2nd Jazz @ Fort Rotterdam 2010 – Laporan hari kedua (habis)
Hari Kedua, Minggu 1 Agustus 2010
Tak jauh berbeda dengan hari pertama, JFR 2010 babak kedua dimulai ketika langit sudah mulai gelap. Menu pembuka adalah lagu-lagu jazzy dan pop-jazz oleh band lokal 51st Avenue. Nuansa musik etnik dalam kemasan progresif melanjutkan acara dengan tampilnya La’Biri yang membawakan beberapa komposisi mereka sendiri. Sebuah upaya yang cukup berkesan dan perlu diapresiasi positif, mengingat para personilnya masih relatif muda.
Band asal Makassar lainnya turut ambil porsi meramaikan hari kedua JFR, ada The Voice dan Dakochank Junior Jazz Band dengan suguhan musik easy listening juga olah harmonisasi vokal. Kedua grup itu adalah band remaja yang mencoba untuk mencari jati diri dalam ranah jazz.
Semarak di panggung depan kemudian beralih ke panggung utama, Dwiki Dharmawan telah siap beraksi bersama ansambel gagasannya menyuarakan pesan perdamaian: World Peace Orchestra (WPO). Mendengar kata “orchestra”, mungkin terbersit di benak audiens adalah sebuah kelompok musik dengan setelan necis, personilnya berjumlah puluhan, dan taat partitur. Namun tidak demikian halnya dengan WPO, alih-alih orkestra konvensional, mereka sejatinya adalah sebuah band yang didukung oleh musikus-musikus handal; Dwiki Dharmawan (keyboards, vocoder), Kadek Rihardika (gitar), Gerry Herb (drum), Barry Likumahuwa (bas elektrik), dan Eugen Bounty (saksofon alto, klarinet).
Dwiki mengajak serta dua vokalis tamu, seorang adalah penyanyi yang beranjak go international Dira J. Sugandi, album Something About the Girl yang segera beredar diproduseri oleh pentolan grup acid jazz Incognito, Jean-Paul ‘Bluey’ Maunick. Seorang lainnya bernama Ivan Nestorman, nyong Flores yang lebih dulu dikenal lewat band NERA. Kedua chanteuse itu tampil prima dengan progresif iringan WPO ketika Dira melagukan “Lamalera’s Dream” yang monumental maupun “Mai Fali E” (marilah pulang – red.) dalam bahasa natif Rote, NTT dengan alur melodi yang begitu menawan. Sementara Ivan yang berambut gimbal namun halus suaranya, memukau penonton lewat nyanyian “Ie” dan “Benggong Banggong”, dalam bahasa Manggarai kampung halamannya.
Pada kesempatan itu pula, Dwiki selaku Duta Komodo turun panggung menghampiri penonton kemudian disusul oleh Ivan dan Dira. Dwiki menghimbau para pengunjung JFR untuk berpartisipasi melalui Vote Komodo, pun ia menyampaikan pesan untuk selalu menjaga serta memajukan khasanah budaya dan kekayaan alam Nusantara. Pesan yang tepat untuk disampaikan oleh Dwiki, karena ia jelas melakukan apa yang dikatakan, melalui ragam karya musik garapannya. Tak lama berselang, para artis yang turun panggung membaur dengan audiens untuk menyanyi dan menari bersama, layaknya sebuah pesta rakyat.
Selepas WPO, kini giliran Nikita Dompas and His Fellow Musicians unjuk performa. Nikita bersama Lie Indra Perkasa pembetot kontrabas dan penggebuk drum Sri Aksana Sjuman mengusung jazz sarat kekinian, publik peminat jazz Makassar dibuat terkesima oleh ketiganya waktu diperdengarkan komposisi Nikita “This Time He Flies So High” maupun lagu Elvis Presley yang dibawakan secara instrumental “Are You Lonesome Tonight”. Olah bunyi sintetis khas Nikita Dompas yang sejalan dengan rentakan drum Aksan serta dentuman kontrabas Lie melebur dengan desir angin di dalam benteng Rotterdam malam itu.
Pengunjung JFR yang mayoritas adalah muda-mudi Makassar, terlihat antusias sewaktu Nikita mengundang Andien ke atas gelanggang. Sepertinya penyanyi yang dahulu populer lewat album bergaya bossa nova telah dinanti publik Makassar. Andien pun membalas dengan suara indahnya pada nomor “Together Again” milik Janet Jackson, “Tentang Aku” dari Jingga, serta lagu populer di era 1970-an “Bimbi” yang terlebih dulu dibawakan Titiek Puspa maupun The Rollies. Sebuah tembang berjudul “Pulang” juga disajikan Andien dan ia berpromosi bahwa lagu itu terdapat pada album terbarunya yang akan segera edar, diproduseri oleh Nikita Dompas.
Setelah lagu terakhir dari Andien dan ia pamit undur diri, Nikita, Lie, dan Aksan justru semakin liar beraksi. Mereka menutup penampilan lewat komposisi intuitif, radikal, dan membawa semangat rock n’ roll dalam nomor “Road Trip” memuat tendensi improvisasi bebas.
Akhirnya sampailah kepada penampil terakhir yang menutup keseluruhan rangkaian acara Jazz @ Fort Rotterdam 2010. Adalah Barry Likumahuwa Project (BLP) sebagai “gong”, memukau dengan energi musik yang prima serta digemari oleh anak muda. Sebelum mulai bermanuver, Barry mengajak audiens untuk mendekat ke panggung, “lo semua penonton yang asik kan? Kalo iya, ayo semuanya maju biar tambah asik”, ujar Barry memberi komando dan penonton pun afirmatif tanpa bantah. “Jendral” panggung ini juga seringkali melontarkan komplimen buat para penggemarnya, “tepuk tangan buat lo semua”, tuturnya.
BLP yang digawangi Barry Likumahuwa (bas), Henry Budidharma (guitar), Dennis Junio (saksofon alto), Jonas Wang (drum), Matthew Sayersz (vokal), serta Donny Joesran (kibor), punya keunikan tersendiri dalam garapan musiknya. Mereka sukses merebut perhatian lewat lagu dengan tema representatif bagi remaja. Lirik naratif, melodi ramah telinga, dan hentakan beat funky menjadi resep ampuh sebagai penyampai pesan. Penonton JFR yang sebagian besar sudah akrab dengan lagu-lagu BLP, ikut bernyanyi bersama ketika Matthew melagukan “Mati Saja”, “Saat Kau Milikku”, ataupun “Aku dan Hadirmu”. Salah satu sajian utama yang dinanti penggandrung BLP adalah kedahsyatan permainan bas Barry, lewat teknik jempolan maupun interpretasi yang ekspresif. Segala kecanggihan Barry wajar adanya tatakala ia menyebut Jaco Pastorius sebagai panutan.
Suasana makin semarak waktu Barry memanggil ayahnya, Benny Likumahuwa untuk nge-jam bareng BLP. Selisih usia antara mereka tak jadi soal, Benny yang usianya sudah kepala enam tampil atraktif dengan trombon juga flutenya. Aksi gila Benny ditunjukkan dengan melepas bell trombone hingga tersisa bagian slidenya saja. Tak hanya itu, iapun menyuguhkan musikalitas yang terasah tajam waktu mengeluarkan suara-suara unik hanya menggunakan mouthpiece!
Lagu “Mau Dibawa Kemana” dari Armada Band tak luput “dijahili” BLP. Lagu aslinya yang mendayu-dayu berubah menjadi funky dan energik, ditambah selipan frase “Don’t Stop The Music” milik Rihanna yang juga pernah didaur-ulang oleh Jamie Cullum. Alhasil, audiens JFR semangat bergoyang selaras irama hingga akhir penampilan BLP yang mengakhiri JFR 2010. Saat itu waktu menunjuk pukul satu malam.
Ikhtisar
Dua hari pelaksanaan JFR 2010 cukuplah dibilang meriah. Musisi yang tampil cukup variatif dengan preferensi masing-masing dan mampu untuk menarik atensi para jazzlovers Makassar. Dari segi penonton, ada penurunan jumlah yang cukup signifikan, kemungkinan disebabkan bandrol tiket yang harganya lebih besar dua kali lipat dari JFR tahun lalu. Satu hal yang terbilang fatal adalah tata suara yang tidak optimal. Hanya terdengar volume yang kuat namun mengesampingkan unsur balancing. Selain itu, kenyamanan estetis bunyi mendapat tantangan serius dari pantulan gaung di penjuru bangunan bersejarah tersebut.
Poin lainnya merujuk pada seksi acara. Menjadi pertanyaan besar, dimana letak efektifitas MC selaku pemandu acara ketika yang terjadi adalah lontaran komentar-komentar yang tidak substansial ditambah seringnya melakukan salah ucap. Di samping itu, persiapan panggung terbilang lama, menyebabkan MC terlalu banyak ngomong jadinya terkesan cerewet. Arsitektur historis khas Fort Rotterdam sebetulnya dapat menjadi “menu” visual pendukung suasana, tentunya apabila diekspos dengan baik.
Tidak ada konfirmasi panitia mengapa Idang Rasjidi, Cendy Luntungan, dan Oele Patisselanno Trio batal tampil, padahal nama mereka jelas terdaftar sebagai artis yang dijadwalkan meramaikan JFR.
Sepertinya JFR 2010 menyisakan banyak pekerjaan rumah buat panitia mengingat tahun depan program ini akan naik ke tingkat yang lebih tinggi, terintegrasi dengan “Visit Makassar 2011”. Kesiapan yang lebih matang pastinya sangat diperlukan guna memberikan citra baik, karena direncanakan JFR mendatang akan diadakan di Port of Rotterdam, Belanda dan bersinergi dengan Cape Town Jazz Festival, Afrika Selatan. Semoga persiapan di tahun berikutnya akan lebih baik lagi, supaya setakar dengan klaim panitia bahwa Jazz @ Fort Rotterdam adalah pagelaran jazz terakbar di belahan Indonesia Timur.