Festival

Catatan Kaki: Ramadhan Jazz Festival 2011

Jelang sepuluh hari terakhir Ramadhan 1432 H, Masjid Cut Meutia yang selalu disesaki jamaah tarawih hingga ke pelataran ini menjadi tempat perhelatan festival jazz. Panggung didirikan di luas pelataran belakang bangunan bersejarah unik ini dengan posisi penonton membelakangi serongnya kiblat masjid yang pernah jadi kantor beberapa jawatan Hindia Belanda pada 1900-an. Hari pertama (12/08/’11) dimulai selepas tarawih. Serambi Jazz yang digelar di GoetheHaus tak jauh dari situ hampir usai, tetapi sebagian penonton sudah ada yang datang dari acara tersebut. Salah seorang di antaranya, rekan kontributor sebuah free magazine, mengomentari VnS (Voiceless & Soulastic) yang sedang di atas panggung, “Bagus juga. Siapa, nih?” Jika kita cukup rajin pasang frekuensi radio yang memutar lagu-lagu terkini, mungkin “Cinta Cinta Cinta” milik VnS akan se-tak asing mengikuti akun Twitter mereka atau cek lagu-lagu dari portal khusus musik ataupun kanal YouTube dari kelompok-kelompok muda sejenis. Ramadhan Jazz Festival 2011 memang diawaki Remaja Islam Masjid Cut Meutia (RICMA) dalam warna muda-mudi yang kemudian pas dengan visi dakwah lewat musik sebagaimana diungkap ketua RICMA, Muhammad Pradana, “Dulu Islam berkembang di Indonesia melalui gamelan yang diperkenalkan Sunan Kalijaga.”

Tompi di Ramadhan Jazz Festival 2011
Tompi di Ramadhan Jazz Festival 2011

Dalam promo dua malam festival tersebut memang tetap terdapat nama-nama top seperti Andien (tampil dalam Chamber Jazz bersama Iwan Hasan), Tompi, atau Dwiki Dharmawan (yang urung hadir karena ibundanya meninggal dunia). Namun, anak muda juga punya lingkup apresiasi sendiri, fan base yang antusias cari identitas unik dan cukup loyal datangi pertunjukan. Komunitas Jazz Kemayoran misalnya, menyumbang Live at Wonderland, Joe Abdul & Friends, dan tak ketinggalan senior Beben Jazz. Umumnya penampil menyertakan kalimat pujian dan membuat versi jazzy lagu religi (misalnya karya Bimbo) tetapi tetap dominan bawakan karya sendiri. Zarro malah punya single “Shalawat” dalam khazanah Brazil. Soulvibe pun menyimpan “Terang Jiwa”, lagu religi yang tak umum berbungkus disko RnB. Selebihnya adalah kesempatan untuk mengenali bakat-bakat muda yang kini fasih mencomot pondasi jazz ke dalam bahasa sebayanya. Bayu Isman (saksofon) atau Gerald Situmorang (gitar) misalnya malah dapat porsi improvisasi solo yang lumayan. Demas Narawangsa yang iringi Tompi bareng Nita Aartsen pun masih masuk hitungan muda, ia tanpa canggung membalas scat perkusif ala tabla dari Tompi lewat pukulan drum. Kalaulah dua hari ikuti penuh, kita bisa absen pemain ataupun pembuat aransemen bagus dari rombongan Iwan Abdie & Mr Brightside, HivI!, BAG+Beat, The Extra Large, Radhini atau Diah Ayu.

VnS di Ramadhan Jazz Festival 2011
VnS di Ramadhan Jazz Festival 2011

Festival meramaikan syiar Ramadhan ini adalah buah bersambutnya ide yang dilemparkan WartaJazz yang segera ditanggapi RICMA. Bulan Agustus 2011 pun paralel dengan 11 tahun usia WartaJazz dengan festival ini sebagai syukurannya. Reaksi sebelum ataupun sesudah festival beragam terlihat dari liputan-liputan media massa. Koran KOMPAS pun sempat memuat wawancara dengan Andien sebelum acara, mengambil sudut pandang “jazz dan masjid” sebagai kombinasi tak lumrah. Di luar banyaknya respons menanti sesuatu yang tak biasa ini, masyarakat jazz sendiri telah mengenal tradisi spiritual secara umum. Biografi Dizzy Gilespie menunjukkan sinkretisme, terpengaruhi lawan bermain muslim ataupun Islam itu sendiri, mirip pengalaman spiritual John Coltrane. Di luar diskusi irisan akar jazz dan Islam (bisa cari dan ikuti terpisah penelitian atas blues klasik “Levee Camp Holler”), banyak jazzer ternama yang menyatakan keislamannya (sebut saja Art Blakey dan Ahmad Jamal) dan/atau berkarya sebagai bagian mengalami keimanan atau mistik (yang terakhir dan bersifat implisit ini justru mungkin lebih banyak). Kolaborasi dengan prominen Musik Timur yang lebih tegas lekat dengan simbol penyebaran Islam juga mewarnai rilis jazz kontemporer (Anouar Brahem dan Dhafer Youssef contohnya). Maka bayangan festival jazz di bulan suci Ramadhan mungkin akan mencakup gambaran akan musik-musik yang menghanyutkan secara mistik dan transedental seperti disebutkan. Kita sendiri punya Idang Rasjidi yang eksplisit melantunkan shalawat di atas swing dalam kompilasi “Sound of Belief” (2004) atau Indra Lesmana yang merekam “Reborn” (2000) sebagai tonggak religius yang mirip dengan “A Love Supreme” (1964) dari Coltrane.

***

Tahun ini wajah Ramadhan Jazz adalah festival yang membumi, masyarakat datang dengan segala keragamannya. Di tengah kaum muda ada ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak tumplek di pelataran masjid, bahkan turis bule di antaranya. Bolehlah kita berharap anak-anak itu tahun depan bisa kembali antusias dalam semburat jazz, akan menari berputar dengan para darwis, ikut arak-arakan meriah orkes marawis yang akrab dengan pernikahan di sekitar kita lengkap dengan oud, dambuk, rebana, dan akordeon; atau bisa jadi ada Ahmad Dhani lantunkan “Mustapha” milik Queen dari album “Jazz” dengan segala kontroversinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker