News

SEBUAH WAWANCARA DENGAN DICK DE GRAAF

Setelah cukup sukses Dick De Graaf ‘Soundroot’ Quartet tampil di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM (24/03/02) dan sehari berikutnya ia tampil workshop di Jogja Jazz Club yang bertempat di Gajah Wong Resto, pada hari Selasa kami dari Warta Jazz diberi kesempatan untuk melakukan wawancara dengan mereka. Formasi quartet ini terdiri dari Dick De Graaf (tenor & sopran sax), Norbert Pfammatter (drum), Stephan Kurmann (bass) dan Andrea Pozza (piano). Namun dalam wawancara ini, kami hanya melakukannya dengan Dick, Stephan dan Norbert. Karena suatu hal Andrea tidak dapat ikut serta.

Wawancara ini kami bagi menjadi dua bagian. Berikut wawancara kami pada bagian pertama. Pada bagian kedua akan kami tampilkan minggu depan.

WartaJazz (WJ) : Coba ceritakan mengenai proyek ‘Soundroot’ ini!

Dick De Graaf (DDG): Kelompok ini bermain wilayah jazz akustik. Maksudnya adalah kami menggunakan instrumentasi akustik seperti bass akustik, grand piano, setting drum akustik serta tenor dan sopran saxophone. Kami berusaha untuk mengurangi penggunaan amplifier seminimal mungkin sehingga suara akustik yang muncul lebih memberikan dinamika yang ada dalam kelompok ini. Karena kami bermain musik jazz, maka kami lebih suka beramain dalam format akustik.

Untuk album ‘Soundroot’ sendiri saya buat dua tahun yang lalu pada bulan April. Saya bermain dengan sebuah trio dari New Orleans. Di mana pemain pianonya adalah Peter Martin sedang bermain dengan Joshua Redman sedangkan saya sendiri sedang bermain dengan pemain organ dari Jerman Barbara Dannerlein. Kami bermain pada giliran pertama dan Joshua di waktu selanjutnya. Pada waktu istirahat kami sempat berdiskusi dan let’s do something. Beberapa waktu kemudian, saya mempunyai ide pergi ke New Orleans untuk bermain beberapa komposisi standar yang sudah sering saya mainkan. Bermain beberapa komposisi Wayne Shorter, Stan Getz, Joe Henderson dan Dexter Gordon. Selain itu saya membawakan beberapa komposisi saya sendiri, Sidney Bichet dan beberapa komposisi lainnya yang saya aransir. Kemudian saya katakan ke mereka bahwa inilah sound root saya dalam musik jazz. New Orleans adalah akar dari musik jazz karena di sanalah musik jazz muncul, tempat di mana Louis Armstrong berasal.
Kemudian sebagai lagu penutup dalam album itu adalah ‘Fragile’ karya Sting. Saya menulisnya karena tepat seminggu sebelum saya pergi ke New Orleans, istri saya mengalami kecelakaan lalu lintas. Saya katakan, “Saya tidak jadi pergi”. “Teruskan saja rencanamu itu”, sahut istri saya. Ketika saya pulang dari rumah sakit, di radio mobil saya mendengarkan komposisi ini. Jadi ‘Fragile’ saya persembahkan untuk istri saya. Saya taruh lagu tersebut sebagai lagu terakhir dalam album itu, karena yang saya inginkan adalah hal itu merupakan permulaan akan sesuatu yang baru. Dari sana saya jadikan kelompok ini menjadi Soundroot Quartet. Saya senang bisa memulainya ketika album tersebut habis diputar.

WJ: Bagaimana band ini bisa terwujud?

DDG: Awalnya saya bertemu dengan Stephan (pemain bassnya) ketika dulu kita tampil dalam sebuah orkestra di Eropa dan di kemudian waktu kami lebih sering bertemu di Belanda. Maka tahun lalu kita membentuk kelompok ini. Ketika saya sedang mencari pemain untuk sebuah quartet internasional, Stephan datang dengan membawa ide untuk membawa teman-temannya yang lain (Norbert dan Andrea). Sedangkan saya belum pernah bermain bersama. Namun apa yang terjadi kemudian, ternyata muncul “cinta pada pandangan pertama” kepada para pemain yang dibawa Stephan ketika kita bermain bersama. Jadi seolah-olah kami sudah saling mengenal sejak lama.

WJ: Bagaimana kesan-kesan tampil dengan kelompok ini?

Stephan Kurmann (SK): Apa yang biasa kita lakukan untuk memainkan komposisi-komposisi standar. Semua orang tahu bahwa itu salah satu formula yang banyak dilakukan. Selain itu, kami membawakan karya-karya Dick dan beberapa komposisi pop yang kita aransemen ulang dengan cara yang luar biasa. Tidak banyak kelompok yang melakukannya. Kami sudah terbiasa dengan lagu-lagu Sting, The Beatles, Bee Gees ataupun The Who. Dick begitu mengetahuinya bagaimana memilih komposisi-komposisi yang dapat dimainkan dengan cara kita sendiri. Kami mengaransirnya seperti layaknya format musik jazz. Hal yang penting kita lakukan adalah mengerti lagu tersebut karena kami tidak hanya memainkan melodinya namun kami dapat berimprovisasi. Tidak semua komposisi cocok dengan musik jazz. Jadi inilah program khusus komposisi-komposisi musik pop digabungkan dengan musik jazz yang dibacakan dalam bahasa musik jazz.

WJ: Alasan apa anda memilih komposisi-komposisi tersebut?

DDG: Bentuk-bentuk orisinil musik jazz adalah sebuah respon dan komentar akan jenis musik yang lain. Seperti pada dekade 1930an dan 1940an, para musisi jazz pada waktu itu mengambil komposisi-komposisi dari Broadway maupun Tin Pan Alley untuk dimainkan dan berimprovisasi. Banyak komposisi tersebut yang habis dalam durasi waktu tiga atau empat menit, namun mereka memainkannya secara berulang-ulang sehingga lagu tersebut bisa bertambah lama dan mulai memainkan melodi secara “salah” atas komposisi tersebut. Itulah sebagian dari budaya musik jazz yang masih berlaku sampai sekarang. Karena banyak orang telah memainkan komposisi-komposisi tersebut, kemudian akhirnya sampai seperti sekarang ini yang kita kenal sebagai komposisi standar. Saya sekarang sedang mencari komposisi-komposisi tersebut dengan metode yang sama. Namun dengan komposisi-komposisi pada waktu saya masih muda dan mulai bermain musik. Pada akhir 1960an, dekade 1970an maupun pada awal 1980an banyak tersedia komposisi musik pop. Waktu itulah saya tertarik akan musik tersebut. Jadi pada tahun 1998 saya telah menyelesaikan sebuah album yang berisikan komposisi-komposisi dari Jimmy Hendrick yang berjudul ‘The Burning Of The Midnight Lamp’. Dan ‘Soundroot’ adalah langkah berikutnya, seperti yang dibilang oleh Stephan bahwa kami telah memainkan dan dengan aransemen lain beberapa komposisi dari Bee Gees, Beach Boys, Jimmy Hendrick dan yang lainnya. Kami ingin membuat album dengan komposisi-komposisi mereka secara keseluruhan di bulan Oktober nanti.

WJ: Bagaimana dengan cara pendekatan musikal anda membandingkan antara membawakan komposisi-komposisi standar “lama” dengan yang “baru”?

DDG: Ada perbedaan yang substansial di antaranya. Banyak dari komposisi ini awalnya saya gubah dengan gitar. Seperti ketika tadi malam waktu workshop, ada salah satu pemain saxophone yang datang ke saya mengajukan beberapa komposisi yang ditulisnya sendiri. Dengan segera saya menyarankan dia juga bisa bermain gitar. Karena cara membuat komposisi tersebut ditulis dengan menggunakan gitar. Itulah ciri khusus musik non klasik terhadap struktur harmoni sebuah komposisi. Sekarang ini lebih banyak musik yang ditulis dengan menggunakan gitar. Dalam pendengaran saya, meskipun semua lagu mempunyai struktur harmoni dan akor yang saling mengikuti namun komposisi-komposisi pop mempunyai pendekatan harmoni yang berbeda. Harmoni gitar lebih bersifat kromatis. Tentu saja perbedaan lainnya yang sejauh saya ketahui adalah lirik komposisi tersebut. Ketika saya masih muda, saya bermain dan bernyanyi dengan gitar saya. Lirik-lirik tersebut ada artinya bagi saya. Jika saya mendengarkan lirik sebuah lagu dengan lirik percintaan yang murahan, hal tersebut tidak akan mempengaruhi saya. Saya kira bagi seorang pemain saxophone seperti saya ini dan semua pemain dalam sebuah band ada hal penting untuk diketahui yaitu lirik komposisi yang mereka mainkan. Jadi tidak hanya melodi, akor dan ryhthm saja. Saya lebih suka lirik komposisi pop sekarang ini dari pada lirik yang ada pada komposisi-komposisi standar. Kita hidup di jaman sekarang. Sebuah opera musik rock yang berjudul ‘Tommy’ yang ditulis di tahun 1969 adalah sebuah konsekuensi atau pengaruh pada era-era itu, juga seperti halnya Jimmy Hendrick yang mempunyai karier antara tahun 1967 sampai 1970 ataupun The Beach Boys dalam waktu yang bersamaan. Itu tiga puluh tahun yang lalu.

WJ: Norbert, tadi malam anda bermain dengan energik. Banyak penonton terkesima. Bagaimana resep anda untuk bermain bersama kelompok ini?

Norbert Pfammatter (NP): Sebenarnya tidak berbeda dengan pemain yang lain. Saya kira pendekatan teknis saya adalah sejenis dengan apa yang dilakukan oleh Dick yaitu memberikan ruangan yang lebih besar lagi komposisi-komposisi pop tersebut. Pada dasarnya sebagian besar komposisi pop, khususnya untuk pemain drumnya, ada keterbatasan dalam memainkan beat-nya. Jadi kami harus bisa mengembangkannya dan membuka ruang-ruang baru seperti lazimnya pada komposisi-komposisi jazz. Secara teknis, saya tidak melihat perbedaan dalam gaya permainan saya dalam semua situasi. Termasuk untuk kelompok Soundroot ini.

WJ: Bagaimana dengan anda Stefan?

SK: Kebanyakan musik pop memiliki harmoni yang berbeda. Kami memainkan ‘Eleanor Rigby’ dalam delapan bar. Hal tersebut sudah biasa bagi kami dimana kebanyakan dalam musik jazz dibagi menjadi empat bar, delapan bar atau enambelas bar. Namun ketika kami bermain dalam lima bar itu tidak biasa tetapi tetap menjadi ide menarik. Secara harmoni tentu saja berbeda dibanding musik jazz meskipun dalam lagu tersebut ada kesamaan dengan modal jazz. Jadi bagi kami sudah tidak asing lagi.

WJ: Dick, anda mempunyai beberapa group, dengan septet anda maupun kolaborasi dengan musisi dari Afrika. Apakah anda masih bermain dengan mereka?

DDG: Saya mempunyai tiga proyek yang sampai sekarang masih berlanjut. Pertama, dengan international quartet ini. Selain itu, kelompok septet juga penting bagi saya karena memaksa saya untuk menulis banyak komposisi. Saya berpikir untuk membuat sketsa untuk band tersebut. Quartet internasional ini kami bermain lebih praktis, mudah dan tidak mengaransir sebanyak jika dalam formasi septet. Di lain pihak, dalam formasi septet ada banyak tantangan. Saya harus lebih banyak membuat aransemen, komposisi dan memilih materi mana saja yang cocok untuk kelompok ini. Kelompok septet itu kami bentuk pada tahun 1987, jadi sekarang sudah limabelas tahun di bulan Oktober nanti dan kami akan mempersiapkan program khusus untuk itu.

Proyek dengan musisi Afrika? Ya, rekaman tersebut kami buat pada tahun 1999 di Bamako (Mali -red) dengan judul ‘Djigui’ bersama kelompok ‘les Sofas de Bamako’. Artinya kurang lebih pejuang dari Bamako dan ‘Djigui’ maksudnya adalah harapan. Dalam album tersebut sebenarnya mereka mamainkan corak ritme tradisional namun dimainkan dengan instrumentasi modern, mereka bermain gitar ataupun keyboard. Satu-satunya alat tradisional yang mereka mainkan adalah djembe. Mereka mencoba untuk mencampurkan berbagai ragam musik tradisional di Mali dan bermain ditonton oleh banyak orang sehingga sesuai dengan judulnya ‘Djigui’ berarti semacam harapan masa depan. Juga untuk para musisinya sendiri, yaitu harapan untuk berhubungan dengan masyarakat dunia luar. Pada bulan November lalu kami juga rekaman dengan mereka untuk menggarap album yang berjudul ‘Four Winds’. Kelompok ini tidak hanya terdiri dari orang-orang Bamako saja, ditambah pemain bass dan conga dari New York dan seorang penyanyi dari Norwegia juga ikut bergabung. Dia tidak benar-benar bernyanyi namun lebih banyak berimprovisasi dengan suaranya. Masih ditambah lagi seorang pemain tabla dari India dan seorang pemain steel drum. Jadi kami berasal dari empat penjuru mata angin dan bermain bersama di dalamnya. Harapan saya album ini bisa keluar pada bulan Juni mendatang.

WJ: Kalau boleh tahu, apa alasan anda memainkan komposisi-komposisi Jimmy Hendrick?

DDG: Alasan saya membawakan komposisi-komposisi tersebut, berawal dari ‘Electric Lady Land’-nya Hendrick. Hal tersebut dipilih bukan dari sebuah dokumen sejarah namun lebih pada pilihan pribadi dimana saya sangat menyukainya. Dari Hendricknya sendiri, suaranya, nyanyiannya, struktur harmoninya dan tidak banyak dalam rythmn karena rythmn dan tempo semuanya sama. Jadi saya menyadari untuk pemain drum saya untuk memisahkan dan merubahnya sedikit. Ketika saya remaja, saya sudah terbiasa berusaha untuk memainkan komposisi-komposisi tersebut dengan gitar. Sampai sekarang saya masih dapat melakukannya dan tidak pernah saya lupakan mengenai sound-nya serta keahliannya bermain gitar. Setelah saya mulai beranjak usianya, saya pindah ke arah musik yang lain. Saya selalu membuat sketsa bass line-nya di kepala saya, seperti banyak dilakukan oleh para musisi di generasi saya. Sehingga pada tahun 1997, saya membuat sebuah aransemen untuk septet yang berjudul ‘Voodoo Chile’ yang sangat didukung oleh pemain lain untuk melakukan hal serupa dengan komposisi Hendrick yang lainnya.

Belum ada yang melakukan sebelumnya. Pilihan komposisi-komposisi tersebut sebagian besar dari saya sendiri. Hal tersebut juga saya ceritakan kepada seorang penjual CD di kota saya. Dia mengatakan, “Itu ide bagus, anda harus membuatnya dalam CD”. Karena ketika Hendrick masih hidup, Gil Evans pernah mempunyai ide untuk membuat album dengan menampilkan Jimmy Hendrick dan Miles Davis. Namun kemudian Hendrick meninggal pada tahun 1970. Saya dapat album yang menarik dari Gil Evans keluaran tahun 1974, tentu tanpa Jimmy Hendrick maupun Miles Davis namun dengan banyak soloisnya. Itu jelas bagi saya bahwa semangat lagu tersebut bisa dihadirkan bahkan tanpa kehadiran dan suara Hendrick. Demikian juga saya lakukan dengan interpretasi saya sendiri dengan banyak menggunakan alat elektronik dan harus membuat sesuatu yang lebih. Saya menyuruh Konkie pada steel drum untuk menirukan suara khas gitar Hendrick.

WJ: Siapa musisi yang paling mempengaruhi anda, terutama sebagai pemain tenor saxophone?

DDG: Dalam musik jazz saya masih sangat tertarik dengan Sonny Rollins. Karena dia banyak ide untuk memainkan dan berimprovisasi dalam lagu apapun. Bagi saya, hal tersebut merupakan bagian yang terberat dalam musik jazz. Untuk dapat mendengar suatu komposisi dan bereaksi. Anda harus punya ide dan teknik jika ingin mengembangkan gaya yang menarik. Memang tepat apa yang dilakukan oleh Sonny Rollins maupun Jimmy Hendrick. Selain mereka, inspirasi saya banyak dipengaruhi oleh Paul McCartney, Miles Davis, Chet Baker, Joe Henderson, Dexter Gordon, Stan Getz, Joe Lovano dan tentu saja Wayne Shorter. Saya banyak mempelajari mereka. Pada akhir tahun 1970an, ketika itu Dexter Gordon lebih banyak tinggal di Belanda. Saya pernah ketemu dia beberapa kali. Duduk, melihat penampilannya dan berdiskusi bagaimana membuat sound yang bagus. Dia banyak membantu. Saya juga sangat menyukai musik klasik, Igor Stravinsky misalnya. Diluar itu semua, saya juga menyukai Frank Zappa. Saya tidak hanya mendengarkan musik saja, saya banyak mendengarkan musik yang lain

Tim Pewawancara:
Ajie Wartono/Ceto Mundiarso
.

Ceto Mundiarso

Pencinta buku yang banyak menelisik filosofi. Pernah menghadiri Konferensi Ekonomi Kreatif di Inggris. Merupakan bagian penting pada riset di WartaJazz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker