Opini Jazz

Jazz: Media Perlawanan atau Eksistensi?

Oleh: Ardi Kurniawan

Dalam sejarahnya, jazz adalah media perlawanan atas ketertindasan ras dan kelas sosial. Ras kulit hitam yang secara kelas sosial pada saat itu dianggap lebih rendah dibandingkan ras kulit putih melakukan perlawanan lewat media musik jazz. Sekian dekade kemudian, musik tersebut sudah tersebar ke berbagai negara, termasuk negara-negara yang sering disebut negara dunia ketiga.

Berbicara soal musik jazz, musik jenis ini di Indonesia akhir-akhir ini mulai menunjukkan geliatnya. Berbagai festival musik jazz yang menampilkan musisi dalam dan luar negeri diapresiasi oleh masyarakat. Yang menarik, para penikmat musik jazz tersebut sebagian (besar) adalah anak-anak muda usia. Dalam konteks sosiobudaya masyarakat di Indonesia, jazz dipahami sebagai musik kaum elite, kelas menengah ke atas, dan para intelektual. Hal ini dimaknai pula oleh anak muda yang berbondong-bondong tiba-tiba datang ke berbagai festival jazz yang digelar belakangan ini. Terlepas dari mereka benar-benar menikmati musiknya atau tidak, tentu perlu dilihat bahwa kegiatan menikmati festival jazz bagi anak muda bukan hanya sekedar ajang apresiasi seni. Namun, lebih dari itu, sebagai ajang eksistensi diri manusia homo Indonesianis kelas menengah yang rindu pengakuan atas eksistensi dirinya di masyarakat. Dalam sebuah pepatah mungkin akan dikatakan bahwa aku menonton jazz maka aku ada.

Tentu tidak ada yang salah dengan menikmati sebuah festival musik jazz, dan tidak dilarang juga menggunakan musik sebagai ajang eksistensi diri. Hanya saja yang perlu dikritisi disini adalah jangan sampai jazz hanya sekedar menjadi trend sesaat (walaupun tidak selamanya trend itu buruk). Para anak muda penikmat musik jazz tersebut tentu perlu diberikan juga pemahaman bahwa dalam sejarahnya yang panjang, jazz bukanlah milik kaum elite, namun milik kaum tertindas dan minoritas, dan musik tersebut digunakan sebagai media untuk melawan ketertindasan tersebut. Jangan sampai setelah sekian dekade, musik jazz justru digunakan sebagai alat menindas oleh kelas sosial yang ada di atas kepada kelas sosial di bawahnya. Jazz jangan sampai digunakan sebagai bukti bahwa mereka yang mampu menikmati dan mengapresiasi musik tersebut mengklasifikasikan dirinya serba lebih (berkelas) dari mereka yang secara sosial budaya ekonomi tidak mampu menikmati jazz. Jazz harus dikembalikan pemahamannya sebagai sebuah media pembebasan nonkekerasan dari ketertindasan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker