Festival

JGTC #28 : HARMONI & SIMPONI KERAGAMAN MUSIK JAZZ YANG DIKEMAS DALAM PERJALANAN SATU HARI…

Kehadiran jazz cats asing memungkinkan festival di Indonesia muncul di beberapa versi agenda jazz internasional. Misalnya, berita tur Ron Davis di Asia yang menyambangi pula Indonesia mau tak mau akan menyinggung-nyinggung penyelenggaraan festival di Indonesia. Ternyata pianis ini mengaku takjub dengan penyelenggaraan festival JGTC yang made by students dan menurutnya mirip-mirip semangat gerakan underground. Ia merasa perlu menjadi cermin buat orang Indonesia untuk menyatakan bahwa, ” wow… ribuan anak muda…telinga-telinga baru…untuk sebuah tontonan jazz…itu tidak terjadi di tempat saya berasal…amazing“. Dengan rendah hati ia dan grupnya juga sepakat kagum atas bakat-bakat lokal yang dilihatnya lewat close encounter selama tur di Indonesia. Tanpa berbesar kepala, kita memang patut mengapresiasi konsistensi JGTC menjadi festival annual.

Pesta annual Jazz Goes To Campus kembali digelar dan tidak terasa telah memasuki usianya yang ke-28 pada minggu (27/11) lalu. Melihat prestasi tersebut, tidak salah jika rangkaian acara nge-jazz ini dinisbatkan sebagai pesta jazz tahunan tertua di Indonesia sekaligus satu-satunya kegiatan rutin dimana semua panitia penyelenggaranya adalah mahasiswa.

Seperti dua-tiga tahun belakangan, pengunjung acara ini – lepas mereka adalah pemerhati dan peminat musik jazz atau hanya datang untuk sebuah hiburan pelepas penat beban kuliah / kerja – terlihat kembali datang menyemut dan menjadi rekor tersendiri untuk sebuah pesta jazz sehari. Meski target panitia menghadirkan 15.000 penggemar jazz yang terdiri dari segmen pelajar, mahasiswa, eksekutif muda dan kalangan umum sepertinya tidak berhasil dilewatkan karena faktor cuaca, namun ajang ini bisa disebut telah menjadi agenda rutin pecinta jazz Ibu Kota dengan poin penarik harga tiket relatif rendah untuk kegiatan sekelas festival dan kredibilitas deretan artis yang tampil.

Kali ke-28 JGTC yang dilangsungkan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok ini kembali menawarkan konsep live di dua panggung. Panggung-panggung itu dijadwalkan terisi oleh musisi-musisi muda Indonesia dan senior-senior  mereka serta satu grup dari Canada; Ron Davis Trio. Musisi-musisi lokal yang hadir adalah PIG – Pra Budi Dharma, Indra Lesmana, Gilang Ramadhan, Bubi Chen, Ireng Maulana & friends, Idang Rasjidi & Friends, Benny Likumahuwa, Oele Pattiselano, Yance Manusama, Cendi Luntungan & Friends, Margie Segers, NERA, serta serombongan musisi muda; Tompi, JMono, Parkdrive, Rio Moreno Combo, Sore, Soulvibe, Choir by Y2K, Gadis V-Bass G & Time Warp, Kulkul, Tomorrow People Ensemble featuring Tika, Five Four Trio, Starlight serta FEUI band.  Menarik. Namun dari sisi jumlah penampil asing terlihat ada penyusutan dari tahun lalu serta masih kurang dilibatkannya musisi daerah dari luar Ibu Kota.

Sebelum hari-H, rangkaian acara “SKS ngejazz” ini dimulai dengan diselenggarakannya Jazz Exhibition – Jazz Clinic dan Jazz Competition –  yang merupakan pra event untuk membangun awareness publik akan Jazz Goes To Campus. Jazz Clinic 2005 bertemakan Journey of Jazz merupakan acara bedah jazz, dilaksanakan pada hari Minggu 20 November 2005 di hall Gedung Yamaha Gatot Subroto Lt.5, Jakarta dengan Clinicians Idang Rasjidi, Benny Likumahuwa, Cendy Luntungan, Indro Hardjodikoro serta wartawan musik Frans Sartono. Jazz Competition adalah satu kesempatan bagi para musisi jazz pemula untuk dapat menunjukkan kemampuan dan bakat mereka dalam bermain musik jazz. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Senin-Selasa, 21-22 November 2005 yang lalu di cafe walk Plaza semanggi, Yakarta menghadirkan juri Rasjidi, Benny Likumahuwa dan Cendy Luntungan. Pemenang-pemenang Jazz Competition 2005 adalah Zeva and Uncles sebagai Juara I, Impressions sebagai juara II, dan juara III diraih D’interyo.  Penghargaan Best Keyboardist diraih oleh Zefanya dari Zeva and Uncles yang baru berumur 11 tahun. Best Guitarist, Best Bassist dan Best Drummer diraih para personel D’interyo. Best Vokalist diraih oleh Hans dari The Upper. Juri juga memberikan penghargaan kepada Mahesa (drummer dari Band Ours) yang baru berusia 10 tahun sebagai New Talent.

Ketiga grup jawara tadi plus home band FEUI menjadi pembuka festival jazz di Minggu pagi kemarin. Pianis cilik F. Zefanya Hartani Putra tampil bersama The Uncles – grup yang diakuinya baru berumur satu bulan dan terdiri dari musisi muda Bandung; saksofonis Billy,  bassis Balky, gitaris Ogie, drummer Opik, vokalis Aldhiella serta Mikha, vokalis berusia 7 tahun. Mereka membuka acara di panggung utama yang diberi title Stage of Symphony. Best keyboardist yang juga pemegang Piagam Museum Rekor Indonesia sebagai  “Pianis Termuda yang Menyelenggarakan Konser Tunggal Klasik & Jazz”  tampil membawakan komposisi ‘So What’, ‘There Will Never Be Another You’, ‘Alice in Wonderland’, ‘Bud Powell’, ‘Straight No Chaser’ dan ‘Peri’s Scope’ dengan keterampilan yang patut dipuji untuk player seusia dia. Sementara itu di panggung kedua, yang dinamakan Stage of Harmony, FEUI Band membuka acara dan kemudian dilanjutkan dengan tampilnya kelompok D’interyo dan Impression selaku Juara III dan III Jazz Competition. D’interyo, trio asal Jakarta telah membuktikan ketangguhannya dengan menyabet tiga gelar the best di ajang kompetisi kemarin. Indra, Tentra dan Aryo adalah Best Guitarist, Best Bassist dan Best Drummer kompetisi.  Kelompok yang mayoritas siswa LPM Farabi dan baru terbentuk dua bulan ini manggung membawakan komposisi ‘So What’, ‘Proto Cosmos’ dan ‘One Night Stand’.  Keterampilan yang sepadan juga diunjukkan oleh pemenang kedua yang tampil berikutnya. Quintet asal Kota Gudeg yang terdiri dari gitaris Erwin, Yudo (bass), Panji (drum), Ippie (keyboard) dan Bion (sax, tenor) naik pentas dengan menghadirkan ‘Fly Me to The Moon’, ‘Mr. PC’ dan ‘My Funny Valentine’. Impression, nama grup yang mereka pilih, merupakan wadah siswa didikan bassist senior Jogjakarta di sekolah musik Real untuk eksis di panggung jazz Indonesia – dan tidak hanya datang sebagai penonton. Harapan yang sudah selayaknya kita dukung dan mudah-mudahan tidak karam ditengah jalan setelah berbekal sebuah gelar.

Contoh baik adalah konsistensi kelompok Starlite, jawara Jazz Competition 2004, yang kembali hadir di arena JGTC tahun ini. Kelompok yang kini berformat trio tampil setelah Five Four Trio turun pentas.  5-4-3 sendiri adalah grup yang terdiri dari pemain bass akustik Adri, Ata (drum), gitaris Tiyo dan dibantu penyanyi Ade yang menampilkan lagu-lagu standard seperti ‘Stella by Starlight’ dan ‘I Love You’.  Starlite, dengan tetap kental bermain di area fusion, kembali  menggebrak panggung JGTC dengan beberapa lagu ciptaan sendiri yang terdengar semakin matang. Dengan menyisakan Sheila yang membetot elektrik bass, drummer Alsa dan pemain keyboard Rieke, Starlite berhasil menarik minat pengunjung  yang baru masuk ke arena festival.

Kerumunan semakin rapat, baik di panggung Harmony maupun Symphony, ketika musisi-musisi muda asal sebuah komunitas pengusung Nu-Jazz di daerah Menteng-Jakarta berbagi jadwal naik ke atas kedua pentas.  Soulvibe adalah grup yang pertama tampil di panggung Symphony. Kelompok yang berorientasi membuat sebuah album rekaman ini terdiri dari delapan personel; bassis Handy, Asa (gitar), Frans (piano), Rio (keyboard), Cesar (drum) serta trio vokalis Abenk, Bayu dan Dana. Mereka menampilkan musik beraliran R&B Soul Jazz, dengan lagu-lagu cover berjudul ‘Stop Playing’, ‘Lets Stay Together’, ‘Just A Friends’, dan ‘For The Nite’.

Sebagian besar dari ‘anggota’ komunitas ini tampil di panggung Harmony;  dimulai dengan proyek yang menghadirkan  empat pemain bass, proyek solo gitaris sampai sebuah grup komersial yang baru saja merilis album.  Setiap personel hadir kompak dan bergantian saling bantu menjadi additional di saat band rekannya tampil.

BassAttack adalah p
royek coba-coba empat orang pemain bass di studio yang kemudian dicoba tampil di muka umum. Mereka adalah Barry Likumahuwa (bass elektrik 4 senar), Handy van Soulvibe (bass elektrik 6 senar), JMono (bass elektrik 5 senar), bassist grup Maliq & d’Essentials – Jawa – plus pemain keyboard & groove box – Iyas – dan drummer Rayendra.  Selain membawakan karya idola para bassis, Jaco Pastorius, Barry dkk menghadirkan beberapa lagu spontan yang mereka tulis sendiri. Lagu-lagu itu diaransemen agar dapat mengakomodir perbedaan sound dan improvisasi solo keempat pemain bass dengan rhytm terus dijaga oleh drum dan groove box. Untuk menghindari rasa monoton, BassAttack menghadirkan dua orang additional rapper dan brass Section pada sebuah lagu. Sebagai penutup, mereka menghadirkan karya lawas berjudul ‘Waiting in Vain’ yang tentunya akrab di telinga para penonton.

J-Mono merupakan penampil berikut setelah para bassist muda tersebut.  Gitaris yang juga alumni Jazz Competition tahun lalu, mengajak beberapa teman untuk menampilkan ide bermusiknya yang terpengaruh funk. Mereka adalah Adra Karim (pemain keyboard & rhodes grup Tomorrow People Ensemble), Juno (drummer, inspirator Parkdrive yang juga membantu BassAttack sebagai peniup trumpet), Amar (trumpet) dan Satrio (gitaris) dari  kelompok Maliq & d’Essentials serta duet vokalis Ias dan Menu Stereosoul. Berturut-turut Mono dkk menghadirkan cover version dari Incognito ‘Who Needs Love’ , Kimiko & Herbie Hancock ‘I Thought It Was You’, Ray Ayers ‘Funky Motion’ dan Ramsey Lewis ‘Sun Goddest’. 

Satu lagi dari komunitas Menteng yang tampil adalah kelompok Parkdrive. Mereka naik pentas setelah jeda magrib (sebelumnya panggung ini telah menghadirkan Rio Moreno Combo, Sore dan Tomorrow People Ensemble). Personel inti Parkdrive adalah Juno Adhi (drums, keyboards, synthesizer, trumpet), Rayendra Sunito (drums, bass elektrik, gitar elektrik & akustik) dan vokalis Mikuni Gani.  Demi kelengkapan pentas di JGTC, trio ini melibatkan beberapa talent muda untuk menampilkan lagu-lagu yang ada di album perdana mereka. Para musisi tersebut adalah Adrian Martadinata (gitar elektrik), Ali Akbar (rhodes), Barry Likumahuwa (bass elektrik), Philippe Ciminato (perkusi), backing vocals Renita Martadinata dan Adinda Marita serta Rieka Roslan, vokalis pengganti Mikuni yang berhalangan hadir. Kematangan panggung dan penjiwaan penyanyi eks group The Groove terlihat berhasil menutupi ketidakhapalannya pada lirik lagu Parkdrive, sehingga dari lagu pertama – ‘Hasrat Jiwa’ – dan kemudian berturut-turut ‘Kucoba’, ‘Sinari Hari’, ‘Mengenang Cinta’ , ‘Manusia’ (ini adalah satu lagu karya Rieka yang ada di album solonya) sampai ‘Sekedar Cinta’ dan ditutup dengan ‘Shine a Light’, ia mampu menahan penonton pergi meninggalkan pelataran panggung karena rintik hujan turun serta berhasil meraup applaus salut mereka. 

Begitu juga apa yang terjadi di panggung Symphony sebelum break acara. Tompi dan kelompok Groovology, yang sedikit banyak menyentuh area nu-jazz, terlihat berhasil menggalang apresiasi penonton – baik dilihat dari jumlah tepuk tangan sampai koor mereka ikut bernyanyi.  Melihat tingkat respon itu tidak perlu disangkal bahwa Tompi menjadi salah satu penampil yang paling ditunggu di acara JGTC kali ini. Tentu keprimaannya tidak lepas dari dukungan bassis Ilyas Muhadji, Yudhis (keyboards), Bibus (keyboards), gitaris Ary, Derry (drumer) serta dua vokalis latar Karina dan Astrid. Selain mempersembahkan lagu standard,  Tompi dengan mikrophone berefeknya juga membawakan beberapa lagu yang ada di album solo perdananya; seperti ‘Selalu Denganmu’ dan ‘Cinta yang Kucari’.  Keduanya sukses meraup koor panjang penonton.

Melihat respon yang diberikan penonton pada  sajian kelima grup tadi, mungkin dapat diproyeksikan musik-musik seperti itu akan semakin mendapat tempat di tengah audience pelajar, mahasiswa, eksekutif muda dan kalangan umum peminat jazz Ibukota.  Trend ini mudah-mudahan akan berlanjut pada bertambahnya jumlah rekaman jenis musik ini. Apa benar ini akan terjadi? I hope so, don’t you?

Sebelum Tompi di panggung Symphony, berturut-turut telah hadir terlebih dahulu Cendy Luntungan & Friends, Choir by Y2K, dua kelompok musik lintas budaya; NERA & Kulkul serta para musisi senior yang tergabung dalam Idang Rasjidi Syndicate dan Ireng Maulana & Friends. Sajian mereka tersimak beragam dan mayoritas mendapat apresiasi positif dari pengunjung yang memadati pelataran di depan panggung besar.

Cendy Luntungan & Friends adalah kelompok yang terbentuk khusus untuk festival hari itu. Formasi lain “Ligro Trio” ini yang merupakan kolaborasi musisi senior-junior dengan mengikutsertakan basis muda, Shadu, yang kebetulan putra pianis Idang Rasjidi untuk bermain bersama Cendy dan gitaris old track Oele Pattiselanno. Penampilan drummer yang pernah merilis sebuah proyek solo album gospel ini hanya menghadirkan dua buah komposisi, ‘Blues on F’ dan ‘Billies Bound’, yang dibawakan dalam durasi panjang dengan di dominasi permainan drum dan perkusi.  Meski secara teknis Shadu belum dapat mengimbangi permainan kedua seniornya, namun enerji mudanya sedikit banyak berhasil mendapat applaus penonton.

Salah satu penampil yang hadir beda adalah Y2K by Choir dengan format paduan suaranya yang diiringi sebuah ensemble.  Dengan mengambil idiom-idiom pembagian suara ala Manhattan Transfer, paduan suara yang terdiri dari 16 pelantun remaja siswa sekolah musik Y2K ini menghadirkan lagu-lagu seperti; ‘Day by Day, ‘Hang On’, Siapa Namanya’ dan dipungkasi ‘Come with Me”. Ensemble pengiring dipimpin oleh saksofonis Yoyok dan musisi-musisi; Yudis (gitar), Aris (keyboards), Agam Hamzah (gitar), Adi (trumpet), Lunggo (trombone), Yopi (drum).  Mereka adalah tenaga pengajar di sekolah musik tersebut.

Grup penampil musik lintas budaya yang hadir di JGTC tahun ini adalah NERA dan KulKul. Bagi mereka, world music adalah sumber inspirasi bermusik yang tidak ada keringnya. NERA hadir dengan world music dance yang mengadopsi Bahasa Flores dan groovie beat & dance rhythm dari Indonesian sound percussions.   Sedang Kulkul, sebagai grup yang jauh lebih muda, terinfluence musik tradisional modern bernuansa Bali.

NERA, grup yang selalu menggelitik untuk disimak, untuk kedua kalinya tampil di JGTC. NERA yang berarti cahaya dalam bahasa Flores beranggotakan Gilang Ramadhan (Drum), Donny Suhendra (Gitar), Adi Dharmawan (Bas), Khrisna Prameswara (Keyboard) dan Ivan Nestorman (Vocal). Grup yang menampilkan komposisi-komposisi yang ada di album perdana mereka; seperti ‘Mori Sambe’, ‘Samo Lime’ & ‘Nera’ bermain dalam pola musik fusion dipadukan dengan bahasa Flores yang dinyanyikan dengan khas. Sekali lagi permainan drum Gilang yang energik dan kaya dengan modifikasi drum-kit seperti gendang, tifa dan ceng-ceng selalu membuat penonton tertarik dan larut dalam beat yang diciptakan. Walaupun tidak harus paham dengan lirik yang ditulis oleh Ivan, toh kita sudah cukup enjoy dibuatnya. 

Ketertarikan itu juga dapat kita rasakan setelah mendengarkan grup Kulkul memainkan komposisi-komposisi original mereka, seperti lagu berjudul Uluwatu, Welcome to Bali, Wina atau Bali Dance.  Mereka memainkan fusi antara musik modern yang berpijak pada akord jazz  dengan imbuhan nuansa etnik Bali.  Paduan ritme drum dengan tebuhan etnis yang mengawal improvisasi keyboard atau solo biola menjadi kekhasan Kulkul. Grup ini dimotori oleh Demas Narawangsa (drum & kempluk), Sigit Ardityo Kuniawan a.k.a Didit (biola), Aditya Andriyanto (keyboard), Adman Maliawan a.k.a Awan (bass) serta empat musisi tradisi Bali; Kadek Setiawan, I Komang Sumada, I Wayan Sudiarta dan I Wayan Sudarsana yang memainkan alat musik tradisional kulkul, gangsa pemde & gangsa kantilan, cengceng, kopyak, kenang serta suling Bali.

Selanjutnya stage of Symphony menampilkan beberapa kelompok musisi senior.  Performing pertama a
dalah Idang Rasjidi Syndicate. Berikut Ireng Maulana menyusul bersama rekan-rekan “legenda jazz”-nya. Bubi Chen Quintet naik pentas mengawal lantunan Margie Segers setelah break acara. Satu hal yang istimewa sekaligus mengharukan di atas panggung, secara terpisah mereka sama-sama mengungkapkan rasa duka cita atas kepulangan putra-putra terbaik dalam dunia jazz; pianis Hendra Widjaya dan basis Perry Pattiselano dan mempersembahkan sebuah lagu dengan style masing-masing.

Pianis Idang rasjidi menemukan belahan jiwa entertainnya ketika mengajak Tompi menjadi vokalis tamu syndicate-nya.  Permainan piano Idang sebagai suara satu dan vokalnya sendiri sebagai suara dua menjadi genap kemenarikannya sewaktu berbagi cakap dengan lengkingan vokal khas Tompi. Lagu ‘Ain’t No Sunshine’, ‘Fever’ dan ‘Come With Me’ menjadi topik perbicangan akrab mereka dengan diiringi oleh permainan drum Taufan Goenarso dan bassis Agung. Idang Rasjidi trio juga mempersembahkan lagu ‘Light My Fire’ di awal pentas mereka, ‘Norwegian Wood’ dan ‘Lullaby’ yang mengajak bakat baru bernama Dissa ikut bernyanyi. Pengunjung benar-benar disuguhi musik yang sesuai dengan moto The Syndicate: “Just feel what ya’ play and play what ya’ feel”.

Ireng Maulana naik ke atas panggung dengan semangat berpromosi. Praktisi, promotor dan produser musik Jazz ini melengkapi penampilannya bersama seluruh personel dan crew bandnya dengan seragam bertulisan “The Jazz Legend is Back” di punggung.  Tag line ini adalah promosi om Ireng akan rilis album-album baru yang diproduksinya bersama sindikat JakJazz Pro; album Ireng Maulana & Friends “Sweet Jazzy” dan “Jazzy Christmas” serta album eksklusif Ermy Kullit featuring Michael Indonesian Idol.  Komposisi jazz standard easy listening yang ada di album-album itu dibawa ke atas panggung JGTC oleh Ireng Maulana bersama rekan “legenda”-nya; gitaris Kiboud Maulana, Didik SSS (saksofon), Sam Panuwun (piano), Rudy Subekti (drum) dan bassis Harry Toledo serta menghadirkan penyanyi muda Anna Andrea, penerus clan Maulana.

Bubi Chen yang mendapat giliran setelah jeda break seperti biasa  menampilkan pesona kematangan maestro pianis di usia senja. Legenda jazz Indonesia tanpa atribut menempel itu tampil diiringi oleh para spesialis diinstrumennya masing-masing; Benny Likumahuwa pada Trombon, drummer Jacky Pattiselanno, bassis Yance Manusama, gitaris muda Ananda Ahmad mengawal lantunan penyanyi senior Margie Segers.  Duet akustik piano Bubi Chen dan nyanyian lirih Margie di lagu yang mereka dedikasikan pada alm. Perry Pattiselanno menjadi suguhan syahdu di keremangan senja.

Penampilan para senior yang sudah bisa diberi label “Legenda” juga hadir di stage of  Harmony. Big City Blues terdiri dari pakar akar musik jazz ini menghadirkan lagu-lagu blues yang menjadi puncak acara di panggung tersebut. ‘Mary Had a Little Lamb’ menjadi lagu pembuka yang dibawakan oleh Jimmy Sorongan. Grup yang terdiri dari duet gitaris Albert Warnerin & Donny Suhendra, pemain kibor Nadjib Osman, Khrisna (harmonika), Ade Hamzah (bassis, yang menggantikan Mates) dan Iskandar, penyanyi yang malam itu menggantikan posisi drummer Gusti Hendi, selanjutnya tampil  mengiringi lagu berjudul ‘Feelin’ Alright’  yang dibawakan oleh duet bluessy singer Sue Blomingtoon dan Amiroez. Blues Night on JGTC dilanjutkan dengan hadirnya tembang wajib blues ‘Padlock on The Blues’, ‘You Don’t Love Me Baby’ (Streamroller), ‘Summertime’ – ballad yang dibawakan dengan kekentalan aroma blues – serta ditutup dengan  ‘Knockin’ on Heaven’ Door’  yang dengan cerdik dimedley dengan lagu ‘Esok Kan Masih Ada’ di tengah lagu oleh Amioroez. Lambaian tangan penonton terlihat mengiringi koor yang mereka nyanyikan mengikuti lantunan syair lagu tersebut. Bravo, Big City Blues dan harmoni blues-nya!!!

Siang hari sebelum kulminasi dari Big City Blues, panggung harmony telah menampilkan tiga kelompok muda dengan keunikan harmoni mereka masing-masing. Rio Moreno Combo hadir dengan pesona nuansa jazz latin, Tomorrow People Ensemble dengan trend jazz masa kini dan serta grup Sore mengusung psikadelik rock-jazz.
 
Rio Moreno, pianis yang di JGTC 2004 lalu hadir bersama Cherookee, tampil bersama “teman-teman baru” – nya dalam sebuah format combo. Putra musisi kawakan Alm. Rudi Rusadi ini membawakan beberapa lagu standard dan karya sendiri yang kental dengan aroma latin jazz. Permainan piano yang sudah menjadi trade-marknya itu diiringi oleh  Ananda Ahmad – gitaris yang di JGTC ke-24 juga bermain satu grup dengan Rio, bassis Kristian, drummer gress yang baru kembali belajar dari Australia – Sandy Winarta – serta perkusionis Philippe Ciminato.

Tampilnya Tomorrow People Ensemble kembali di JGTC sepertinya sudah menjadi penantian bagi sebagian pengunjung setia acara ini. Meski sedikit terlambat naik ke atas panggung, grup muda yang masih terdiri dari gitaris Nikita Dompas, Azfansadra “adra” Karim (rhodes, keyboard), drummer Elfa Zulhamsyah dan Indra Perkasa (bass akustik) ini tetap mampu menahan pengujung tidak beralih pangggung tontonan. Komposisi orisinil TPE berjudul ‘Wam Bam Thanks You Mam!’ dan ‘ Wake Up or She Will Wake You Down’  dipilih sebagai nomor pembuka pertunjukan. Di kedua nomor ini TPE mempertontonkan kebolehan tiap personel berimprovisasi di dalam ruang aransemen yang mereka bangun. Salah satu kelebihan grup ini adalah kejelian menghadirkan bintang tamu di panggung mereka. Jika tontonan TPE di JGTC lalu diramaikan oleh brass section, kali ini mereka mengajak seorang penyanyi berbagi pentas. Tika, vokalis yang kecenderungan musiknya bernuansa gelap dan dingin ini  tampil membawakan lagu-lagu yang ada di album perdananya- Frozen Love Song – dengan olahan aransemen yang lebih hangat dari para personel Tomorrow People Enesemble. Sedikitnya dua buah lagu Tika yang dimainkan bersama TPE sore itu; ‘Rimbaud’s Limbo’ dan ‘Fever Fairytale’, sebelum menutup pertunjukan dengan sebuah lagu cover dari grup The Doors ‘ Raiders to The Storm’ . 

Kolaborasi ekspresif dari Tika dan Tomorroe People Ensemble melengkapi paket ekspresi kebebasan bermusik di luar wilayah mainstream yang telah disuguhkan oleh sebuah band bernama Sore sebelumnya. Kelompok terdiri dari Ade Paloh (vokal, gitar), Awan Garnida (vokal, bas), Ramondo Gascaro (kibor, piano, vokal), Gusti Pramudya (drum, gitar akustik, vokal) dan Reza Dwiputranto (vokal, gitar) menampilkan lagu-lagu dari album perdana mereka, “Centralismo”, yang mendapat predikat Asian’s Album Worth Buying versi majalah Times dan 3 ½ bintang majalah Rolling Stones.  Lagu-lagu seperti ‘Etalase’, ‘Bebas’, ‘Somo Libres’, ‘Mata Berdebu’ dan tentunya ‘No Fruits for Today’ menjadi tontonan segar, karena mereka berhasil membuat formula musik yang berada di luar jalur dan tidak terpatok satu aliran namun tetap nyaman didengar.  Satu kelebihan lain band yang mayoritas personelnya kidal ini adalah kebebasan tiap anggotanya sumbang suara; gitaris, bassis,  keyboardis sampai penabuh drum Sore bergantian menyanyikan sebuah lagu. Ini terbukti kembali menjadi pemacing tepuk applaus penonton.

Dua saksofonis cilik yang banyak mendapat apresiasi pengunjung di tahun lalu festival  hadir kembali sebelum penampil utama Jazz Goes to Campus ke-28 malam itu naik. Mereka adalah duo Gadis V & Bass G, yang kali ini tampil bersama kelompok cabutan bernama Time Warp; mereka terdiri dari keyboardis grup Groovology Yudhis, bassis Barry Likumahuwa, drummer Parkdrive Rayendra, gitaris Andree Dinuth dan dua seksi tiup Herry & Adi. Time Warp mengiringi unjuk kebolehan Gadis & Bass berimprovisasi dengan beberapa macam saksofonnya. Keduanya membawakan lagu-lagu smoth jazz ala Kenny G atau Candy Dulfler seperti ‘Agains Doctor’s Order’ dan ‘Pick Up The Pieces’.  G&B juga membunyikan 121 IS 1259 yang ada di album perdana mereka serta beberapa materi aransemen ulang; seperti lagu ‘Januari’ Glenn Fredly, ‘Kasih’ yang pernah dipopulerkan Ermy Kullit dan ‘Smok
e Gets in Your Eyes’. Gadis tampil solo pula dengan curved soprano memainkan ‘Together Again’ dari saksofonis favoritnya Dave Koz. Penampilan Gadis & Bass malam itu diramaikan dengan ikut naik panggungnya senior mereka, Benny Likumahuwa. Interaksi dua generasi itu menambah jumlah tepuk tangan penonton yang sebelumnya telah terpikat dengan kekenesan Gadis dan kemampuan kedua saksofonis cilik itu meniup indstrumennya dalam durasi yang panjang; Benny pun angkat bicara buat mereka, ” … setahu saya di Indonesia baru mereka ini yang bisa mempraktekan circular breathing“; Bass G. terdengar lebih sempurna ketika meniup-sambil-menghisap tanpa jeda tersebut. Ia memainkan alto sax untuk ‘Smoke Gets in Your Eyes’ dengan tidak canggung, bahkan jenis tenor yang nyaris sepertiga panjang tubuhnya masih dapat ia mainkan dengan baik (tangannya harus lumayan direnggangkan untuk mencapai knob bawah).

Penampil utama pertama adalah grup asal kanada yang hadir di arena JGTC berkat kerja sama panitia dengan Wartajazz.com dan kedutaan besar Kanada. Mereka adalah trio yang mempunyai style swing dan post bop bernama Ron Davis Trio. Deretan personel Kelompok ini adalah pianis Ron Davis, Drew Briston (Accoustic Bass), Aubrey Dayle (Drum) serta vokalis bersuara lembut Daniela Nardi. Ron Davis yang sudah beberapa kali tampil dalam Toronto Jazz Festival ini mengaku kalau musiknya banyak dipengaruhi oleh Art Tatum, Oscar Peterson dan Thelonious Monk. Setelah mendengar permainannya, tidak salah kalau Ron Davis ini disebut sebagai Oscar Peterson muda yang berhasil menggabungkan gaya-gaya tradisional piano jazz seperti stride piano dengan modal jazz yang modern. Trio ini  menampilkan koleksi komposisi orisinil mereka yang berjudul  ‘Rhythmaron’, ‘Oratio’ ‘Pawpwalk’ serta sajian dengan vokal dalam dalam ‘Applausable Excuse’ dan ‘Norwegian Wood’.

Penampil puncak pesta Jazz Goes to Campus ke-28 malam itu adalah reuninya sebuah trio yang telah hampir sepuluh tahun tidak main musik bersama. Pra Budi Darma, Indra Lesmana dan Gilang Ramadhan yang tergabung dalam kelompok bernama PIG tampil kembali menyajikan komposisi-komposisi freejazz spontan mereka yang kaya teknik, skill, harmonisasi dan warna. Part pertama dibuka dengan solo drum Gilang masih dengan set yang dipakai bersama Nera sorenya. Dua kick ukuran besar yang terletak di kanan & kirinya seperti tambur besar yang berdentum menggetarkan udara. Indra masih membawa set vintage Hammond, moog, dan pianika seperti terakhir di Bali.  Di sambung ke wah, Indra membunyikan pianika dengan berbagai timbre alat dengan bilah (reeds) logam lainnya (harmonika, akordeon, dll.); kadang ia hanya mengambil nuansa ambient-nya saja. Pra masih setia dengan fretless sailendro-nya. Walaupun fully improvised, komposisi yang mereka mainkan masih dibangun dalam tema tertentu. Mereka bertiga masih “piket bergantian shift” menjaga tempo layaknya interplay jazz tradisional. Bahkan, di lagu penutupnya Anda dapat turut merasakan denyut hitungan yang konsisten 1.. 2.. 3.. terus diulang, variasinya adalah intensitas, kedalaman, dan mungkin penggandaan kecepatan, tetapi tetap balik lagi ke 1… 2.. 3.. . Jadi, tetap ada “sesuatu yang nyambung” dengan insting pendengaran manusia, walaupun penonton yang sudah lelah lebih banyak yang memilih pergi, mentah-mentah menolak karena merasa tidak “nyambung”.

Eksplorasi intim kebebasan PIG bermusik tadi menutup Journey of a Symphony dari bermacam-macam style musik jazz yang dikemas padat dalam satu hari itu. Congratz untuk dedikasi Jazz Goes To Campus bagi perkembangan & kemajuan jazz Indonesia serta sampai jumpa di pesta ke#29 tahun yang akan datang.  (*/Arif Kusbandono/Roullandi/Nana/WartaJazz.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker