DARI PERTUNJUKAN LOVERS & LIARS: EKSPLORASI BIG BAND YANG BERHASIL MEMBERI NUANSA DAN MEMPERKAYA CERITA
Pentas seni memang membutuhkan kreativitas inovasi yang tinggi. Hal ini yang ditunjukan oleh Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI Dance Company) dalam pagelaran musikal-kabaret bertajuk Lovers and Liars, 27-28 Februari yang lalu di Balai Sarbini – Plaza Semanggi Jakarta. Program musikal pertama yang EKI gelar dalam rangka program 7 tahun Art for The People ini merupakan perpaduan kreasi seni tari dan drama yang dibalut oleh pertunjukan musik live dari sebuah bid band bernama Hypersax & Co.
Hasilnya menjadi menarik. Seni drama diwakili oleh akting para aktor/aktris serta alur cerita yang cerdas dan berlapis-lapis. Tema sentralnya tentang pergulatan kisah cinta kaum urban masa kini yang berbaur dengan intrik, krisis kepercayaan, bahkan perhitungan untung rugi akibat ketidakpahaman logika laki-laki terhadap jalan pikiran dan emosi perempuan. Dipilihnya dunia perdalangan sebagai latar belakang tokoh sentral memicu pada paduan unsur tradisi dan kontemporer. Inovasi melihat perwayangan dari sisi berbeda dapat ditemui dalam pertunjukan ini lewak aksi dalang mbeling Sujiwo Tejo beserta nayaga-nayaganya: Nanang Hape, Kiki Dunung dan perkusionist Jalu Pratidina (ketiganya baru-baru ini berkolaborasi dengan musisi jazz Luluk Purwanto & The Heldingen Trio dalam tur 15 kota). Tontonan Lovers & Liars menjadi lengkap dengan dipresentasikannya hasil kereografi tari garapan penari-penari EKI Dance Company. Suguhan tari yang dimainkan sedikitnya oleh 16 penari itu berhasil membangun suasana di setiap bagian alur cerita tokoh-tokohnya. Terakhir, sebagai pertunjukan musical-cabaret tentu tidaklah kengkap tanpa adanya seni musik. Porsi inilah yang digarap Oni Krisnerwinto bersama big band-nya. Ia mengaransir ulang dan khusus mencipta beberapa lagu untuk membalut detil bebunyian dan nuansa pertunjukan serta memperkaya cerita secara keseluruhan.
Di kali ketiga Oni ikut menangani pertunjukan panggung musikal EKI, kembali ia mengikutsertakan Hypersax – kelompok quintet saxophone yang dipimpinnya. Gabungan peniup saxophone ini beranggota Eugene, Septa, Dony, Dodo dan Oni sendiri.
Oni menilai masing-masing pertunjukan EKI memiliki beda stress dan keunikan tersendiri. Faktor stress mereka temui dari waktu proses pengerjaan pertunjukan kali ini yang sangat singkat dan persiapannya dilakukan sendiri-sendiri secara serentak. Musik di-compose berbarengan waktunya dengan dirancangnya kereografi tarian dan latihan-latihan aktor/aktris yang bakal menyanyikan komposisi-komposisi itu. Hasil penggabungan bagian-bagian itu menjadi keunikan tersendiri ketika ketiganya disatukan. Banyak terjadi penyesuaian dari aransemen musik awal mereka buat. Yang menarik, penyesuaian itu dilakukan spontan merespon apa yang dibuat oleh bagian lain.
Keunikan lainnya adalah penggabungan seksi saxophone dengan band sebagi rhythm section. Format ini tidak dilakukan pada pertunjukan EKI sebelumnya (China Moon) dimana Hypersax tampil lebih mengutamakan harmonisasi dan improvisasi dari tiupan saxophone daiantara mereka saja. Maka di Lovers & Liars nama grup Hypersax digenapkan menjadi Hypersax & Co. Grup band yang diajak menjadi “Co” terdiri dari Irfan Chasmala dan Glen Dauna (keduanya memainkan keyboards), Finggo (gitar sekaligus bernyanyi pada satu lagu), Yusuf Simorangkir (bass), Gerry Herb (drum), dan Susanto “Sonyol” Hadi (perkusi). Mereka semua adalah musisi profesional siap pakai yang kerap mendukung pertunjukan sejenis. Oni juga melibatkan beberapa vokalis latar, a.l Joel Achmad yang pada pertunjukan lovers & liars memperagakan kebolehannya meniru gaya bicara si raja dangdut.
Dari sisi bermusik, pertunjukan Lovers & Liars dibuka dengan lantunan vokal Finggo menyanyikan lagu cover dari Michael Buble. Aroma swing dari lagu berjudul Fever itu menjadi pembuka yang manis karena terlihat hampir semua penonton kenal dengan lagu dari penyanyi orbitan David Foster ini.
Ramuan yang sama juga dapat Anda dengar pad lagu kedua. Oni mengaransir ulang lagu penyanyi remaja Britney Spears; I’m a Slave for You untuk dilantunkan oleh Sita RSD. Lagu itu digunakan sebagai latar tarian panas Rachel Maryam, pemeran salah satu sinden dalang Sujiwo Tejo.
I hate You dan Love & Friendship, dua komposisi karya Oni berturut-turut kemudian dimainkan. Bertha yang berperan sebagai istri dalang menunjukkan kepiawaian olah vokalnya di lagu I hate You, meski ia tidak berimprovisasi jazz. Sedangkan Oni mengisi vokal pada lagu kedua. Di lagu itu arasansemen musik memberikan kesempatan pada bass elektrik dan saxophone Eugene melakukan atraksi solo.
Tiga lagu yang pernah dibawakan oleh Nina Simone digunakan juga pada malam pegelaran itu; Ne Me Quitte Pas dicover oleh Sita, End of The Line oleh guru para penyanyi Indonesia, Bertha dan yang menarik, penampilan Anton Jamaican Café ketika melantunkan Images. Anton menyebutkan bahwa saat menyanyikan lagu itu, ia berusaha untuk lebih menggunakan perasaannya daripada logika. Sebuah pernyataan yang sesuai dengan tema pertunjukan.
Lagu berikutnya adalah komposisi-komposisi karangan Oni yang diberi lirik oleh Rusdi Rukmawata, sutradara pertunjukan Lovers & Liars. Lagu yang sangat pop berjudul Man in My Dream dibawakan dengan vokal pas-pasan oleh Cornelia Agatha. Lalu Baruna, ex-vokalis grup rock El Pamas dan Legend Bee meneriakkan lagu beraroma soul ala James Brown berjudul Come on Girl. Baruna juga diberi kesempatan ber-mellow ria dalam How Can You dimana ia berduet manis dengan alunan trumpet Eric Awuy.
Oni juga mengaransemen ulang beberapa lagu dan memberikan nafas baru pada komposisi-komposisi itu. Sebut saja, The Hot Honey Rag yang digunakan untuk mengiringi kereografi tari patah-patah penari EKI. Lalu lagu berjudul Bess – You is My Woman Now, dimana Eric Awuy menjadi solis dengan trumpetnya serta pada lagu penutup pertunjukan; Amore (Seco) yang diangkat dari album gitaris latin Santana – Shaman, dikeroyok oleh Bertha, Cornelia Agatha, Rachel Mayam, dan Sita.
Hypersax & Co tidak luput dari kejailan dalang Sujiwo Tejo. Tiap musisi diperkenalkan secara unik oleh Tejo, karena dilakukan sebagai sisipan di tengah pertunjukan ketka ia mendalang tanpa memutus ceritanya. Mereka juga diminta berimprovisasi memainkan lagu Bengawan Solo yang tidak disiapkan sebelumnya. Tejo menitipkan pesan lewat lakonnya, dimana setiap jenis musik (dan kesenian lainnya) – baik itu tradisonal maupun kontemporer mempunyai pattern sendiri-sendiri yang jika dipadukan dalam ramuan yang proposional dan saling mendukung akan menjadi sebuah pertunjukan yang utuh. Namun sayang, dalam tampilan Hypersax kali ini belum ada usaha mengawinkan permainan musik mereka dengan tetabuhan para nayaga. Keduanya masih berjalan sendiri-sendiri tanpa bersinggungan. Coba kita tunggu kraesi inovasi mereka di pertujukan musikal berikutnya