Menarik di satu sesi konser Dwiki Dharmawan di Java Jazz Festival 2013 hadir seorang gitaris yang notabene baru hadir di ranah musik ”jazz” tanah air. Dia melakukan unison dengan permainan piano Dwiki di lagu “Tribal Dance” serta ikut dalam jam session medley lagu “Route 66” dan “Spirit of Peace” di penutup konser. Siapakah dia?
Yuri Jo, nama gitaris itu, adalah kawan Dwiki Dharmawan yang lama tinggal di luar negeri. Sekitar 20 tahun dan sampai hari ini Yuri tinggal di Brisbane, Australia. Pertemuannya dengan Dwiki dimulai saat Krakatau konser di beberapa kota Australia pada tahun 2000. Ia mengikuti kegiatan mereka dan banyak berdiskusi dengan Dwiki dan Pra B Dharma tentang musik. ”Saya bayak terinfluence oleh Krakatau 2000, drummer (Krakatau) saat itu Agus, karena banyak berdiskusi dengan mereka. Ini menjadi awal proses belajar saya, dimana untuk jangan takut jadi diri sendiri. Tapi saat bersamaan jangan takut (juga) menyerap dari yang lain.”
Yuri kecil adalah penyuka film kartun yang ia sebut (disadarinya sekarang) karena musik di film-film itu sangat ilustratif. Melalui pergaulan di lingkungan ia tumbuh, Yuri di usia SD-SMP membuat ensemble musik dibawah arah Cheppy Sumirat, gurunya di Pangudi Luhur. Meski ia kemudian kursus gitar klasik, musik rock n roll adalah kegemarannya saat itu, dimana nama-nama Jimi Hendrix, Ritchie Blackmore, dan solo Eddie Van Halen di lagu Michael Jackson ”Beat It” menjadi inspirasi bermain gitar elektrik. Malah di SMA Yuri memiliki band Hardcore/Punk. Bab berikutnya dalah pertemuannya dengan Rio Juneart yang menjadi ”mentor” dan membuka akses kepada perpustakaan musik miliknya. Disana ia secara otodidak belajar dari majalah-majalah serta semakin memperdalam keterpikatannya dengan musik blues klasik dan akar-akar black american music. Salah satu titik balik yang membuat ia ingin lebih mengenal musik jazz adalah kesempatan Yuri menonton Montreal Jazz Festival 1992 dan workshop dengan Nick Romandini di McGill University Montreal.
Yuri menjalani jenjang pendidikan musik formal di Australia sejak pindah ke sana di tingkat akhir SMA (1993), dimualai dari Associate Diploma of Music (1997), Bachelor of Music (2000), Graduate of Music di University of Auckland New Zealand (2005), sampai Master of Music di Queensland Conservatorium Griffith University Australia (2006). Ini membawa ia menjadi pengajar dan kerap bermain gitar untuk beberapa local band di Brisbane. “Kesibukan utama saya lebih sebagai pengajar teori musik dan private guitar di sebuah community college (dari pada sebagai musisi). Hidup sebagai musisi ada tantangan sendiri yang lebih berat dimana akan menggantungkan pada performing susah diramalkan.”
Disela kesibukan mengajar, Yuri tetap beriteraksi dengan teman-teman asal Indonesia di Australia dan komunitas-komunitas multikultural seperti India, Afrika, Pakistan yang banyak melakukan konser-konser kecil. Yuri main bersama multi-nation Reggae Band, Bussatones, with Kojaja Osman (Drummer asal Nigeria), Lois-Anne Vaughan (vokalis asal Jamaica), Rob Wheeller (bassis asal Australia), and multi instrumentalist Fiona Wheeler (Australia). Ia juga membantu show beberapa vokalis, Susanna O’Leary, Sally Cooper dan Yasmin Rajah, yang disebutnya sebagai ”partners in crime”. Bersama musisi Indonesia yang berdomisili di Ausie, Yuri pernah melakukan kolaborasi dengan pemain perkusi Ravi Singh, Deva Permana and Efiq Zulfiqar dalam projek yang diberi nama East West Art Road Project. Pengalaman bermain dengan banyak musisi dari berbagai genre itu membuat ia sampai pada kesimpulan, ”Saya tidak harus (selalu) main jazz. Segala macam musik adalah satu, tapi ada bahasanya sendiri, protokolnya sendiri.”
Pertemuannya kembali dengan Dwiki membuat Yuri sadar bahwa disaat usia terus bertambah, dimana ia telah melakukan discovery kemana-mana dalam bentuk petualangan bersama musik, kini saat untuk membuat karya. Pertanyaan yang dulu sekali pernah ia lontarkan tentang seperti apa musik Indonesia itu sepertinya kini mendapat jawaban ketika ia ditantang Dwiki untuk membuat musik-musik eksperimental. Konsep musik pun mulai ia godog dengan kembali dokumentasi musik yang pernah Yuri kerjakan, seperti re-aransemen lagu ”Puspa Jali” yang dulu dimainkan mengunakan gending untuk mengiringi penari nanti mungkin akan diangkat musiknya saja. Ia juga mereview masukan-masukan yang pernah didapat seperti dari Pra Budi Dharma untuk mengadaptasi lagu ”Es Lilin” atau saran Dwiki untuk membuat lagu dengan diiringi Sidney Orchestra. ”Banyak sekali kemungkinannya, dan pasti gado-gado. Tapi saya tidak mau lama-lama. Target rilis (adalah) sebelum tahun ini habis.” janji Yuri Jo.
Bagaimana jadinya album rekamanYuri Jo ini? Yuri yang lebih suka disebut sebagai ”orang yang antusias, bukan seorang teknisi gitar, dimana gitar lebih sebagai medium dan berharap dapat menjadi musisi”. Kita tunggu.