TRILOGI KOMPOSISI BUDJANA MENGHIASI KONSER MUSIK BARU 2004
Dewa Budjana menampilkan tiga komposisinya sebagai penutup rangkaian konser Musik Baru 2004, minggu malam lalu (25/1) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Tampilnya Budjana yang didaulat sebagai komponis tuan rumah ditemani oleh Bintang Indriarto (Bass), Jalu Pratidina (Perkusi) dan Bang Saat (Suling, Voice). Yang menarik, tiga komposisi yang dipilih dari tiap albumnya itu dikemas sedemikian rupa menjadi satu cerita tentang kehidupan manusia.
***
Konser Musik Baru 2004 merupakan rangkaian acara yang diprakarsai oleh Komite Musik dewan Kesenian Jakarta sebagai pemanasan penyelenggaraan Festival Musik Baru Jakarta (FMBJ). Rangkaian konser kali ini bertemakan 5 Cara 5 Suara, dimana tampil karya dari lima komponis beserta komunitasnya plus seorang komponis tuan rumah. Dari paparan komponis-komponis itu diharapkan kegairahan musik baru (di Taman Ismail Marzuki) dapat bertambah.
Musik baru sendiri sejatinya adalah penamaan baru dari musik kontemporer. Menurut Embie C.Noer, musik baru adalah musik yang secara estetika mencari, mempersoalkan dan atau mengolah eksistensi musikal dari konsep sampai perwujudannya, tanpa harus berorientasi pada industri dan tidak berpretensi sekadar hiburan yang arah dan keberadaannya terus menerus sangat ditentukan oleh budaya industri tadi. Konsep musik seperti itu lah yang rasanya telah direspon oleh Dewa Budjana untuk album-album solonya, Sejak album Nusa Damai (1997), Gitarku (2000), sampai Samsara (2003) dapat disimak bahwa masing-masing album memiliki warna, ciri, dan eksplorasi yang unik.
Kreasi bereksplorasi merupakan hal yang ditampilkan oleh Budjana dan rekan-rekannya malam itu. Budjana tidak sekadar menampilkan repertoar seperti apa yang sudah ada di albumnya. Ia memilih lagu dan memodifikasi menjadi sebuah rangkaian cerita, bak sebuah trilogi. Benang merahnya adalah hal apa yang dialami dalam kehidupan manusia: individu, toleransi, dan realitas.
Lonely adalah komposisi pembuka yang dimainkan untuk mewakili sifat individualistis manusia. Lagu yang diangkat dari album terakhir Budjana ini diaransemen ulang dengan melepaskan tiap personil melakukan improvisasi pada masing-masing alatnya. Lagu ini dimulai lambat laun dengan masuknya permainan solo gitar Budjana dari tengah keheningan dan asap dupa. Bang Saat dan Jalu kemudian merespon gitaran Budjana. Bintang hanya sesekali memetik bassnya yang masih Ia letakkan di lantai. Bass tidak dipetik, tapi hanya disentuh sehingga suaranya masih sejalan dengan suasana hening yang dibangun. Baru pada pertengahan lagu setiap personel melakukan aksi individuanya dengan Saat mendapat porsi terbesar ketika melakukan medley tetiupan di akhir lagu.
Kemudian Januari, yang di album pertama Budjana berjudul 9 Januari, dipilih menjadi lagu kedua. Komposisi yang disebut Budjana telah solid ini ditampilkan untuk memahami makna toleransi. Makni ini diwakili oleh permainan Budjana, Bintang, Jalu dan Saat menahan ego masing-masing dan saling bercerita dengan instrumen mereka. Lepas dari konser malam itu, Januari juga pernah menjadi wadah lima gitaris bermain bersama. Budjana, Tohpati, Oele Patiselano, Jopie Item, dan Donny Suhendra bertoleransi saling mengisi petikan gitar untuk lagu ini di album Samsara.
Selain mendefinisikan makna toleransi dari sisi bermusik, komposisi berjudul Januari juga mencakup hubungan toleransi antara musisi dengan penontonnya. Budjana berharap setiap komposisi yang dimainkannya tidak hanya untuk kepuasan pribadi atau mereka yang bermain di atas panggung saja. Tapi, penonton dapat menikmati dan ikut terlibat bersama, sehingga kesan “kering” atau kalau tidak hanyalah sesuatu yang “liar tak terpahami” dapat dihindari.
Sebagai penutup, Budjana mengetengahkan lagu Dedariku yang diangkat dari album keduanya. Lewat lagu itu ia ingin mengatakan, baginya musik yang Ia tawarkan adalah musik yang simpel saja. Simpel dalam arti esensial. Bukan simpel dalam arti simplifikasi, yang dalam realitas sekarang justru menyebabkan stagnasi lalu berlanjut pada dekadensi. Dedariku sendiri kembali memperlihatkan kesolidan formasi musisi pendukung Budjana malam itu. Pada pertengahan lagu, Bintang kembali mendapat bagian untuk melakukan aksi solo, dengan ditingkahi oleh irama perkusi Jalu dan sesekali diselingi oleh voice Bang Saat. Budjana menjaga pakem improvisasi mereka melalui isian gitar dan program musik dasar yang telah disiapkan sebelumnya.
Kekompakan mereka mendapat applaus penonton di akhir lagu dan teriakan permintaan tambahan lagu yang sayangnya tidak dipenuhi. Rasanya tidak salah ditampilkannya sosok Dewa Budjana sebagai upaya untuk memberikan angin dan ruang segar dalam kegiatan musik jenis kontemporer ini. Sampai jumpa di festival musik baru mendatang.