tersebut, tanpa ada charge tambahan. Jadwal pertunjukan memang belum sepadat seperti berbagai festival jazz kelas dunia yang lain namun penonton sepertinya harus cukup jeli untuk dapat memilih pertunjukan mana yang menarik baginya.
Kita kembali ke kelompok Imam Pras, yang dalam kesempatan ini dibantu oleh Rudi Aru (akustik bass), Ari Aru (drum) dan Boyke (saxophone). Sementara Imam Pras sendiri bermain piano. Secara keseluruhan, mereka dapat dikatakan sebagai pendatang baru yang masih segar dalam kancah musik jazz di Indonesia. Dalam hal membaca irama bopnya sudah mulai lancar meski belum terasa bebas.
Kesempatan berikutnya di atas panggung yang sama, tampil pianis kecil dari Bandung Zefanya Hartani Putera dengan diiringi oleh para pemain dari Rudi Aru dkk. Dari tangannya yang masih mungil, keluar nada-nada yang tertata sehingga kita dapat tahu kalau yang dimainkannya adalah ‘All The Things You Are’ atau pun ‘Blue Bossa’. Masih terbaca dengan cukup mudah jejaknya kalau Zefa terdidik dalam musik klasik. Meskipun hal tersebut sama sekali tidak mengganggu penampilannya dalam berimprovisasi. Nada-nada yang dirajutnya cukup manis.
Beberapa saat kemudian, kita dibawa ke dalam suasana dan nuansa yang berbeda. Sebuah kelompok lokal yang bernama Soulmate dengan bintang tamu Maya Hasan (harpa) dan Riwin (gitar) muncul di atas panggung dengan lapisan warna musikal yang sedikit berbeda. Unsur jazznya juga masih mudah dirasa, terutama dalam format yang lebih modern dan dihiasi dengan cukup kuat corak-corak world music dan new age. Gaya-gaya seperti ini sering dilakukan sebagai kampanye mengenai isu-isu kemanusiaan, perdamaian dan masalah lingkungan hidup. Kelompok yang baru saja didirikan pada tahun 2005 ini terdiri dari Eko Soemarsono (akustik bass), Boogie Prasetyo (drum), Gede Yudhana (gitar), Ketut Rico (keyboard), Amy Rosady (voice), Barokh Khan (sitar & tabla). Mereka menampilkan komposisi mereka sendiri seperti ‘Dewiku’, ‘Kesari’, ‘Fashion’ dan ‘Meith’.
Seperti yang dikatakan panitia dalam kesempatan konferensi pers sore harinya, bahwa festival ini mencoba untuk menampilkan berbagai warna variasi dalam musik jazz. Tidak hanya menampilkan gaya fusion atau mainstream semata. Hal ini terbukti dalam penampilan Joe Rosenberg Quartet yang mengajak para penonton untuk memasuki wilayah yang lebih abstrak lagi dalam musik jazz. Masih cukup beruntung kalau melodi yang masih relatif mudah terbaca meskipun rhythm sectionnya seolah-olah lari kesana kemari. Di Eropa popular sebutannya dengan improvised music atau free music. Nuansa yang mereka hasilkan cenderung gelap, berkabut namun dengan tingkat emosional yang cukup peka. Terutama sebuah komposisi yang dipersembahkan untuk musisi jazz Indonesia yang pada minggu lalu meninggal dunia karena menjadi salah satu korban bom di Aman Yordania, Perry Pattiselanno. Komposisi tersebut sepertinya disambung dengan komposisi yang sedikit lebih cepat denyut nadinya dengan gamelan Bali sebagai inspirasinya. Joe Rosenberg tampil bermain sopran saxophone dan bass klarinet, sementara yang lain adalah Masako Hamamura (piano), Sri Aksana Sjuman (drum) dan Peter Scherr (bass).
Dua penampil terakhir di Main Stage adalah dua tokoh dan kelompok terkemuka dalam blantika musik jazz di Indonesia yaitu Bubi Chen dan Krakatau. Majalah jazz terkemuka Downbeat pernah mengomentari penampilan Bubi Chen sebagai “Art Tatum-nya Asia”. Permainannya tidak dapat disangsingkan lagi. Meski usia sudah memasuki 66 tahun, pianis yang tergabung dalam Indonesian All Stars pada tahun 1967 ini tetap ingin menunjukan bahwa dia adalah tipe pianis jazz yang perfeksionis. Style yang ditampilakannya pun cukup lentur, dari dixieland sampai fusion bahkan pop dengan penguasaan dan pengetahun teknis maupun ekspresi yang matang. Tampil dalam festival ini diringi oleh rekan-rekan lamanya seperti Oele Pattisellano (gitar), Jacky Pattiselanno (drum), Jeffrey Tahalele (akustik bass), Benny Likumahua (trombone) dengan bintang tamu vokalis jazz terkenal Bertha. Penampilan mereka masih memukau penonton dengan menyuguhkan koleksi-koleksi jazz standard dengan improvisasi yang menawan. Dalam kesempatan ini juga terdapat moment yang mengesankan banyak penonton ketika penyanyi cilik yang tidak lain adalah puteri dari Bertha sendiri tampil menyanyikan ‘Over The Rainbow’.
Dua tahun terakhir ini Krakatau disibukan oleh tour mereka di kawasan Amerika Utara dan Eropa. Apa yang membuatnya menarik dari kalangan musik internasional adalah mereka mencoba mempertemukan system diatonik barat dan pentatonik dari sebagian kawasan tradisi kesenian Indonesia yang khas dan diperkuat dengan improvisasi musik jazz dalam formasi lazimnya sebuah band. Visinya jauh berbeda memang dengan apa yang kita kenal pada awal-awal pembentukan 24 tahun yang lalu. Tampil dalam BJF 2005 ini dengan formasi Dwiki Darmawan (piano & keyboard), Pra Budi Dharma (bass), Adhe Rudhiana (kendang & perkusi), Yoyon Dharsono (berbagai instrumen tradisional), Zaenal Arifin (gamelan & perkusi), Gerry Herb (drum) dan Nya Ina Raseuki atau yang kita kenal dengan nama Ubiet (vokal). Mereka tampil dalam beberapa komposisi yang menantang dari beberapa album terakhir ‘Mystical Mist’ dan ‘Egrang Shuffle’.
Sementara itu dari panggung Hard Rock Café, pada putaran pertama yang baru mulai sekitar jam 7.30 tampil sekelompok band anak muda dari Jepang yang menamakan diri dengan Piece Of Cake. Dari beberapa lagu yang mereka tampilkan lebih banyak memuat unsur musik popnya dengan sedikit bumbu kesan jazzy. Mereka terdiri dari Shohei Nomura (vokal & gitar), Takamune Nomura (bass), Emi Higuchi (vokal), Susumu Miyagawa (gitar), Tomosaburo Yada (keyboard) dan Yusuke Shimizu (drum). Sayang, barangkali mereka tampil masih “sore”, suasana HRC belum memperlihatkan kemeriahan dalam menyambut band ini.
Setelah Piece Of Cake turun panggung, mulai bersiap-siap sekelompok muda dari Yogyakarta yang mencoba tampil bermain jazz dengan nama Jaco Quartet. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Menariknya, mereka tidak ragu-ragu dalam menampilkan karya mereka sendiri yang lebih mengacu kepada modern jazz yang diantaranya adalah ‘Java 2005’, ‘Discover’ dan ‘BAJ’. Kadang-kadang improvisasi mereka terkesan nakal, menginginkan sesuatu yang bertabrakan. Pada bagian akhir pertunjukannya tampil vokalis Tuti Ardhi yang menyanyikan ‘Old Devil Moon’. Jacko Quartet ini terdiri dari Jacko (gitar), Helmy (bass), Donna (saxophone) dan BJ (drum).
Yuri Mahatma Band tampil dengan eksplorasi yang cukup berani. Cenderung seperti membuat komposisi model musik kamar dan groove musik etnis, meskipun masih menyisakan mood jazznya. Kesan tertata, rapi dan tertutup keluar dari permainan mereka yang terdiri dari Yuri Mahatma (gitar), Agung (bass), Steve Bolton (drum), Masaaki Suzuki (trumpet) dan M Tominaga (saxophone).
Riza Arshad (keyboard), Tohpati ‘Bontot’ Ario Hutomo (gitar), Aditya Pratama (bass) dan Endang Ramdan (perkusi) yang bersatu dengan nama simakDialog ini dalam kesempatan ini sepertinya kurang greget, mengambang dan dingin. Sebenarnya mereka mencoba untuk menampilkan komposisi karya sendiri yang menantang dengan menawarkan suguhan campuran jazz dengan beberapa musik etnis yang eksploratif. Atau barangkali suasana HRC yang kurang mendukung, di mana pada waktu mereka tampil pengunjungnya mulai ramai.
Suasana HRC semakin meriah ketika tampil kelompok baru yang sedang naik daun dalam industri musik di Indonesia yaitu Parkdrive. Wilayah garapan mereka sebenarnya masih menitik beratkan ke dalam jenis musik pop namun dengan sedikit hiasan dengan jazzy, soul dan funk. Kalau sekedar datang menikmati suasana memang cocok sekali untuk dinikmati musik yang mereka suguhkan. Beberapa hits mereka akhir-akhir ini juga sempat menghiasi radio-radio di seluruh Indonesia.
Setelah kita dibawa ke kawasan Indonesia Timur, terutama daerah Flores dengan merepresentasikan sebagian eksotisme tradisi kesenian di sana dengan tampilnya Nera. Sebuah kelompok bercorak gabungan fusion dan etnis di bawah komando drummer, perkusionis terkenal Gilang Ramadhan. Power drummer ini memang tidak dapat disangsikan lagi, namun perhatiannya lebih menarik kepada vokalis Ivan Nestorman. Secara komposisional keseluruhan, menyuguhkan gagasan eksplorasi yang bersemangat.