Jazz Terbit di Ujung Timur Jawa: Banyuwangi Jazz Festival 2012

Matahari mendului terbit di timur Jawa, di Banyuwangi, kabupaten yang tengah berbenah menjaring wisatawan dengan baris slogan baru “Sunrise of Java“; dan meskipun belakangan, jazz pun terbit di ujung timur itu tepat di bulan November, musim penghujan 2012 yang menyuburkan tontonan jazz berformat festival di berbagai kota. Menyuguhkan pagelaran musik berskala besar dengan sekaligus mendongkrak jenis musik yang tidak biasanya adalah tantangan lokal yang terprediksi. Maka strategi umum memilih artis penarik-minat (yang berlaku juga di kota besar sekalipun) diterapkan untuk membuka akses masyarakat pada jazz perdana bertajuk Banyuwangi Jazz Festival (BJF) 2012 (17/11/’12).
Taruhlah semua festival di Indonesia itu adalah rumah baru jazz, maka adaptasi lainnya (yang mungkin malah dilupakan penyelanggara di kota besar) adalah mencari kekhususan jazz di rumahnya yang baru. Syukur-syukur kalau modalnya kuat, kekhususan itu hadir dalam menu lengkap yang menyertakan jazz otentik dari akar hingga avant-garde/kontemporer di cabang-cabangnya. Walhasil, menerbangkan Riza Arshad (Ija) dua hari lebih awal untuk berlatih langsung dengan kelompok kesenian setempat memperlihatkan usaha BJF untuk bertanggung jawab atas menu jazz pada festivalnya, sekaligus menyokong penampilan bermuatan lokal. Maka jadilah agenda pembuka Banyuwangi Ethno Music mengemas Arum Semi ditimpali improvisasi Ija pada “Sing Ono Jodo” atau transformasi “This Spirit” milik simakDialog jadi “Nyawa”, eksklusif milik kolaborasi ini.

Pada jadwal lainnya ESQI:EF (Syaharani & Queenfireworks) yang memilih “Tersiksa Lagi” (alias gubahan berlirik dari nomer “You Are The Reason“-nya Ramsey Lewis yang dipopulerkan Utha Likumahuwa) jadi ajang sing along interaktif penonton yang memadati arena Gesibu Blambangan. Atraksi solo agresif dua bas elektrik pun jadi pengaya penampilan ESQI:EF dengan Roedyanto Wasito (Emerald) menangkis permainan Kristian Dharma dalam teknik slap. Monita Tahalea pun tak luput dari sambutan baik warga, “God Bless the Child” dalam variasi blues Billie Holiday pun diapresiasi baik.
Campur aduk antusiasme warga Banyuwangi antara ingin tahu konser jazz, penasaran lihat Syaharani atau Rieka Roslan, dan bagaimana jadinya musik tradisi yang mereka akrabi muncul di panggung jazz akhirnya jadi amunisi yang memperkuat posisi BJF untuk dapat diselenggarakan lagi. Terlebih kesan dukungan penuh dari Bupati Abdullah Azwar Anas terbilang jarang ditemukan di daerah lain. Sudah biasa festival kecil kesulitan mobil yang harus ulang-alik mengantar banyak rombongan dan hal yang sepertinya sepele itu tidak terjadi di BJF. Setidaknya untuk urusan menjemput, panitia bisa meminjam salah satu dari seluruh kendaraan dinas yang dipul untuk keseluruhan acara Banyuwangi Festival (Festival Anak Yatim, Parade Gandrung Sewu, karnaval, dll.) dengan para pejabat dinas diinstruksikan gunakan kendaraan pribadi.

Apabila ThinkTank! yang jadi mitra Pemkab Banyuwangi untuk porsi festival jazz-nya tidak mengalami aral berarti dalam soal personil kepanitiaan, agaknya masalah tata suara yang harus jadi perhatian pada penyelenggaraan berikutnya. Memang jadi timbul risiko “impor” dari kota besar apabila tidak ada yang memenuhi kualifikasi; karena tidak kaget juga misalnya di Bali, lihat deretan pengeras suara dari vendor Jakarta.