DARI PAGELARAN PASARJAZZ SERI KEDUA: PARADE CORAK WARNA DAN UNJUK KETERAMPILAN ENAM KELOMPOK MUSISI JAZZ IBUKOTA
PasarJazz seri kedua kembali menuai sukses. Pagelaran yang diselenggarakan Jumat (16/4) lalu di Gedung Kesenian Jakarta ini menyuguhkan enam kelompok musisi dengan berbagai corak warna jazz dan tingkat keterampilan. Deretan musisi muda tampil menggebu menunjukkan kreatifitas mereka bermain jazz. Beberapa musisi senior bermain idealis bak lepas dari ikatan bermusik sehari-hari yang tersita pada wilayah mainstream. Penonton yang hadir bertepuk ramai memberi applaus dan pulang tersenyum puas setelah mengapresiasi rangkaian pertunjukkan tadi. Interaksi itu membuktikan dua hal. Pertama, acara yang merupakan sinergi antara Gedung Kesenian Jakarta, musikus Riza Arshad (simakDialog/Reborn – selaku produser acara) dan para musisi pendukung itu berhasil mengangkat dan menambah gairah pertunjukan jazz – diantara acara yang sudah ada – di Jakarta. Hal kedua adalah PasarJazz berpotensi menjadi wadah rutin untuk memperkenalkan dan memberi kesempatan pada – meminjam istilah yang dilontarkan Riza – para musisi profesional pemula, yang sudah layak didengar dan ditonton, mengasah kemampuan mereka tampil dihadapan publik.
***
Imbroglio menjadi pembuka acara. Kelompok yang terdiri dari siswa-siswa LPM Farabi; Sri Hanuraga pada piano, Indrawan Tanjaya (bass akustik dan bass elektrik), Robert Mulyarahardja (gitar), dan Bani (drum) ini terbentuk setahun lalu dengan dengan format trio, lalu berkembang menjadi kuartet. Mereka tercatat pernah menjadi juara pertama Jazz Goes To Campus ke-26 Desember 2003, membuka konser Krakatau, berpartisipasi di Konser Dialog Jazz – TIM, Concert Practice – Indra Lesmana lalu tampil di acara jazz yang diselenggarakan oleh Zoom, Sunday Jazz. Pada pentas PasarJazz kali ini format Imbroglio menjadi kuintet, dengan penambahan Jimmy pada saxophone. Mereka membawakan dua standarts; Blue Rondo Ala Turk dari Dave Brubeck dan Scrapple from Apple Charlie Parker serta sebuah komposisi yang lebih modern dan bernuansa latin. Permainan pianis muda yang juga belajar dari Indra Lesmana kerap mengundang tepuk perhatian penonton. Sayang mereka belum menampilkan karya sendiri di konser kali ini.
Penampil kedua adalah kelompok senior yang terdiri dari para session player dan beberapa pengajar lembaga pendidikan musik. Elanda Yunita, pianis yang kerap dipanggil Nita, mengajak Donny Suhendra (gitar elektrik), Indro Hardjodikoro (bass elektrik) dan Rayendra (drums) membagi pengalaman-pengalaman dari pergaulan mereka bermusik kepada penonton PasarJazz. Idealisme mereka terlihat ketika membawakan Georgia on My Mind dan Caravan – satu lagu karya Juan Tizol yang dipopulerkan Duke Ellington – dengan corak blues kontemporer. Nita sumbang suara di lagu itu dan sekaligus menjadi satu-satunya penampil PasarJazz yang bernyanyi. Nita & Friends menutup suguhan mereka dengan lagu berjudul Kano, satu karya Donny Suhendra dari album Di Sini Ada Kehidupan.
Sebelum jeda istirahat, satu kelompok muda asal Bandung tampil menyuguhkan beberapa karya orisinil mereka. ARAB Jazz Band, nama band itu, merupakan output dari komunitas kecil di studio ARU Jalan Riau, Bandung. Mereka berkumpul dan menyatukan visi yang menghapus batas-batas genre. Hasil diskusi-diskusi dan jam session yang mereka lakukan itu untuk pertama kali dipertontonkan pada publik Ibukota di acara ini. ARAB, yang merupakan inisial dari tiap personelnya; Ali Akbar – pianis yang juga bermain untuk The Groove dan grup session Sixth Elemen, Rudy Zulkarnaen (upright acoustic bass), Arifandi (drums) dan Boyke (sopran & alto saxophone) menampilkan dua karya orisinil mereka. Sacred Soul karya Ali mengalun manis bercerita tentang kebahagiaan masa kanak-kanak. Lalu ada lagu berjudul Pikzny yang ditulis Rudy terinspirasi seorang temannya. Boyke pada lagu kedua ini memamerkan kebolehannya memainkan flute. Untuk menggenapi tampilan mereka, ARAB membuka presentasinya dengan satu lagu standar karya Victor Young, Stella By Starlight. Patut dicatat dari penampilan ARAB adalah kekompakan seksi rhythm yang dibangun oleh dua bersaudara Rudy dan Ary ARU, serta Ali yang berhasil menunjukkan kemampuannya bermain piano jazz lebih lepas dibanding saat ia bermain untuk band pop-nya.
Alvin Lubis memulai pertunjukan setelah rehat. Kelompok yang dipimpin Alvin merupakan versi combo dari Los Morenitos, satu band 13 orang personel yang kerap main reguler di café-café seputar Jakarta. Khusus untuk PasarJazz, Los Morenitos dipersempit menjadi tujuh orang, dengan mengikutkan seorang additional guitarist. Personel combo tersebut adalah: Alvin pada piano, Cyril (synth), Andre (additional pada gitar elektrik), Toto (gitar akustik), Arief (bass elektrik), Helmi (perkusi) dan Aryo (drums). Alvin yang juga seorang pengajar di IMI bersama kelompoknya ini mengajak penonton bergoyang – minimal menggerakkan kaki – mengikuti irama jazz cuba (Cuban jazz) yang dipadu dengan kesegaran rasa salsa dan cha-cha. Hentakan rhythm yang mengalir dari duet permainan unik drummer dan bassisst, mengiringi melody lagu-lagu standar: Solo Musica yang diaransemen bercorak salsa, Tenor Mudness (cha-cha), Mock The Knife – nya Kurt Weill (salsa) dan ditutup dengan karya Herbie Hancock Cantaloup Island. Tampilan yang benar-benar segar dan sepertinya akan lebih memuas dahaga jika Alvin mengikutsertakan brass section grupnya.
Kelompok musisi yang tampil di urutan kelima adalah grup muda Tomorrow People Ensemble. Kelompok yang mengaku terpengaruh grup-grup jazz generasi terkini, seperti Medeski Martin & Wood, terdiri dari siswa-siswa Institut Music Daya, yaitu: Nikita Dompas (gitar), Azfansadra Karim (synth, piano, Rhodes – baru akan memulai kelasnya di Daya), Indra Perkasa (bass akustik) dan Zulhamsyah (drums). Mereka total membawakan karya sendiri, sebut saja: Ecletic yang ditulis Nikita dengan menampilkan solo drum sebagai pembuka lagu, lalu diikuti permainan solo gitar dalam durasi yang cukup panjang dengan tempo naik turun. Format aransemen yang sama juga mereka tampilkan dengan piano sebagai instrumen utama pada lagu yang dicipta Adra: Can’t Go Away Back Home. Lalu ada lagu yang berjudul The Great Nick, satu karya Indra yang dipersembahkan kepada Nick Mamahit, pianis legendaris yang meninggal dunia awal bulan Maret yang lalu. Solo piano di lagu itu sekilas mengingatkatkan pada kebiasaan Nick Mamahit mengadopsi musik tradisional Indonesia dalam gaya bermain pianonya. Adra memainkannya dengan tempo lambat dengan di back-up oleh sayatan kontra bass Indra – sehingga kesan sendu di lagu itu berhasil memainkan emosi penonton. Mungkin jika di akhir acara diadakan pooling, The Great Nick akan menjadi pilihan favorit penonton.
Penampil terakhir adalah Indro Hardjodikoro Band. Selain Indro pada bass elektrik, kelompok session ini terdiri dari Rayendra (drummer laris di malam itu), Donny (tenor saxophone) dan Riza Arshad (synth). Bagi Indro dan Riza, pentas PasarJazz kali ini bak reunian setelah hampir empat tahun tidak bermain bersama di atas satu paggung. Seperti kita tahu, di waktu lalu, keduanya lama tergabung dalam grup simakDialog dan sempat merilis dua album bersama. Namun sayang, rencana membawakan dua lagu dibatasi oleh waktu yang berjalan cepat mendekati tengah malam. Indro dkk hanya sempat menampilkan satu lagu berjudul Diundang. Permainan bass Indro di lagu ini lebih lepas dibanding saat pertama naik panggung bersama grupnya Nita. Bermacam teknik membetot bass ia tampilkan dan duetnya dengan Rayendra menghasilkan applaus penonton yang sudah berkurang jumlahnya. Atraksi cantik permainan drummer muda lulusan Berkley ini juga yang menutup pentas Indro dengan bandnya itu dan langsung mengantarkan acara ke sesi jam session.
Satu persatu musisi pendukung acara bergantian naik ke atas pentas pamer kebolehan nge-jam memainkan lagu dasar Billie’s Bounce. Lagu karya Charlie Parker itu sekaligus menjadi lagu penutup parade enam kelompok musisi jazz Ibukota di PasaJazz kali ini. Kesinambungan sangat diharapkan dari acara apresiatif seperti ini. Sampai jumpa di pagelaran seri berikutnya.