Bekasi Jazz Festival 2010 – Laporan Hari Kedua (Habis)
Putaran pertama Bekasi Jazz Festival 2010 (BJF 2010) telah usai, semarak jazz di kota Bekasi pada hari sebelumnya dibuka oleh Soulvibe dan tuntas oleh Tompi. Dimeriahkan pula lewat penampilan Endah N Rhesa, Barry Likumahuwa Project (BLP), Idang Rasjidi juga sederet musisi jazz senior hingga band-band lolos seleksi. Mereka semua berpartisipasi meramaikan festival jazz perdana di Bekasi, menempati enam buah panggung yang berada di kawasan Bekasi Square.
Band jazzy-pop Ecoutez! (ékuté) mengawali paruh kedua BJF 2010 sore itu dan jumlah pengunjung yang tetap didominasi kalangan remaja, tampak sedikit lebih banyak dibanding kemarin. Mereka terlihat sangat familier dengan lagu-lagu yang dinyanyikan Delia, sang vokalis. Ecoutez! menyajikan nomor easy listening hit mereka, semisal “Percayalah”, “Maafkan (Tak Sempurna)”, serta “Tunjuk Satu Bintang” yang berirama groovy. Liriknya lagi-lagi bicara soal cinta.
Perhatian selanjutnya beralih ke Stage A, kali ini audiens disuguhi atraksi musik tanpa syair oleh Agam Hamzah Acoustic Connections yang langsung beraksi lewat “Spain” besutan salah satu maestro jazz modern, Chick Corea. Ditampilkan dalam format trio; dua gitar akustik nilon serta satu violin, digesek oleh Dika Chasmala. Waktu mendengar Agam memainkan komposisi tersebut, seolah terbersit di benak tentang latar belakang “Spain”. Perlu diketahui bahwa gubahan Chick Corea tersebut basisnya adalah karya komposer Spanyol Joaquín Rodrigo (1901-1999), dalam concerto gitar Concierto de Aranjuez (1939) bagian kedua (Adagio). Nuansa tematik Spanyol dihadirkan Agam melalui permainan gitar bergaya flamenco, terlebih ketika nomor “Mediterranean Sundance” kepunyaan Al Di Meola melaju pesat dalam formasi trio gitar. Beragam teknik seperti sweep picking, vibrato, tremolo picking, dan glissando berhasil mereka pamerkan. Sebelum mengakhiri performa, Agam menyisipkan promosi dengan kalimat, “saya ini instruktur di Y2K juga lho…”, cetusnya.

Entah kagum atau minder, yang jelas para penonton kawula muda tak dapat beralih pandang dari panggung Stage B. Tumpuan atensi diarahkan pada penabuh drum “kecil-kecil cabe rawit” Nathan Gulo. Usianya baru tujuh tahun, tapi paras lugunya itu sukses mengecoh audiens lewat atraksi tongkat kayu atas selaput plastik dan lempeng besi. Ia begitu memukau waktu menyajikan “Spain”, “Milestones”, hingga “My Favorite Things”, dari pena Richard Rodgers/Oscar Hammerstein II yang versinya mendekati garapan John Coltrane. Bersama regu dengan personil berumur jauh diatasnya, Nathan tak sedikitpun canggung.


Dari sekian banyak artis utama BJF 2010, hanya BLP yang dijatah manggung rangkap dua. Untunglah pada hari kedua mereka tampil beda dari biasa. Kalau tidak, jemu dibuatnya. Lain dengan putaran pertama, senja itu Barry membetot kontrabas dan bersama rekan-rekan ia menyajikan nuansa jazz kental lewat nomor standar “Naima”, Night in Tunisia”, “Seven Steps to Heaven”. Vokal Matthew Sayersz terdengar merdu waktu melagukan “Moody’s Mood for Love” milik James Moody. Tembang andalan BLP “Mati Saja” pun digarap dalam irama swing. Alhasil, gadis-gadis makin histeris.

Langit semakin redup, senja memudar berganti malam. Desir pawana bisikkan nostalgia. Memori terkuak waktu band lawas itu mulai tampil. Adalah Ireng Maulana, salah satu dedengkot jazz Indonesia era 1960-an yang petang itu membawa serta kakanda Kiboud Maulana juga Sam Panuwun (kibor), Mates (bas), dan Jacky Patiselano (drum). Dibuka lewat nomor wajib “First of May” milik The Bee Gees yang lucunya, harus diulang karena Sam memainkan intro pada nada dasar berbeda. Kemudian irama latin dalam “Dr. Macumba” dari gitaris smooth jazz Earl Klugh, dimainkan kalem dan kompak oleh Ireng dan Kiboud. Tak lama berselang, audiens pun dibuai ketika suara khas Ermy Kullit berlagu tembang abadi miliknya, “Pasrah” dan “Kasih” yang santai berdenyut bossa nova. Ungkapan cinta turut dinyatakan lewat “For Once in My Life”.


Jika seorang Yovie Widianto hanya dikenal sebagai penulis lagu (pop) cinta-cintaan, panggung utama BJF 2010 malam itu berkata lain: Yovie keranjingan fusion! Tampil bersama band bertajuk Yovie Widianto Fusion (YWF), ia beraksi lain halnya ketika manggung bareng Kahitna atau Yovie & Nuno. Musiknya terdengar cukup garang, campuran antara jazz, rock, funk, hingga sedikit menyerempet etnik. Barisan penyokong YWF terdiri atas Kadek Rihardika (gitar), Gerry Herb (drum), Adi Dharmawan (bas), Iwan Wiradz (perkusi), Bambang Purwono (kibor), dan satu-satunya wanita, Unique (vokal). Tampak pula pemrakarsa BJF 2010, Yoyok CR dengan tiupan saksofon tenor. Aksen pertunjukan adalah waktu Adi nembang bergaya Hindustan dengan jenaka sembari bermain bas secara resitatif. Terkait kiprahnya bersama YWF ini, Yovie melontarkan komentar pragmatis, “…bedanya, kalau dalam [musik] pop, akornya sedikit, tapi kalau di [musik] jazz, akornya banyak tapi bayarannya sedikit…”, ujarnya tersenyum simpul.

Selepas YWF, tiba saat nyong Ambon bernama Andre Hehanussa menghibur penonton secara interaktif. Ia kerap merangkul audiens untuk bersama-sama menyanyikan lagu-lagu hit periode 1990-an miliknya semisal “Bidadari”, “Kuta-Bali”, dan “Karena Kutahu Engkau Begitu” (populer disingkat “KKEB” – red.). Andre nyanyi sambil bergitar, pun ia menggandeng Inang dan Iwang Noorsaid untuk menggebuk drum serta menekan tuts kibor, juga kontrabasis Donny Sundjoyo. Bilangan usia terus meningkat, namun penggemar Andre pun ikut bertambah banyak.
Aksi selanjutnya diberikan oleh pianis-vokalis Otti Jamalus. Ia muncul di Stage B dalam bentuk kuartet dengan suami tercinta Yance Manusama (kontrabas elektrik), dan gitaris Tio Alibasa serta drummer Sandy Winarta, keduanya masih terbilang muda. Kuartet ini mengawali pertunjukan melalui “Just the Way You Are” karangan Billy Joel. Penggemar Diana Krall akan dengan mudah mengakses musik garapan Otti Jamalus Quartet karena benang merahnya sangat jelas terlihat. Mereka lanjut performa lewat ballad “Softly, as in a Morning Sunrise”, nomor cantik “You Taught My Heart to Sing” gubahan Sammy Cahn/ McCoy Tyner yang dahulu populer oleh suara emas Dianne Reeves. Nyaman di telinga waktu Tio membunyikan gitar hollow body dengan halus dalam nuansa bossa nova. Derap funk pula samba atas lagu “I Don’t Want to Talk About It” menyudahi penampilan keempatnya, terselip aksi solo Yance dan Sandy yang merentak.

Basis dengan perawakan tambun, Harry Toledo, turut pula meramaikan jalannya acara setelah RAN – band kesayangan ABG – nongol di panggung utama. Ia tampil lewat aksi “cetat-cetét” (suara perkusif dari bas elektrik dengan teknik slapping) yang funky dan berlekuk. Regu pimpinannya diberi nama Harry Toledo Turbulence of Soul, nomor-nomor yang dibawakan cukup bikin penonton bergoyang.
Sebuah grup dengan visi progresif Trioscapes nampaknya harus berbesar hati. Trio beranggotakan Riza Arshad (kibor), Yance Manusama (bas), dan Aksan Sjuman (drum)malam itu seolah menjadi penampil “kelas dua”. Mereka main di panggung bawah, terletak di dalam sentra belanja Bekasi Square, itupun dengan peralatan seadanya. Riza yang biasa memainkan Rhodes, tampak sedikit bingung waktu ia berurusan dengan kibor yang disediakan panitia. Aksan pun ikut nimbrung ketika Riza mengutak-utik setelan kibor tersebut. Sementara Yance cuek saja, ia sibuk memetik bas sembari menunggu kedua rekannya siap. Syukurlah akhirnya semua beres, mereka bawakan komposisi “The Three”, “Minor Reportance”, dan “Burb Herb”. Meskipun pahit kenyataan namun ketiganya tetap profesional, musik mereka toh digemari, oleh segelintir penonton yang duduk lesehan.


Sementara pada arena “kelas satu” tampillah kelompok musik paduan junior-senior berbakat terpanggil Benny Likumahuwa Jazz Connection (BLJC). Di dalamnya tentu saja ada trombonis Benny Likumahuwa, puteranya Barry Likumahuwa (bas), Sam Panuwun, Donny Joesran (kibor), Demas Narawangsa (drum), dan tidak ketinggalan saksofonis Indra Aziz. Grup ini mentas tepat sebelum penampil terakhir pada BJF 2010, Maliq n d’Essentials. BLJC menghadiahkan audiens lewat sajian “Killer Joe” gubahan Benny Golson, komposisi Barry “Not a Jazz Tune”, juga karangan Benny “Like Father Like Son”. Terselip pula liukan olah vokal Indra beratraksi scat singing juga mengimitasi semburan trumpet. Menjelang usai penampilan BLJC, Barry unjuk performa lewat solo merepet. Belum sampai birama terakhir, tampak para penonton remaja sudah bergegas menuju panggung utama, mereka sepertinya tak sabar menanti suguhan Maliq n d’Essentials. Di lain pihak, sejumlah audiens yang bukan kalangan remaja, terlihat enggan untuk beranjak ke panggung utama. Buat mereka, penutup BJF 2010 adalah BLJC. Seorang diantaranya berkomentar, “Wah, festival jazz kok ada RAN sama Maliq, malah jadi kayak Pensi (Pentas Seni – red.) SMA ya? Jazznya dimana?”, ujarnya sedikit sinis.

Setelah sajian terakhir oleh Maliq n d’Essentials yang juga merupakan buntut rangkaian acara, gelapnya langit di atas pelataran parkir atap Bekasi Square diwarnai letusan dan percikan kembang api yang disambut segenap pengunjung. Tanda bahwa Bekasi Jazz Festival 2010 resmi ditutup serta menyisihkan asa untuk kembali terselenggara pada tahun mendatang. Diharapkan perhelatan ini terus bergulir, tentunya dengan konsep serta pelaksanaan yang lebih bernas. Selamat dan sukses untuk panitia atas jerih payah menghadirkan festival jazz pertama di Bekasi. Semoga BJF 2010 mampu untuk memberikan umpan balik kepada masyarakat Bekasi sehingga makin apresiatif terhadap jazz. Amin.