Java Jazz Festival

Lebaran Jazz (Kaum Puritan) di Java Jazz Festival 2013

the-young-lions-kenny-garrett-roy-hargrove-jjf-2013.jpg
Menu Kuintet Malam Pertama Djarum Super Mild Java Jazz Festival 2013: Roy Hargrove & Kenny Garrett (Foto: WJ/Adit)

Problematik menyebut puritan bagi sosok multifaset seperti Kenny Garrett pun penonton panggungnya. Akan tetapi, biarlah kue penikmat format otentik digabung di situ bareng front penggemar garis keras yang bahkan menganggap jazz sudah mati ikuti sahihnya Miles Davis, “The past is dead. Jazz is dead. That’s it. Finito!” Melupakan masalah label, yang sudah tidak jadi masalah dan tak ada perbedaan berarti lagi di 2013 ini adalah gembiranya bisa Lebaran Jazz bareng, setelah sekian kali, kompak dan akur pada Java Jazz Festival ke-9 ini. Puritan manapun itu pada akhirnya berbuka bersama penikmat aneka selera.

Tak dipungkiri yang sudah rela puasa jazz sebelum festival akan mengkhususkan live Garrett dalam menu tahun 2013. Selain sudah terlampau lama dari kunjungan terakhirnya saat ia menyempatkan pula salat di Masjid Istiqlal, Garrett adalah salah satu musisi prominen young lions yang bisa dihadirkan Java Jazz setelah Roy Hargrove. Sedikit sejarah: lingkaran musisi “singa” tersebut adalah reaksi atas perkembangan kontras free jazz dan jazz fusion periode 80-an yang lagi-lagi young lions disindir Miles dalam kiasan makanan kemarin yang dipanaskan lagi (warmed-over turkey).

Pada kenyataannya komentar-komentar serupa Miles jaman akhir itu tak berhenti di dekade itu saja. Bak self-fulfilling prophecy, kita nyaris niscaya melihat daur yang kongruen pada musisi-musisi jazz aktual, lagi dan lagi. Percaya atau tidak, ruang Java Jazz Festival 2013 saja bisa jadi contoh walaupun kita cuma punya sampel minim: tiga malam pertunjukan.

Tengok saja satu dulu, Roy Hargrove yang tadi sudah disebut-sebut, tampil dalam kuintet di malam pertama yang meski bukan bawakan karya klasik, berformat otentik, dekat dengan alun swing alias mengayun secara harfiah, untuk lalu esoknya dijadwalkan tampil dalam beat patah-patah, karakter flow alias mengalirnya R&B dan hip hop, dalam proyek The RH Factor. Peniup terompet dan flugelhorn itu pernah bilang, “My goal with RH Factor has always been to try to erase the lines between the mainstream and the underground – straight ahead and hip hop/R&B.” Fakta bahwa ia bisa lebih sering tur dengan grup yang juga menampilkan porsi vokal itu diungkapnya dalam alasan logis, “People are turning a deaf ear to jazz. Some of that is the fault of jazz musicians trying too hard to appear to be cerebral.

Jazz negeri kita pun ada contohnya tak terkecuali. Indra Lesmana yang bawa corak baru LLw tampil galak dengan keytar yang diumpankan ke beberapa pedal yang dulunya efek eksklusif buat gitaris. Deret tuts itupun meraung tak ayalnya lentur senar Hendrix didorong distorsi. Trio plus-plus inipun tak berpaling dari tren hip hop, suatu kategori yang di negeri asalnya pun Grammy-nya (R&B) justru dimenangi pianis jazz Robert Glasper. Itu malam pertama dengan energi dua belia Barry Likumahuwa dan Muhammad Ibnu Rafi, esoknya lain cerita, ia dijadwalkan tampil dalam trio hard bop berinspirasi lokal, Kayon.

indra-lesmana-llw-keytar-rock
Indra Lesmana dalam ekspresi rock keytar, sound baru LLw (Foto: WJ/Ghitha)

Kalau bosan dengar gerutu profetik Miles, kita bisa dengar budayawan Melayu, sekaligus sahibul hajat Malacca Strait Jazz Festival beberapa tahun silam, Prof. Yusmar Yusuf, yang menyugesti agar musik Melayu (dalam konteks festival saat itu) tidak hanya sebatas mengumpul barang-barang dalam kubur. Kalau mau ekstrim, apakah kita memilih berziarah di kuburan jazz atau kompak merayakannya sebagai Lebaran penuh warna?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker