Bambu, Dari Gawai Hingga Suara Merdu
Catatan Seputar Festival Bambu Nusantara IV, Bandung, 2 – 3 Oktober 2010
Sebuah perhelatan akbar terlantaskan di Bandung, mengawali geliat seni kota kembang pada bulan Oktober. Acaranya berupa festival (tahunan) yang warsa ini adalah kali keempat diadakan. Bernama Bambu Nusantara IV “World Music Festival” (Festival Bambu Nusantara – FBN) dengan gagasan tema “Revitalisasi Bumi Dengan Musik Bambu”, bertempat di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) selama dua hari, Sabtu dan Minggu. Terselenggara atas kerjasama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Indonesia dengan Republic Entertainment dan Maharani Esa Sejati serta merupakan rangkaian selebrasi dwi abad kota Bandung.
Banyak hal dapat dijumpai pada FBN 4, tidak hanya musik saja, ada pula seni pertunjukan lain seperti teater, tari, dan happening art. Di samping itu nampak puluhan gerai meramaikan Sabuga dengan aneka kreasi; mulai dari instalasi foto, hasta karya, busana, sampai produk kuliner tradisional yang langsung dapat dikonsumsi pengunjung. Semua serba bambu! Bagi para hadirin FBN 4, khusus selama dua hari berlangsungnya acara, Bandung seolah berganti nama menjadi “kota bambu” karena bambu ada di segala penjuru.
Digelar pula loka karya oleh berbagai komunitas seni budaya bambu, sehingga pengunjung yang berminat dapat menambah pengetahuan tentang bambu. Sebelum acara resmi dibuka, diadakan seminar bertajuk “Bamboo: A Plant with a Bright Future in Indonesia” dengan pembicara antara lain pakar bambu Marc Peeters dan Thomas DeReze dari PT Bambu Nusa Verde, Yogyakarta serta Chamim Marka, “manusia bambu dari Malang”, dikenal akan kreasi sepeda bambu yang dapat menempuh jarak 3.500 kilometer, pun masih utuh setelahnya. Dua buah sepeda bambu buah karya Chamim turut dipamerkan persis di depan pintu masuk Auditorium Sabuga.
Indonesia sangatlah kaya akan ragam seni budaya, kekayaan itu ditunjukkan salah satunya lewat bambu. Terlihat dalam aneka sajian musik bambu oleh seniman lokal dari pelosok Nusantara yang meramaikan FBN 4. Selain mengusung propaganda peka lingkungan, poin signifikan dari gelaran tersebut adalah melibatkan generasi muda secara inklusif untuk (setidaknya) bersentuhan langsung dengan musik bambu. Ditanggapi positif lewat keikutsertaan puluhan kelompok musik bambu dari SMP, SMA, hingga perguruan tinggi yang ada di Bandung.
Sabtu siang (2/10) FBN 4 resmi dibuka lewat goyangan tiga buah angklung yang masing-masing berada di tangan Fathul Bachri Wijaya (Dirjen Promosi Dalam Negeri, Kemenbudpar), Dadang Johari (Direktur Arena Kultural Universal, Republic Entertainment), dan Herdiawan Iing Suranta (Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat) kemudian berlanjut dengan penampilan 500 pemain angklung terambil dari sebelas SMP dan SMA se-Bandung. Bunyi angklung lantas menggema di Auditorium Sabuga, bertabrakan dengan iringan band terdiri atas gitar dan bas elektrik, vokal, juga drum yang lumayan banter dan distortif. Mereka bawakan dua aransemen lagu “Ignorance” milik Paramore serta “Hysteria” kepunyaan Muse. Secara estetis, pemilihan kedua lagu itu seolah menunjukkan ke-putus asa-an karena melenyapkan keindahan musik bambu itu sendiri. Bukankah judulnya “Festival Bambu Nusantara”? Sama sekali nggak nyambung. Namun apa mau dikata, kedua lagu itu adalah pilihan para pemain yang jelas-jelas masih ABG. Sepertinya bambu harus mengalah pada dilema ini.
FBN 4 hari pertama didominasi oleh pertunjukan musik bambu kolaboratif. Artinya, ragam tradisi musik bambu Nusantara bercampur aduk dengan bunyi-bunyian modern elektronis pada genre lain di luar musik tradisi semisal pop, rock, rap, latin, dan sebagainya. Perihal titik berlangsungnya pentas, ada tiga buah panggung yaitu Selasar Utara, Selasar Selatan, dan Auditorium. Selasar Utara difokuskan kepada pertunjukan grup-grup angklung pelajar dan mahasiswa, Selasar Selatan diwarnai sajian musik bambu tradisional hingga kontemporer, sedangkan Auditorium lebih disiapkan untuk menampilkan bintang tamu dan pengisi acara utama dilengkapi bangku penonton serta penyejuk ruangan.
Hari masih sore waktu kelompok Saratus Persen tampil di Auditorium. Dengan menggabungkan instrumen tradisional seperti kentongan bambu, saron, bonang, dengan alat musik modern (bas elektrik, terompet, trombon, biola, sampai drum), mereka turut mengajak serta “tukang repet” (rapper) Sunda Ebieth Beat A. Hasilnya, detak ritme mirip jaipongan sebagai iringan rap. Ketika beraksi nge-rap, Ebieth cukup mumpuni, namun sewaktu berdendang melodi, lain cerita. Seandainya Trie Utami ikut nonton, ia pasti bakal melontarkan trademark-nya; pitch control!
Beralih ke Selasar Selatan, telah siaga enam orang wanita paruh baya untuk menyajikan musik Arumba (alunan rumpun bambu – red.). Grup ini menamakan diri Plumeria, asalnya dari Jepang. Alih-alih memainkan shakuhachi (instrumen tiup bambu tradisional Jepang), mereka justru beraksi dengan tiga pasang angklung dan gambang. Permainannya cukup rapi, terasa dinamis dengan ritme ajek. Tidak percuma mereka memakai partitur. Keenamnya mencuri perhatian waktu bawakan “Copacabana” dari Barry Manilow.
Eksotika Pulau Dewata hadir lewat kelompok (Gamelan) Jegog, yang memukau penonton dengan virtuositas pada instrumen pukul dan tiup yang seluruhnya dari bambu. Irama rampak berdegup kencang waktu mereka beraksi memainkan jegog, suling, barangan, kancil dan suir dalam pola ritmis kotekan (interlocking). Turut dimeriahkan oleh kolaborasi dengan bintang tamu Dwiki Dharmawan pada kibor. Dwiki kembali tampil di waktu yang berbeda saat beraksi gambang dengan grup Saung Angklung (Mang) Udjo (SAU) pun membawakan komposisinya bertajuk “Spirit of Peace” pada sesi acara “Tribute to Wawan Juanda”. Wawan adalah penggagas FBN dan ia merupakan salah satu pionir industri kreatif di Bandung. Dirinya telah berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 5 bulan Juli lalu.

Dari belahan timur Nusantara, ansambel Bambu Melulu ikut serta dalam perhelatan ini. Asalnya dari Minahasa, Sulawesi Utara. Sesuai namanya, keseluruhan instrumen (tiup) terbuat dari bambu dengan ukuran beragam. Mulai dari sekecil peluit sampai dengan sebesar tuba, lengkap dibunyikan. Bentuknya juga bermacam-macam. Ada yang seperti flute, klarinet, saksofon, sousafon (teringat akan kesenian tanjidor) bahkan mirip terompet dengan corong setengah vertikal milik Dizzy Gillespie. Pada dasarnya grup ini bergaya musik militer dengan aransemen mengarah kepada marching band, namun membawakan lagu-lagu daerah Nusantara. Salah satunya yang cukup akrab terdengar adalah “Rek Ayo Rek” dari Jawa Timur. Audiens sempat memrotes MC waktu lagu itu disebut keliru dengan “Ondel-Ondel”.

FBN 4 putaran pertama dituntaskan oleh performa grup multi-kultural Sambasunda. Malam itu Ismet Ruchimat dan kawan-kawan, termasuk flutis “tamu” dari Norwegia Patrick Shaw-Iversen menghibur penonton lewat sajian musik yang eklektik, meleburkan berbagai macam unsur tradisi (musik) dunia, tak terkecuali musik bambu. Ritme-ritme rampak bersanding dengan guyonan adalah ciri khas dari kelompok musik yang sering tampil di berbagai belahan dunia ini.

Pada hari kedua FBN 4, Minggu (3/10) sebagian besar penampilnya adalah dari kalangan musik tradisi Nusantara. Dibuka dengan aksi Rampak Suling Sorgawi kemudian berlanjut menuju grup Shagara, isinya anak-anak muda yang mencoba berkreasi musik bambu dengan elektronika. Pemandangan menarik nampak pada Selasar Selatan waktu Sora Awi dari Jepang berupaya mensinergikan musik bambu dengan irama latin. Kesenian rakyat turut dihadirkan lewat nuansa teatrikal oleh Rampak Calung Purbalingga serta Angklung Caruk Banyuwangi.
Propinsi Sumatera Barat ikut serta meramaikan FBN 4 dengan mengirimkan kedua wakilnya, Talempong dan Serunai. Mereka mencoba bertahan pada ranah tradisi di tengah himpitan roda industri (musik) dalam negeri yang kini semakin degeneratif, seolah menafikkan kekayaan ragam budaya Nusantara. Ada pula aksi panggung interaktif dalam penamplan Angklung Caruk Banyuwangi kental dengan unsur improvisasi.
Penampil lainnya adalah grup Shockbreaker yang kembali menghadirkan flutis Patrick Shaw-Iversen lewat garapan musik bambu dalam kemasan multi media. Sebagian besar audiens remaja terlihat antusias waktu menyaksikan suguhan Bambu Chillout berikut Ozenk Percussion dengan rapper Ebieth Beat A. lengkap dengan DJ-nya, sembari ngariung di Auditorium. Selepas itu, massa bergerak menuju Selasar Selatan guna melihat penampilan Bambu Wukir dari Yogyakarta, band pecinta noise yang digagas oleh Wukir Suryadi. Medianya adalah sebuah alat musik bambu kreasi Wukir sendiri yang bentuknya sekilas mirip sasando, instrumen khas Rote, dengan rupa lebih panjang. Cara memainkannya lebih seperti gitar, kadang dipetik, juga digesek dengan bow (penggesek). Tambah berisik dengan pemakaian amplifikasi distortif. Disertakan pula tiga orang vokalis yang melancarkan bait-bait kritik sosial. Agak sulit untuk memberikan penilaian, apakah mereka sajikan olah bunyi konseptual atau cukup sekedar centang-perenang teatrikal. Batasnya sangat tipis, semua tergantung persepsi penonton.

Seperti FBN tahun-tahun sebelumnya, Balawan & Batuan Ethnic Fusion dijadwalkan untuk menuntaskan rangkaian acara yang dimulai sejak hari pertama. Sebelum Balawan tampil, Herdiawan Iing Suranta resmi menutup FBN 4 dengan kata penutup. Malam itu Balawan membawa sepasang gitar, sebuah terpasang statis di atas penyangga, satu lainnya dipikul. Menurut pengakuannya, gitar yang sedang ia panggul adalah buatan dalam negeri, “Saya pesan gitar ini di Sidoarjo,” tuturnya. Selain menunjukkan kepiawaian bermain gitar dengan teknik “eight fingers tapping” yang jadi ciri khasnya, Balawan pun merebut simpati audiens dengan bernyanyi. Lagu pertama yang didendangkan adalah milik almarhum Farid Hardja, “1…2…3…” bergaya reggae. Gitar Balawan ternyata bisa ngomong, berkat olah synthesizer. Aksi lainnya adalah ketika Balawan cs memainkan nomor bertempo ekstra cepat secara unison di atas insrumen gitar dan gambang, disajikan dalam rampak irama kotekan (interlocking) yang meriah.

Seisi Auditorium terlihat kompak bernyanyi bersama Balawan waktu melagukan “Esok Kan Masih Ada”, tembang kepunyaan Utha Likumahuwa. Menggelitik telinga kala terselip frase “Air on a G String” milik Johann Sebastian Bach yang digarap memakai efek delay. Semakin memikat waktu pemain dari Batuan Ethnic Fusion menyajikan sesi improvisasi lewat pukulan rancak pada instrumen kendang, ceng-ceng, dan tawa-tawa yang dibalas riuh tepuk tangan penonton. Festival Bambu Nusantara 4 akhirnya rampung dengan sajian penutup “The Dance of Janger” yang virtuosik dan gegap gempita.