News

simakDialog: USAHA UNTUK MENYIMAK DIALOG MUSIKAL

Untuk yang kesekian kalinya sebuah kelompok musik jazz Indonesia yang sekarang ini masih bertahan dan mengembangkan karakternya, simakDialog (sD) mengadakan pertunjukannya di Jakarta pada hari Jum’at 25 April 2003 kemarin. Acara ini diselenggarakan di Goethe Institute. Kalau pertunjukan mereka di Gedung Kesenian Jakarta pada bulan Juli tahun lalu formasi sD dibantu oleh Budhy Haryono pada drum (dia juga terlibat dalam album sD yang terakhir “Trance/Mission”) dan Adi Dharmawan dalam beberapa instrumen. Dalam kesempatan penampilan mereka di Goethe Institute kemarin formasinya tinggal terdiri dari Riza Arshad (piano elektrik, keyboard & akordion), Tohpati Ario Hutomo(gitar), Jalu G Pratidina (perkusi) dan Aditya (bass). Ditambah lagi dengan hadirnya penyanyi pop Oppie Andariesta sebagai bintang tamu yang diharapkan dapat dijadikan magnet yang dapat menyedot perhatian penonton. Sekilas formasi ini memberikan ruang kreasi yang lebih bagi Jalu untuk memperkaya nuansa yang ada dalam kelompok yang berdiri sejak 1993 ini terutama dengan permainan kendangnya. Hal ini juga bukan merupakan sebuah kekurangan kelompok ini untuk dapat menampilkan karya-karya mereka dengan baik.

Acara yang mulai pertunjukannya molor hampir satu jam ini langsung digebrak dengan ‘One Has To Be’ dari album “Baur” dengan memperlihatkan kemampuan masing-masing personil dengan singkat dan empatis. Seperti yang diberitakan sebelumnya menurut penuturan Riza bahwa sD kali ini akan memberikan kejutan kepada para penoton paling tidak sedikit direalisasikan. Kalau dibandingkan dengan penampilannya pada tahun lalu di mana mereka tampil lebih menunjukan kekompakan dan harmonisasi secara keseluruhan namun dalam kesempatan kali ini lebih menonjolkan kekuatan dan kemampuan berimprovisasi setiap personilnya. Hanya saja Aditya kurang berani untuk unjuk gigi lebih menonjol lagi.

Bintang panggung pada malam itu adalah Riza sendiri dan Tohpati. Dalam beberapa komposisi seperti ‘Throwing Words’ yang mainkan dengan tempo yang lebih cepat namun akurasi nada yang mereka tekankan tetap stabil. Riza atau yang sering dipanggil dengan nama Ija ini lebih banyak berada di depan keyboard piano listrik legendaris Fender Rhodes sehingga efek suaranya memunculkan suasana gabungan antara gaya musik jazz fusion di tahun 1970an dengan sebuah konsep bentuk musik jazz yang lebih maju lagi era sekarang ini. Selain itu, menurut pengakuan Ija sendiri bahwa tidak secara kebetulan dia cukup mahir dalam bermain akordeon. Ada alasan estetis tersendiri ketika dia memilih sebuah komposisi yang lebih cocok untuk bermain akordeon. Terbukti dalam ‘Tak Dinyana/Nanana/Sidewalk Stories’ dia mengiringi tanpa merasa canggung. Atau dalam kesempatan yang lain, Ija terlibat dalam proyeknya Indra Lesmana ‘Reborn’ di mana dia berada di situ sebagai pemain akordeon.

‘This Spirit’ tampil dengan cantik yang bernuansa band-band di downtown New York. Kesan ini muncul barangkali berkat sayatan gitar Tohpati yang kadang-kadang tampil dengan garang, distorsif, dissonan ataupun lembut dan melodius. Dan yang lebih penting lagi, terutama setelah penggarapan “Trance/Mission”, dia berupaya dengan sekuat tenaga untuk mencari karakter permainan gitar secara individual. “Sindrom pat methenians” sudah tidak sekuat dulu lagi. Karena dia juga merupakan salah satu motor dari sD, maka apa yang dikreasinya juga akan berpengaruh terhadap komposisi secara keseluruhan.

Penampilan Oppie tidak banyak membantu dalam membawa keutuhan nuansa yang sedang dibangun, yang kadang-kadang masih terasa kikuk ketika berdampingan dengan sD meskipun hal ini dilakukannya bukan untuk yang pertama kalinya. Jalu D. Pratidina pun dalam bermain kendang Sunda maupun berbagai macam perkusi dapat menjadikan ornamentasi tersendiri yang unik sehingga dapat menghasilkan paduan etnis dan modern seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa kelompok musik jazz di Indonesia yang lain juga. Apalagi dia memang salah satu pemegang kendali ritme pengganti drum.

Ada sedikit perkembangan lagi kalau kita ikuti sD ini yaitu penggunaan efek eletronisnya yang dapat berpengaruh terhadap komposisi secara keseluruhan. Apakah ini ide dari Ija atau Tohpati atau siapa lagi tidaklah begitu penting. Namun konsep ini memang lebih transparan dan terasa dalam album sD yang terakhir daripada dalam konser mereka. Seandainya saja mereka di atas panggung bisa menampilkan ‘Unfaded Hopes’, ‘All In A Day’ ataupun ‘Baur’ barangkali akan semakin menarik. Mengingat eksplorasi mereka dengan menggunakan prepared piano ataupun yang konon di kalangan jazz avantgardis sekarang ini sedang ngetrend yaitu musik elektroakustik. Kiranya juga hal ini bagi sD bukan merupakan tujuan akhirnya, namun lebih bisa dikatakan sebagai salah satu alat mereka dalam berpetualangan dan mengeksplorasi bentuk ataupun karakter kuat yang muncul dalam diri mereka.

Memang setelah menonton pertunjukan sD, masih terngiang dengan apa yang mereka mainkan tadi. Hal ini paling tidak membawa imajinasi para penonton untuk diajak masuk ke kerajaan bunyi yang luas itu. Sejauh ini usaha mereka memang layak mendapat acungan jempol. Sampai lupa yang baru saja ditonton ini adalah sebuah kelompok jazz yang masih relatif baru dari Indonesia sendiri.

Ceto Mundiarso

Pencinta buku yang banyak menelisik filosofi. Pernah menghadiri Konferensi Ekonomi Kreatif di Inggris. Merupakan bagian penting pada riset di WartaJazz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker