News

MUSIK JAZZ BERTEMU KEMBALI DENGAN AKARNYA, AFRIKA

Tanpa ada maksud menjadikan event pertunjukan musik jazz ini ke dalam sebuah pertunjukan yang sangat eksklusif, meskipun kenyataannya hal ini diselenggarakan di sebuah hotel yang mewah di Jakarta, keterbatasan undangan, serta didahului dengan acara “soft dinner” a la Afrika Selatan. Nah.. jazz di Indonesia sendiri sudah menjadi sebuah hal yang eksklusif menjadi lebih eksklusif lagi.

Dalam sekilas percakapan dengan WartaJazz sore harinya sebelum dia tampil, terlihat dia sangat mengeluh mengenai keterbatasan undangan dan latar belakang penontonnya. Dia bercerita pada waktu beberapa hari sebelumnya dia tampil di Kuala Lumpur Malaysia, banyak musisi-musisi muda yang dengan senang hati memperhatikan dengan seksama permainan dia dan banyak diantara mereka yang mengajukan pertanyaan. Walaupun demikian, dia juga surprise ketika WartaJazz menyebutkan bahwa sebenarnya sudah banyak rekan-rekan musisi maupun pecinta musik jazz dengan rela untuk menjadikan dirinya masuk ke dalam “waiting list”. Ada yang terwujud namun yang tidak terwujud keinginan mereka lebih banyak lagi.

Malam kemarin memang menjadi moment yang berarti bagi yang beruntung dapat menyaksikan pertunjukan solo piano musisi jazz terkenal dari Cape Town ini. Inilah harapan yang barangkali dapat ditunggu lagi kedatangannya di Indonesia dan tidak hanya di Jakarta saja, tentunya juga di kota-kota yang lainnya. Dan semoga saja “kesemrawutan” seperti ini tidak terjadi lagi.

Penampilan Abdullah Ibrahim pada malam itu memperlihatkan seorang yang bersahaja sama halnya dengan musik yang dia mainkan. Meskipun justru sering terjadi hal tersebut menandakan sesuatu di balik kebersahajaan itu muncul kesan yang dalam dan penuh makna. 52 tahun karier sebagai musisi profesional barangkali menjadikannya semakin matang dan dapat merefleksikan berbagai pengalamannya ke dalam esensi musik yang dimainkan.

Beberapa komposisi yang dia bawakan 32 tahun yang lalu dalam albumnya African Piano (seperti ‘selby that the eternal spirit is only reality’, ‘the moon’, ‘tintinyana’) ditampilkan kembali kemarin malam. Ada beberapa perbedaan yang bagi penulis barangkali ini dipengaruhi oleh usia Abdullah Ibrahim sendiri yang semakin banyak bilangan umurnya. Masih dalam spirit yang sama, namun dibawakannya dengan lebih dewasa dan lebih mencitrakan dirinya sebagai “orangtua yang bijak”.

Dalam penampilan tunggalnya selama kurang lebih satu setengah jam, dia membawakan puluhan komposisinya sendiri juga beberapa dari Duke Ellington secara berurutan tanpa jeda. Barangkali dia malam itu sedang membangun sebuah catatan sejarahnya selama ini yang dirangkum dalam sebuah medley. Katakanlah memainkan kembali komposisi-komposisi “hit-nya” ke dalam satu rangkaian penampilan tunggalnya. Katakanlah komposisi-komposisi seperti ‘Mindif’, “Ishmael”, “The Wedding”, “The Mountain Of The Night” dan masih banyak lagi.

Dari dulu sampai sekarang, memang dia konsisten dan kuat dalam mengolah wilayah “low register” yang dimainkan tangan kirinya menjadi sebuah karakter yang melekat dari dirinya. Dia mainnya cool (dalam arti salah satu style dan musik jazz dan keren), tidak banyak melakukan akrobat improvisasi namun tetap memberikan warna yang kental pengaruh-pengaruhnya dari corak musik tradisional Afrika, gospel, blues dan swing. Sedangkan tema-tema melodi yang muncul terasa sangat lirikal. Jelas di sini diperlukan sebuah kestabilan emosional darinya serta penjiwaan dan totalitas akan sebuah kesadaran berkesenian.

Sekalipun seperti yang diungkapkan di atas, ada sesuatu yang hilang dari Abdullah Ibrahim malam itu. Yaitu kekurangan intensitas, refleksi spritual dalam komposisi-komposisinya kalau dibandingkan dengan beberapa album dalam komposisi yang sama yang pernah penulis dengarkan. Ambil contoh saja, “Ishmael” yang penulis dengarkan ketika dia tampil di Montreux jazz festival pada tahun 1981. Dalam kesempatan tersebut, komposisi tersebut dibawakan dengan intens sehingga memunculkan suasana yang mencekam dengan apalagi dibantu solo improvisasinya Craig Harris yang bermain trombon dengan kuat dan emosinya tetap terjaga. Barangkali hal ini disebabkan karena Ibrahim hanya mencuplik sedikit-sedikit saja (tema melodi dan corak ritmiknya) dari bagian komposisinya yang terdahulu dan dimainkan secara medley. Karena yang diambilnya puluhan komposisi, sehingga tidak banyak ruang untuk menelusuri bagian-bagian komposisi tersebut dengan detail. Dengan demikian dalam menikmati pertunjukan tersebut terkesan terputus-putus. Atau ini memang pengaruh dari kesemrawutan yang sudah disinggung di atas tadi.

Ceto Mundiarso

Pencinta buku yang banyak menelisik filosofi. Pernah menghadiri Konferensi Ekonomi Kreatif di Inggris. Merupakan bagian penting pada riset di WartaJazz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker