News

WAWANCARA DENGAN INDRA LESMANA

Indra Lesmana seorang pianis jazz Indonesia putra dari almarhum musisi jazz Jack Lesmana yang sudah berkiprah sejak berumur sepuluh tahun dan pernah mengenyam pendidikan musik di Australia. Albumnya Children of fantasy sebagai kiprah pertamanya sempat mengundang decak kagum dan sempat disebut sebagai musisi jazz muda berbakat dari majalah Down Beat. Sempat membentuk grup Nebula dan membuat album No Standing dan Nostalgia, juga sempat membuat album di Amerika berjudul For Earth and Heaven bersama musisi terkenal antara lain Charlie Haden dan Albert Tootie Heath. Juga sempat bergabung bersama Krakatau band dan Java Jazz, juga membuat proyek PIG dan setelah terlibat dalam beberapa album musik pop Indra kembali dengan musiknya yang diberi title Reborn.

WartaJazz (WJ) : Selamat atas peluncuran album “Reborn”, dan album ini tampaknya juga menimbulkan banyak diskusi, sebetulnya bagaimana konsep awal dari penciptaan album “Reborn” ini ?

Indra Lesmana (IL) : Terimakasih, konsep awalnya sebenarnya mulainya dua tahun terakhir, tahun 1996 saya terakhir membuat album solo yang lebih kearah musik pop dan pada saat itu aku ditawari untuk membuat album dan aku merasa pada waktu itu aku tidak mau untuk membuat album yang seperti itu lagi. Tapi untuk bisa melahirkan suatu bentuk musik atau konsep yang berbeda, itu membutuhkan waktu yang cukup lama terutama dalam mencari suatu tema, artinya begini, aku bisa saja mengarang-ngarang lagu atau ngumpulin lagu, terus bikin album tapi aku ingin lebih dari itu aku ingin memberikan atau menyumbang suatu ide dan pemikiran yang kira-kira bisa disosialisasikan pada masyarakat. Dan pada tahun 1998 setelah dua tahun melalui proses perenungan yang cukup lama, aku banyak dapat ilham dan ilham itu adalah “Reborn”, dan mungkin didasari dari pengalaman pribadi aku sendiri dan kondisi negara kita, kita membutuhkan sebuah semangat untuk bisa lahir kembali dan berbuat lebih baik. Tentunya pemikiran-pemikiran itu akhirnya feedbacknya ke diri saya lagi, gimana saya bisa lebih mensyukuri bakat yang saya miliki dan otomatis musik yang ingin saya buat adalah jalur musik yang saya geluti dari kecil, yaitu musik jazz. Dari situlah kemudian “Reborn” mulai dikonsepkan sehingga lahir sebuah konsep dimana album yang sifatnya lebih seperti otobiografi menceritakan perjalan hidup dan semacam instropeksi dimana kita bisa kembali kepada fitrahnya.

WJ : Pada album ini sepertinya Indra banyak mengadaptasi berbagai jenis musik, ini bagaimana ceritanya ?

(IL): Aku pada saat lagu pertama yang aku ciptakan adalah lagu Reborn itu sendiri kemudian setelah itu lahir beberapa lagu lain seperti Devotion, buah hati dan sebagainya, waktu itu aku membayangkan ingin membuat suatu album yang mana, mungkin sebagai tahap awal dari sebuah kelahiran kembali, aku ingin bisa memperkenalkan musik jazz ke kalangan yang lebih muda. Akhirnya di tahun 1998 itu aku banyak sekali mencoba untuk mendekatkan atau bersosialisasi denagn anak-anak muda di Indonesia bukan hanya di Jakarta tapi juga Bali dan dimana-mana, aku berkeliling jalan-jalan kemudian ngobrol dengan mereka, merasakan gaya hidupnya dan lain sebagainya, jadi lahirnya dari situ, beat-beat yang ada dari apa yang saya alami sehari-hari dengan teman saya, itu semua tercerminkan disitu. Otomatis beat-beat yang ada di album Reborn kebanyakan diadaptasi dengan keadan yang sekarang ini. Pada akhirnya jika kita mendengarkan Reborn, hampir semua genre rhythm ada disitu, walaupun mungkin untuk jazz yang lebih ke swing itu tidak ada, tapi ada beberapa rhythm yang sifatnya soundnya lebih futuristic, mungkin kalau di Inggris sudah banyak beat-beat seperti dalam lagi Imam & Taqwa dan milestone, itu sudah banyak dibuat kalau saya dengar dari beberapa album yang saya baru dapat

(WJ) : Dan dalam album ini Indra dalam lagu Milestone ingin memperkenalkan tokoh Miles Davis kepada kalangan muda, apakah dengan mengaransir Milestone seperti dalam “Reborn” ini bisa merupakan salah satu cara memperkenalkan (musik – red) tokoh tersebut kepada kalangan muda , karena saya ingat salah satu proyek Bill Laswel kalau nggak salah Phantalassa membawakan lagu-lagu Miles dalam beat-beat baru semacam itu ?

IL : Aku juga merasa begitu, aku pernah jalan-jalan di pondok Indah mall, ada anak muda berambut gondrong dan berdandan ala “alternatif”, kemudian dia mendatangi saya dan ngomong pada saya kalau dia suka sekali dengan Reborn dan Milestone. Aku yang kaget, aku nggak nyangka orang yang bergaya hidup seperti itu bisa menyukai, berarti ada suatu komukasi yang pas untuk mereka disitu, jadi pada akhirnya tidak melihat lagi jenis musiknya tapi bagaimana kita bisa berkomunikasi secara pas.

(WJ): Tampaknya album ini bisa dikatakan sebagai jembatan Indra yang mempunyai basic jazz dengan penikmat musik sekarang, tapi ada nggak keinginan untuk membuat album jazz yang lebih bersifat idealis atau pure jazz ?

IL : Saya sangat ingin banget, tapi di waktu yang bersamaan aku kepingin musik tersebut bukan hanya sekedar egoku pribadi, aku ingin musik itu bisa tetap berkomunikasi dan mempunyai spirit energi yang muda. Jadi itu mungkin hanya masalah waktu, bagaimana aku bisa mendekatkan diri dengan generasi muda untuk bisa memperkenalkan jazz secara luas. Saya barusan dapat album dari seorang pemain trumpet Tim Broeler (?), dia mengemas lagu-lagu adalam albumnya bagus sekali, dia memainkan lagu-lagu standard, pengemasan lagunya mirip seperti Reborn hanya dia banyak lagu swing dan bebopnya tapi dikemas dengan gaya anak muda, aku melihat di Indonesia arah musik jazz akan kesana dimana aksen swing atau aksen bebobnya nggak hilang tapi dikemasnya lebih muda saja.

(WJ) : Yang menarik dari album ini juga banyaknya musisi-musisi muda yang mendukung album ini ?

IL : Aku punya prinsip yang hampir sama dengan Miles Davis, untuk bisa mengembangkan suatu musik dengan energi yang baik adalah dengan menggunakan pemusik-pemusik yang masih mempunyai energi yang tinggi dan itu biasanya adalah para pemain-pemain muda.

(WJ) :Dulu Indra terlibat dengan beberapa grup jazz seperti Java Jazz dan juga yang saya suka adalah PIG, karena pada waktu itu saya merasa belum ada musisi Indonesia yang memainkan musik seperti itu , bagaimana ceritanya ?

IL : Saya dengan Pra (Pra Budi Dharma -red) dan Gilang (Gilang Ramadhan -red) pada waktu itu juga merasa “overwhelmed” dan luar biasa sekali, itu sebenarnya adalah suatu petualangan spritual dalam suatu bentuk musik yang kita rasakan juga, sampai sekarang aku merasa musik PIG suatu bentuk musik yang masih sulit untuk aku lupakan dan untuk tidak aku mainkan lagi. Jadi sama Pra masih sering koresponden untuk bisa membuat PIG yang berikut, tapi kalau untuk Java Jazz sepertinya masih akan memakan waktu lama soalnya Gilang akan menikah dan saya pikir ada waktu untuk Java Jazz tahun ini , tapi sepertinya baru tahun depan.

(WJ) : Ada rencana nggak PIG ini akan disolidkan lagi ?

IL : Ya, album pertama PIG akan dikemas ulang, yang kemudian akan kita coba pasarkan lebih luas, karena pada waktu itu segmented dan untuk kalangan terbatas. Di waktu yang bersamaan akan mengeluarkan album PIG yang berikut.

(WJ) : Album PIG ini sangat menarik sekali, sebenarnya bagaimana sampai bisa ada inspirasi untuk membuat atau menciptakan musik seperti ini ?

IL : Mungkin itu dari persahabatan aku dengan Pra, artinya dia sahabat aku yang mempunyai referensi musik yang lain. Aku kan banyak sekali mendengarkan berbagai macam jenis musik dan Pra lah yang masih bisa berkomunikasi dengan aku kalau bicara masalah Anthony Braxton (saxophonis free jazz -red) dan genre-genre musik free jazz seperti itu. Jadi sebenarnya semenjak aku sama Pra bergabung dalam Krakatau, sehari-harinya kita ngomongin itu, kita mendengarkan Anthony Braxton, Ornette Coleman dan kita bicara masalah pencapaian dalam jenis musik seperti itu, free jazz, avant-garde dan sebagainya.

(WJ) : Kalau nggak lihat sampulnya (PIG), mungkin dikira ada Cecil Taylor main disitu !

IL : Ha,ha.ya itu memang sangat luar biasa sekali, penggarapannya juga luar biasa sekali. Kita set alat dari pagi dan mulai start jam 3 pagi sampai matahari terbit. Pada waktu itu state of mind kita juga consist sekali saya rasa pada waktu bermain.

(WJ) : Dan album ini kontetkstual karena mengangkat tema tentang Lost Forest !

IL : Ya betul, waktu itu membuat konsepnya dengan Pra yang agak lama, mainnya sih nggak lama dalam dua hari rekaman album tersebut sudah selesai, kemudiam kita mixing dan tidak ada dubbing .

(WJ) : Tampaknya jazz baru marak lagi disini, seperti adanya Jakarta Open Jazz 2001, workshop dan pertunjukan, menurut Indra bagaimana ?

IL : Sangat menyenangkan, tahun ini Insya Allah akan berjalan sesuai dengan yang kita harapkan bahkan mungkin lebih. Saya melihat ada tedensi atau kecenderungan anak-anak muda mencari alternatif lain selain musik-musik yang mereka dengar, artinya begini mereka yang berumur 16, 17 dan 18 tahun sudah cukup kenyang dapat suguhan MTV, musik-musik pop, alternatif rock dan lain sebagainya. Padahal anak-anak usia segitu baru gencar-gencarnya mencari jati diri dan musik jazz adalah satu jenis musik yang belum sempat mereka perhatikan sekali, dengan munculnya kegiatan-kegiatan workshop seperti Jakarta Open Jazz, diperkirakan tahun ini akan ada Jak Jazz lagi, kemudian munculnya bakat-bakat muda yang belajar dari luar negeri dan datang kesini, sepertinya waktunya kok pas untuk jazz bangkit di tahun 2001 ini yang kalau aku bilang tahun regenerasi, kita akan lihat bakat-bakat baru bermunculan.

(WJ) : Menurut Indra bagaimana untuk membuat anak-anak muda tertarik belajar jazz, karena sekarang mereka sudah banyak menikmati berbagai jenis musik dan kalau bermainpun bisa langsung meniru, apakah perlu untuk mereka kalau ingin belajar jazz mulai dari dasar dulu ?

L : Justru itu, aku melihat kehadiaran Mbak Deviana (Professor of Music education -red) mempunyai peran di situ, orang seperti Mbak Deviana aku melihatnya sebagai seorang guru dan diwaktu bersamaan dia mempunyai tingkat senioritas yang tinggi dan mempunyai disiplin mengajar yang sangat baik. Kebanyakan guru-guru jazz di Indonesia belajar sendiri dan tidak punya background pendidikan formal sehingga disiplin-disiplinnya suka melenceng, nah orang seperti mbak Deviana ini yang saya usulkan ke anak-anak muda untuk belajar ke dia dulu sebelum ke mana-mana, kebanyakan murid-murid saya juga kalau baru tahap awal aku suruh ikut Mbak Deviana, kecuali mereka sudah mau membicarakan masalah style atau belajar sudah cukup dan ingin belajar style, nah itu aku bisa mengajari mereka.

(WJ) : Di Indonesia sepertinya warna-warna atau genre-genre musik jazz sangat sedikit dan terbatas sekali, tidak seperti misalnya di Eropa dan Amerika, dimana banyak sekali berkembang genre-genre dari musik jazz ini, bagaimana menurut Indra ? I

IL : Wah menurut aku susah juga karena di Indonesia jazz sangat minim sekali , dan tingkat apresiasi masyarakat kita juga cukup jauh dibandingkan masyarakat Eropa, Amerika. Kita bicara global saja, sekolah dasar, sekolah menengah itu kegiatan ekstra kurikuler untuk melihat budaya dan tradisi kita sangat sedikit, sehingga cara mereka berapresiasipun efeknya nggak baik kalau mereka sudah dewasa, aku melihatnya itu sangat berperan. Kebetulan pada waktu aku di Australia, saat setingkat SMP, setiap harinya ada waktu ke sebuah pameran lukisan, memperhatikan lukisannya Picasso, Rembrandt , kemudian menonton opera, menyaksikan pertunjukan musik karya Mozart dan Bach, kemudian kita diberikan tontonan suatu pertunjukan dari para musisi jazz seperti Ornette Coleman dan Anthony Braxton, jadi kita banyak sekali dijejali seni-seni tersebut.

(WJ) : Tampaknya disini gap nya kelihatan sekali, karena kita sepertinya kehilangan sekian tahun perkembangan jazz ?

IL : Ya, itu betul sekali, jadi kita cuma menerima informasi saja tapi kita tidak melalui suatu proses dan aku merasa masih ada untungnya karena kita mempunyai masyarakat yang lebih banyak mencintai musik disbanding beberapa negara lain. Mungkin itu juga dampak dari pembajakan pada tahun 1970-an, dampak positif pembajakan kaset itu membuat orang Indonesia suka musik karena kaset murah dan kita bisa belanja kaset puluhan biji. Kalu sekarang mungkin begini, misalnya aku ke toko CD dan menemukan CD Charlie Parker tapi seharga Rp. 250.000,00 nah anak-anak muda atau SMA pun mikir dong untuk membelinya terus bagaimana untuk mendengarkan kalau mahal seperti itu, sedang kasetnya nggak ada yang mengedarkan. Inilah yang sekarang baru aku coba untuk fight, kalau yang lainnya fight di workshop, seminar dan lain sebagainya dan kebetulan aku dekat dengan industri aku fight disitu untuk menstimulir para distributor untuk memasarkan album-album jazz yang numpuk di perpustakaan mereka tapi nggak diapa-apakan. Saya pernah ke kantornya BMG , Polygram atau Sony Music (di Indonesia -red) kita masuk ke bagian Internasionalnya disitu numpuk album-album jazz yang siap untuk diedarkan tapi tidak diedarkan karena nggak ada yang mengerjakan.

(WJ) : Di Warta Jazz juga kita sering ada kontak dengan musisi maupun label rekaman, sering mereka bilang sudah punya perwakilan atau distributor disini untuk album-album mereka, tapi kenyataannya album mereka sering tidak keluar disini !

IL : Betul, betul sekali itu seperti keluaran Verve, Impulse, kemarin saya pernah ke BMG ada sepuluh album Impulse yang tidak diedarkan, terus saya tanya kenapa ini tidak diedarkan, mereka bilang karena mereka tidak mengerti marketnya. Tapi saya bilang pasti ada pembelinya kalau kita tahu kemana kita mau menjualnya. Kemudian kita terlibat diskusi panjang yang pada akhirnya mereka tertarik untuk mengeluarkan beberapa albumnya John Coltrane. Jadi masalahnya hanya karena mereka tidak tahu marketnya saja dan kembali ke apresiasi tadi itu.

(WJ) : Masih ke industri , sebetulnya bagaimana dengan Swara Boemi ?

IL : Swara Boemi (SB) sebenarnya sebuah wadah. Kita ketemunya SB pada waktu itu tahun 1996 aku merasa pada waktu itu kurang komunikasi antar musisi, kemudian kita mencanangkan suatu kegiatan yang sifatnya insidental yang namanya Musisi (Musyawarah insan musik Indonesia) tujuannya untuk mempertemukan seluruh musik Indonesia dari semua genre untuk silahtulrahmi dan saling mengenal dan mudah-mudahan bisa membuka pintu-pintu baru untuk mengembangkan kreativitas dan ternyata berhasil. Ada beberapa orang-orang yang dulunya nggak pernah kenal sekarang kenal dan akhirnya ternyata mempunyai beberapa kesamaan dan kenapa tidak bermusik bersama-sama. Nah Swara Boemi lahir dari situ dimana untuk pertama kalinya aku bertemu dengan anak-anak Humania dan juga teman-teman lain yang punya obsesi sama untuk mendekatkan musik jazz ke anak muda, SB bagi aku sebenarnya untuk itu yang pertama, kedua adalah untuk meningkatkan kreativitas anak-anak muda mendapatkan kesempatan untuk bisa berkarya.

(WJ) : Apa SB bisa menampung semua macam genre musik ?

IL : Bisa, tentunya aku nggak menutup apa-apa, kemarin pernah ada anak-anak muda yang musiknya tidak ke jazz sama sekali datang ke SB dan bilang ingin bikin musik, saya bilang kenapa tidak , tapi tentunya itu bukan aku yang menangani karena aku memang khusus untuk bagian jazz. Kalau ada beberapa teman yang menganggap SB bisa dijadikan semacam rumah mereka itu tidak ada masalah, karena disitu aku tidak mau ada pretensi, kalau mereka ingin bermusik disitu bukan untuk mencari opportunity yang lain.

(WJ) : Di masyarakat kita ada kecenderungan menganggap jazz itu rumit dan ekslusif, bagaimana menurut Indra ?

IL : Mungkin selama ini pengemasan musik jazz banyak yang membosankan, mereka pakai jas di hotel bintang lima dan mahal. Makanya waktu itu saya sama Mira (Mira lesmana -red) saya bilang ingin memecahkan anggapan ini dan membuat konsep klip Reborn dimana untuk musik ini, mereka yang tua, muda, kaya, miskin bisa enjoy dengan Reborn akhirnya dibikinlah video klip Reborn seperti itu. Dan aku pikir pengemasan jazz yang membosankan sudah tidak bisa lagi, karena anak-anak muda sekarang mempunyai speed daya pikir di jaman teknologi internet seperti sekarang ini.

(WJ) : Mungkin lebih harus terbuka lagi dan musisi-musisi jazz harus lebih terbuka menerima masukan-masukan di era globalisasi ini ?

IL : Ya, salah satu di era globalisasi ini adalah itu, kecepatan berpikir, kecepatan mereka dalam menentukan sikap, kalau dikasih sesuatu yang statis dan membosankan, maaf mungkin mereka pikir sudah bukan tempatnya lagi.

(WJ) : Lalu bagaimana untuk menikmatinya ?

IL : Musik adalah sesuatu yang harus tetap dijadikan sesuatu yang enjoyable artinya kalau kita mendengarkan musik itu kan hidangan rohani, jangan lihat atribut dikanan-kirinya, coba pejamkan mata dan nikmati, kalu nggak suka ya nggak apa-apa kalau suka ya mudah-mudahan bisa menjadi bagian dari hidup mereka.

(WJ) : Jadi kita jangan melihat siap yang main dan latar belakangnya bagaimana, kita dengarkan saja musiknya, saya kira itu yang sangat penting.

IL : Betul.

(WJ) : Apa rencana kedepan setelah Reborn ini ?

IL : Sekarang ini kita sedang giat latihan untuk memperkenalkan album Reborn, bulan Februari ini akan ada launching, kalau kemarin baru press conference, lalu kita akan pentas di beberapa tempat, bulan April Insya allah kita bisa melakukan tour kita bersamaan itu juga akan tampil duet dengan Bubi Chen. Kemudian menyiapkan Trio bersama Mates dan Aksyan yang akan main di JOJ dalam waktu dekat ini

(WJ) : sepertinya duet dengan Bubi chen itu sudah direncanakan lama ya ?

IL : Sudah, rekaman pertama sudah dibuat, waktu itu bulan April tahun lalu, itu kita melakukan pertunjukan di Bandung dan itu sudah direkam, namun materinya masih kurang cukup dan kita ingin buat satu lagi di Gedung Kesenian untuk melengkapi album tersebut.

(WJ) : Ada kabar kemarin pernah main jazz di rumah sakit ?

IL : Ya betul, aku kenal dengan bagian marketing RS Bintaro dan dia pecinta jazz dan kebetulan di RS Bintaro ada kegiatan mengenai musik therapy, dimana orang-orang yang sakit seperti sakit jantung diperdengarkan musik-musik klasik atau soft jazz. Dan pada waktu kita main kemarin pasien-pasien disana itu semua senang karena selama ini rumah sakit kan asosiasinya seram dan waktu dikasih musik jazz bersama Pak Olle, Om Trisno kemarin terasa enak banget suasananya. Dan aku bisa melihat senyum di orang-orang yang sedang pakai infus itu rasanya senang banget.

(WJ) : Baik sekian dulu Indra , terima kasih dan semoga sukses.

IL : Oke, terima kasih kembali

*) Wawancara ini berlangsung pada acara Jazz Time kerjasama Warta Jazz dengan Radio Bikima 99.85 FM Yogyakarta.

Ceto Mundiarso

Pencinta buku yang banyak menelisik filosofi. Pernah menghadiri Konferensi Ekonomi Kreatif di Inggris. Merupakan bagian penting pada riset di WartaJazz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker