2nd Jazz @ Fort Rotterdam 2010: Ketika Jazz dan Etnik (Kembali) Bersua
Acara jazz tahunan dipentaskan lagi di Makassar pada tanggal 31 Juli dan 1 Agustus lalu. Tema yang diusung tak berbeda dengan tahun sebelumnya, pihak panitia One Note Entertainment memberi tajuk “When Jazz Meets Ethnics” dengan misi untuk mengembangkan kekayaan musik tradisi setempat melalui jazz sebagai medium. Disamping itu, agenda lainnya adalah mempromosikan potensi wisata Makassar dan sekitarnya kepada publik internasional, seperti penuturan ketua panitia Jazz @ Fort Rotterdam (JFR) 2010 Hendra Sinadia yang juga mendapat dukungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Makassar serta Direktorat Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang dihadiri Sapta Nirwandar selaku Direktur.
Sejalan dengan pelaksanaan JFR 2010, Kemenbudpar turut berupaya untuk mensosialisaikan program Vote Komodo kepada masyarakat Makassar. Tentunya hal tersebut dilakukan untuk menyikapi lolosnya Taman Nasional Komodo sebagai salah satu dari 28 finalis untuk melanjutkan ke tahap akhir kampanye setelah menyisihkan 440 nomine lainnya dari 220 negara. New7Wonders Foundation menetapkan tanggal 11 November 2011 sebagai batas akhir pemungutan suara. Pengunjung JFR 2010 dapat memberikan suaranya pada gerai online voting yang tersedia selama acara berjalan dan terhubung langsung dengan situs www.new7wonders.com. Setelah voting, mereka langsung mendapatkan cinderamata berupa pin “Vote Komodo” sebagai tanda partisipasi.
Hari Pertama, Sabtu 31 Juli 2010
JFR 2010 baru dimulai sekitar pukul enam sore waktu setempat, ditandai dengan penampilan Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Universitas Hasanuddin dilanjutkan Pakarena N Jazz serta atraksi tarian tradisional khas Makassar. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Makassar, Rosmayani Madjid, diamanatkan untuk memukul gendang membuka jalannya festival.
Hari telah berganti malam, dan kini tiba saatnya band lokal Rizcky & The Strangers untuk tampil. Beranggotakan lima personil dengan Rizcky Pradhana de Keizer sebagai vokalis utama sekaligus basis, band ini cukup bertenaga membawakan lagu-lagu bernuansa funk maupun fusion. Tembang “Good Times, Bad Times” milik Edie Brickell, “I Don’t Want to Miss a Thing” dari Aerosmith serta komposisi instrumental “Nightfall” mereka sajikan. Pengunjung JFR yang mayoritas anak muda nampak terkesima dengan vokal dan permainan bas Rizcky, terutama ketika “All At Sea” dari Jamie Cullum dinyanyikan.
Terdapat dua buah panggung pada acara ini. Sebuah terletak persis berhadapan dengan pintu masuk, dan satu lagi ditempatkan sekitar 50 meter ke dalam areal Fort Rotterdam sebagai panggung utama. Selepas Rizcky, penampil berikutnya adalah PSM Universitas Hasanuddin berjumlah delapan orang, dua pria dan enam wanita. Mereka mencoba untuk membawakan lagu tradisional populer seperti “Anging Mammiri” dan lagu pop dalam negeri serta mancanegara melalui harmonisasi vokal.
Kemudian penonton berbondong-bondong ke panggung utama untuk menyaksikan band lokal lainnya, Groundstroke yang menghajar audiens dengan sajian jazz-rock sarat distorsi. Susana memanas tatkala ketiga personil melaju kencang lewat solo instrumen gitar, bas, dan drum secara bergantian. Menarik ketika band ini memainkan “Spain” karya Chick Corea yang sound gitarnya justru mengarah ke heavy metal.
Selanjutnya adalah pendingin suasana dengan tampilnya band D’Exclusive lewat lagu-lagu yang sebetulnya masuk kategori Top 40 semisal “She Will Be Loved” besutan Maroon 5, tampak sesuai dengan profil band ini yang personilnya masih remaja.
Salah satu bintang tamu di hari pertama adalah I Wayan Balawan yang begitu memesona lewat permainan gitar setang ganda lengkap dengan teknik two-handed tapping andalannya. Malam itu adalah konser perdana Balawan di tanah Makassar, ia tampil bersama Ketut Tarmadi (bas) dan Dion Subiakto (drum) yang tergabung menjadi Balawan Trio. Mereka mengusung musik yang energik bergaya campuran jazz, fusion, rock, hingga etnik. Tak hanya Balawan seorang, Ketut dan Dion pun menampilkan atraksi solo penuh greget. Grup ini sangat menghibur audiens sewaktu Balawan menyanyikan nomor “What a Wonderful World” dengan serakan khas Louis Armstrong. Irama reggae menutup penampilan Balawan sembari ia melagukan “Waiting in Vain” milik Bob Marley secara ekspresif.
Denyut bossa nova dan samba terdengar meriah waktu Zarro mulai angkat suara. Penampilannya waktu itu diramaikan pula lewat suguhan Capoeira (kesenian khas Afro-Brazilian memadukan unsur bela diri, tarian, dan musik) yang sinkron dengan irama Zarro. Atmosfer semakin hangat terasa ketika vokal Mercy Dumais memenuhi ruang dengar audiens dengan interpretasi bossa yang mumpuni, khusunya selagi ia membawakan “Anging Mammiri” dan “Tristeza”. Sedang berulang tahun, ketua panitia Hendra Sinadia diminta naik ke atas panggung dan akhirnya ia menyanyikan “Girl From Ipanema”. Lumayan.
Penampil terakhir untuk hari pertama JFR adalah sebuah kelompok musik visioner, seperempat abad usia, Krakatau namanya. Dengan line up terkini yaitu Dwiki Dharmawan (keyboards, synthesizer), Pra Budhi Dharma (bas), Adhe Rudyana (kendang), Yoyon Dharsono (tarompet, rebab, suling), Zainal Arifin (gamelan, perkusi), Gerry Herb (drum), dan Nyak Ina Raseuki alias Ubiet (vokal), grup tersebut mewarnai JFR 2010 lewat garapan musik yang mengawinkan eksotika bunyi-bunyian tradisional dengan elemen jazz modern. Irama rampak world beat meriah terdengar sedari awal penampilan mereka, vokal Ubiet yang singular menjadi sebuah fenomena waktu ia ambil bagian dalam lagu “Bunga Tembaga”, “Spirit of Peace”, maupun “Rhythm of Reformation”.
Aksen pertunjukan adalah sewaktu Krakatau mengundang dua personil La’ Biri yang memainkan instrumen tradisional gambus makassar dan pui-pui (bentuknya seperti terompet berukuran kecil). Seluruh perhatian terpusat ketika terjadi “duel” tarompet dan pui-pui secara insidental, atraksi dialogis-improvisasional yang ditampilkan keduanya membuat penonton maupun penghuni panggung berdecak kagum sekaligus tergelak. Tidak ketinggalan, aksi duet maut Adhe dan Zainal menyuguhkan pukulan-pukulan kanonik di atas selaput tamborin. Segar, cerdas, dan menghibur.
Saya dan warga masyarakat makassar pada dasarnya sangat tidak setuju musik JAZZ dijadikan simbol promosi wisata budaya daerah Sulawesi Selatan. Kenapa kok kementerian BudPar mengagendakan musik JAzz di tempat bersejarah Benteng Rotterdam yang seharusnya musik asli daerah Sulawesi Selatan yang di usung (aneh). Dampaknya para seniman2 tradisi Makassar ikut2an menamakan dirinya pemusik JAZZ (jazz2an kali), yang intinya hanya merusak nilai2 dan makna arif budaya asli Sulawesi Selatan. Para pemusik dr Jakarta juga seharusnya malu mempromosikan SulSel dengan musik Jazz (musik Jazz adalah musik URBAN), tp mungkin yg dipikir adalah PROYEK (JOB kaleee). Bagaimana kalau kita promosikan seni budaya derah JAWA (atau daerah lain) dengan musik JAZZ?????
Ada-ada saja……