NewsOpini JazzRadio / Podcast

CNJ99.9 FM: Tragedi Radio yang Tak Pernah Mati

oleh Benny Sofwan
Mantan General Manager CNJ 99,9 FM

“Wah, such a big lost!!”

Itu komentar nyelekit yang datang pasca menyebarnya kabar tentang bubarnya CNJ 99,9 FM. Tentu, ada ratusan respon lain yang merepresentasikan betapa pecinta CNJ se-Jabodetabek merasa kehilangan sesuatu yang ‘sempurna’: tayangan musik jazz dan klasik, non-stop 24 jam, tanpa iklan, nyaris tanpa penyiar!

Kini, saya sungguh-sungguh bisa merasakan kesedihan yang sama saat warga Jakarta kehilangan Radio Klasik sekitar satu dasawarsa silam. Tapi, paling tidak, bubarnya Radio Klasik hanya diikuti perasaan pilu hati. Beda dengan CNJ yang tidak hanya menyisakan sedih di hati, tapi juga—terus terang—sakit hati.

Wajar, kalau sangat banyak kalangan yang tidak percaya bahwa CNJ harus (bisa?) mati. Namun, bagi saya, ada sejumlah kekeliruan mendasar di balik anggapan semacam itu. Pertama, sesuatu baru bisa dikatakan “mati” kalau dia pernah “hidup”. Persoalannya, sebagai orang yang sudah kadung menjadikan radio sebagai nafas dan pancaindera saya, saya tidak berpikiran CNJ pernah benar-benar lahir. Memang, beberapa tahun silam, ada peluncuran radio ini di salah satu lokasi strategis di Jakarta. Tapi, waktu yang bercerita: sekarang saya mantap mengatakan bahwa hari peluncuran itu justru merupakan momen penanda surutnya jam pasir bernama CNJ yang tinggal menunggu waktu.

Tidak etis untuk cerita terbuka tentang apa yang terjadi di seputar waktu ‘kelahiran’ CNJ. Tapi siapapun pasti punya harapan saat menghadiri peluncuran sebuah radio siaran dengan format dan skala acara serta pilihan waktu seperti itu. Dan, mereka pasti terperanjat, disusul tak percaya, saat hadir di acara itu.

Kedua, ini lebih kompleks. Pilihan genre musik yang ‘berat’ sudah jelas menyasar kelompok pendengar A plus dengan apa yang disebut “ High end “. Bukan sesuatu yang aneh, karena serangkaian nama yang digembar-gemborkan sebagai pilar-pilar utama CNJ memang berasal dari kaum berada. Ada duit, ada mimpi, tapi—sorry to say—terlalu papa dalam urusan komitmen untuk berbisnis siaran dengan seprofesional-profesionalnya.

Yang terjadi dalam tragedi CNJ adalah mirip dengan hikayat kata “jazz” itu sendiri. Kata ini dimunculkan pertama kali oleh pemain baseball Portland Beavers, Ben Henderson, hampir seratus tahun silam. Seorang pemukul bola (pitcher) yang hebat akan berusaha melempar bola yang jazz. Tapi dari sisi penangkap bola (catcher), seperti kata Henderson, “Jazz ball .. wobbles and you simply can’t do anything with it.”

Begitu pula CNJ. Saat gagasan untuk merebut pangsa Radio Klasik mengemuka, dan setelah sekian nama tenar terkumpul sebagai pendukung CNJ, terbit imajinasi ambisius betapa gelombang radio ini nantinya seolah akan men-jam sinyal radio-radio lain.

Saya sepakat, musik adalah ‘sebatas’ persoalan cita rasa. Namun ketika musik ingin dikemas sebagai barang dagangan, dia menjadi ihwal bisnis. Pada titik ini, idealisme ber-jazz perlu diharmoniskan dengan fatsoen dan logika bisnis.

Dari perspektif penonton, pitcher dan catcher memang berseberangan. Kendati begitu, untuk memastikan agar penonton terpesona, pitcher dan catcher justru diharapkan dapat ber-‘interaksi’ menghasilkan pukulan maut yang disusul oleh tangkapan jitu. Begitu pula seharusnya yang dilakukan oleh CNJ jika memang serius ingin membisniskan musik jazz dan klasik.

Namun apa daya, realita CNJ adalah seperti kata Henderson tadi, jazz ball terlalu liar dan tidak ada yang bisa diikhtiarkan untuk mengatasinya. Itu terjadi karena pitcher pada dasarnya memang tidak ambil pusing pada sorak-sorai gembira penonton. Pitcher seolah hanya ingin meninggalkan lapangan dengan catcher yang tergeletak luka parah, titik. Celakanya, saya bersama tujuh orang staf yang beroperasi hari demi hari di studio CNJ adalah para catchers itu!

Dalam situasi yang dipenuhi kontras antara citra dan realita, apa yang paling susah untuk dilakukan? Mempertahankan kepercayaan diri, adalah jawabannya. Hebatnya, walau dibelit problem berlarut-larut, kedelapan ponggawa CNJ tadi masih sanggup mempertahankan keyakinan bahwa penyakit kronis CNJ ini adalah lika-liku bisnis yang ‘biasa’. Putar otak, cari akal, peras batin, pendengar berhasil ‘dikelabui’. Seakan tidak ada yang berubah pada CNJ. CNJ masih tetap bereputasi kelas tinggi: flamboyan bahkan borjuis di udara, dan tangguh perkasa di darat.

Tidak diketahui sedikit pun oleh khalayak umum bahwa ketujuh orang awak CNJ sudah mengalami penundaan pembayaran gaji berbulan-bulan. Bahkan, yang paling memalukan bagi para pelaku bisnis radio sejagad adalah ketika CNJ terpaksa beberapa kali berhenti siaran karena tunggakan listriknya telah membuat PLN murka.

Hingga Detik Terakhir

“I don’t know where the love has gone.
And in this troubled land, desperation keeps us strong”
(Spandau Ballet, 1988).

Pantang bagi dirijen CNJ untuk tutup telinga terhadap nada sumbang. Saat ada pihak yang sudah kehilangan antusiasme, sehingga permainannya keluar dari partitur, sang dirijen tetap harus berjuang agar simfoni kembali ke nada yang penuh harmoni. Konkretnya, sadar ada tumpukan kendala serius akibat ketidak-seriusan kalangan sendiri, mitra strategis harus dicari.

Permasalahan baru muncul. Sebagai dirijen, otoritas saya dikebiri. Fasilitas pun dibuat seminim mungkin. Itu semua membuat inisiatif-inisiatif yang akan dan yang telah dibangun menjadi tidak dapat dieksekusi. Kebiasaan untuk bekerja secara terencana, dirusak oleh pihak-pihak yang bergerak serba simtomatis. Langkah yang disusun sistematis pun dilumpuhkan oleh aksi serba reaksioner. Padahal, ini bisnis, Bung! Dan Bung-bung sekalian kan bukan pemain ingusan di dunia ini!

Perseteruan di lingkar atas CNJ kian memburuk. Yang terkena ampasnya adalah lapisan mulai dari general manager (Benny?) hingga staf. Yaitu kami yang menyebut diri sebagai “999 CNJ Djakarta Team”. Di situ ada saya, Iken, Kiky, Shandy, Indrawan, Ratna, Farhan, dan Sunny.

Puncaknya adalah ketika sebuah telepon tiba-tiba masuk. Disebut “tiba-tiba”, karena tanpa intro (baca: pemberitahuan) sama sekali dari Direksi. Intinya, serah terima dari CNJ ke pihak 99ers. Pindah tangan berarti pindah genre.

Hebat memang direksi CNJ ini , sampai tidak terpikir ada operator dilapangan alias karyawan , juga lupa CNJ juga punya pendengar bahkan “sangat loyal” , mereka lupa juga kalau sedang mengolah “ranah publik bukan taxi” yang bisa berganti supir seenaknya , lalu dimana penanggung jawab radio ini ? juga dimana KPI ?

Akhir Agustus 2008, CNJ tutup cerita. Tapi pastinya, jazz tidak pernah mati. Pecintanya juga abadi. Kita ketemu lagi, pasti!

*tulisan diatas tidak ada yang diedit oleh Redaksi, disajikan apa adanya sebagai bentuk apresiasi WartaJazz pada Radio yang mengusung jazz sebagai sajian mereka*

23 Comments

  1. Silaturahmi ke CNJ.
    Kira-kira tahun 2006 saya dan Khirzan berkunjung ke CNJ untuk bersilaturahmi dengan Kang Benny S, disana kami ngobrol-ngobrol santai mengenai berbagai hal terutama mengenai program siaran dan program marketing yang dijalankan pihak CNJ selama ini, walau pembicaraan kita hanya berkisar pada tatanan umum saja, obrolan santai ini sampai juga kepada bagaimana jika KLCBS dapat bekerjasama dengan CNJ, ya bekerjasama dalam arti luas, waktu itu terbicarakan perihal sindikasi program (network), sekaligus dimana salah satu tujuannya untuk mencapai tujuan pemasaran … memang sekali lagi waktu itu obrolan kami adalah obrolan-obrolan santai, jadi belum membuahkan apa-apa, namun demikan ketika kami pamit dan kami pulang menuju Bandung banyak hal yang saya pikirkan mengenai apa yang telah terbicarakan, ya hasilnya ada banyak catatan yang tersimpan pada benak saya…namun demikian tidak terjadi kesepakatan apa-apa… belum jodohnya saja.
    Saat ini CNJ sudah tidak mengudara ..tentu catatan yang tersimpan di benak saya tidak akan hilang. (Nazar AT Noe’man)

  2. Sedih…sakit hati gak bisa dengerin jazz lagi….
    Prihatin…penyakit kronis para owner radio gak sembuh-sembuh…
    Apa kabar PRSSNI, sibuk apa sekarang…..?????? muscab, musda, munas…hasilnya???
    KPI jangan sibuk sama tayangan TV aja…mbok ya kasus-kasus seperti ini please jadi perhatian juga gitu lohh……….
    Sediiiiih neeeeeehhhhh….gak ada lagi CNJ

  3. gak bisa komen apa apa gus…yang terbaik semua buat cnj, jazz…nanti kita ngobrol2 di 20 tahun JAK JAZZ aja 🙁

  4. buat para 999 CNJ JAKARTA TEAM dan juga buat para pecinta jazz di seluruh tanah air Indonesia…
    Saya pribadi begitu sedih mendengar CNJ sudah tidak ada lagi. Dan saya selalu bertanya-tanya kenapa ini bisa terjadi? Ternyata saya baru tahu setelah membaca artikel ini.
    Ya,tak bisa dipungkiri lagi para”pitcher” banyak bertebaran di bisnis2 lain. Dan mereka itu biasanya tidak tahu menahu dan tidak mau tahu apapun yang akan terjadi bila mereka”banting setir”, yang berdampak terhadap orang banyak. Bagi saya mereka bukanlah pecinta musik dan pebisnis sejati.
    Mungkin sebutan “Safety can Be Fun” layak untuk mereka. Tapi Orang lain menjadi “makan hati” karena mereka.
    Namun saya yakin pecinta musik Jazz tidak akan pernah mati begitu juga Para Pecinta CNJ. Saya yakin CNJ masih terus ada di hati Kita semua.

    Regards

    Pecinta jazz

  5. Menurut saya CNJ adalah salah satu bentuk kecongkakan. Suatu keyakinan diri yang berlebih, seperti pendapat “… kalau ada yang mendengarkan (radio CNJ), pasti para pengiklan akan tahu juga, dan iklan akan datang dengan sendirinya…”, kondisi seperti ini pernah juga saya jumpai di salah satu stasiu radio lain ketika saya masih berkiprah di biro iklan (perusahaan periklanan/advertising agency).

    Sedikit survey sudah pernah saya lakukan ke teman-teman di “agency” (ini istilah orang-orang iklan menyebut tempat kerjanya), bahwa belum ada AE (Account Executif/tim penjualan) dari radio CNJ yang datang untuk berjualan, bahkan tidak sedikit yang tidak mengenal CNJ. Lalu, kalau tidak berjualan terus mau berharap pemasukan iklan dari mana?, padahal iklan adalah darah bagi suatu media.

    Saya ingat sekitar tahun 1993, waktu itu saya bekerja di sebuah agency iklan, datang team marketing/sales radio Jazz di Bandung – KLCBS, mereka mempresentasikan “barang dagangan” dengan sangat bagus…, saya sampai bertepuk tangan ketika teman-teman dari KLCBS itu selesai presentasi.

    Jadi, saya ingin bertanya ke team CNJ yang kemarin ini, sejauh apa team marketing/sales nya “ngasong” ke agency-agency maupun ke advertiser, waktu itu?, kenapa sampai siaran 24 jam tanpa iklan…, apakah memang begitu kiat para ownernya…, siaran tanpa iklan…, nyatanya kan akhirnya “ambruk”…!!!!

    Maaf ya atas komentar di atas, saya termasuk orang yang “sakit hati” dengan tutupnya satu-satunya radio Jazz di Jabodetabek ini….

    Wahyono Noviantoro (CIPUK)

  6. saya pernah bekerja di sebuah radio di selatan jakarta yang pemiliknya mungkin sama dengan owner cnj yang merasa kuat dana, malah bisa dibilang dia bikin radio hanya karena gengsi karena temannya juga membuat radio. sebenarnya secara materi library radio tsb bisa dibilang “kaya”, mungkin bisa ditanyakan ke beberapa rekan alumni radio tsb yang sekarang berkiprah di radio lain. malah sewaktu radio tersebut bernama “binatu”, rate untuk penyiarnya bisa dikatakan salah satu yang tertinggi di jakarta. sekarang radio itu tetap eksis walau berjalan apa adanya, ditinggal orang-orang terbaiknya. untuk para pendengar radio yang mungkin awam, radio itu “theatre of mind”. orang banyak beranggapan kerja diradio itu enak, gaji gede, orangnya cantik dan ganteng2, padahal…….jadi saya cukup memahami crew jakarta team cnj, because i’ve been there…..saya pernah mengalaminya. tetap usaha yang terbaik untuk bung benny dkk

  7. setuju sekali dengan pendapat mas Wahyono & mas Iqbal… dua duanya sangat benar. ada sebuah masalah yang bernama “kecongkakan” yang terjadi di dalam tubuh pemodal di CNJ. Untuk itu, sepertinya Oom Benny kudu jelasin secara panjang lebar lagi kenapa hal ini bisa terjadi…
    monggooo….

  8. * Bung Wahyono : menjawab pertanyaan anda mengenai “sejauh apa team marketing/sales nya “ngasong” ke agency-agency maupun ke advertiser, waktu itu?..”. Barangkali bisa dibaca kembali paragraf : “Permasalahan baru muncul. Sebagai dirijen, otoritas saya dikebiri. Fasilitas pun dibuat seminim mungkin. Itu semua membuat inisiatif-inisiatif yang akan dan yang telah dibangun menjadi tidak dapat dieksekusi..dst..dst..”
    Jadi, kalau paragraf diatas bisa dilakukan seperti radio ‘normal’ pada umumnya, maka team marketing CNJ (jika ada) besar kemungkinan akan mendapat tepuk tangan yang sama meriahnya. Jika berminat, konsep yang akan dijual sampai saat ini masih tersimpan rapi kok..:D Terimakasih telah mendengarkan CNJ..:-)

    *Bung Iqbal : Persoalan ‘banting setir’ mungkin hal biasa dalam bisnis. Tetapi menjadi sebuah persoalan jika setir dibanting dengan tujuan coba – coba atau apapun itu yang berbau ketidakseriusan. Sehingga itulah CNJ sedikit banyak.
    Sama sedihnya dengan anda yang kehilangan CNJ ( mungkin lebih sedih) tapi saya dan teman – teman disisi lain bersyukur mendapatkan pelajaran yang sangat berharga.

    That was really a priceless lesson learned…:-)

  9. nggak ada kata lain selain DONGKOL dengan matinya CNJ sebagai radio Jazz satu satunya di Jakarta.Mulai melek mata bangun tidur saya udah langsung tune CNJ,di kantor pake hape juga tune CNJ,mau tidur pun kalo gak nyetel CNJ ya gak bisa tidur..tapi mau bilang apa..lha kita kan cuma penikmat..
    Kenapa gak usah ada aja ya mulai dulu..jadi gak ada yang kecewa

  10. hhmm.. sebagai orang yang juga bekerja di radio dan masih diberi 2 jam seminggu untuk benar-benar “mainkan record jazz sesukamu” saya paham dengan apa yang terjadi dalam CNJ, sebelum Tsunami melanda Aceh, sebuah radio yang cuma muter jazz.. dan terkenal (meskipun pendengarnya cuma beberapa gelintir namun setia) berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, ada iklan dan cukup subsidi untuk sekian penyiar. tapi pasca Tsunami.. mereka banting setir cuma mainkan musik dangdut..meskipun para pendengar setia banyak yang kecewa, tapi hanya diawalnya saja, sekarang mungkin mereka sudah lupa. karena mereka paham dapat tahu apa yang sebenarnya dihadapi oleh manajemen dan pemilik radio, dan sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu.

    such a big lost buat para pecinta dan pendengar radio CNJ.tapi… inilah bisnis media itu.. terima atau tidak… semua pasti ada masanya.

    salam.

  11. Sekedar mempertegas , bahwa tulisan saya diatas adalah merupakan tanggapan terhadap berbagai komentar keprihatin , penyesalan , kecewa dll , pasca dikabarkannya “ Wafatnya Radio CNJ “ di Warta Jazz ini
    Menjawab pertanyaan mas Wahyono
    1. Sampai akhir “hayatnya “ CNJ tidak mempunyai apa yang disebut Tim Marketing dalam pengertian khusus , Tim Program saya ,Indrawan dan Iken , Tim Marketing ya itu juga , Tim Creatif ya itu juga , sementara nama nama yang lain adalah support pada IT , Produksi dan yang menjaga kesinambungan On Air Radio ini.
    2. Bung Cipuk mungkin faham kultur pada industri radio dalam hal komitmen pembayaran , kami ingin ilustrasikan kalau bung Cipuk ada pada posisi kami , pada tahun pertama anda mendapatkan order iklan dari beberapa klien , kemudaian bung Cipuk secara Institusi tidak bisa kirim tagihan karena terkendala dengan “ Tidak mau lembaga anda membayar PPN lebih dulu “ tenggat waktu pajak dengan realisasi pembayaran minimal 1 ( satu ) bulan , apa yang harus anda lakukan ?
    3. Strategi pemasaran yang ingin dibangun memang agak berbeda , mengingat CNJ membidik ceruk khusus , setidak tidaknya kita punya data kwalitatif dari riset yang dilakukan tanpa ongkos seperakpun . sebagai pemain baru pada kesempatan pertama kami sempat berhasil meyakinkan satu korporat untuk “ Membeli Program “ dengan komitmen 1 (satu ) tahun . satu jangka waktu yang tidak pernah saya alami sebelumnya termasuk ketika saya memimpin tim Marketing Trijaya Network , memang tidak besar hanya ratusan juta , termasuk biaya produksi ditanggung oleh Sponsor Korporat dengan kondisi , menggunakan istilah di Televisi dulu ada istilah “ PBB “ Payment before broadcast
    Sekarang kami ingin bertanya lagi sama bung Cipuk , kalau secara institusi anda di operasional tidak sanggup melaksanakan komitment yang sudah disepakati para pihak , termasuk terhadap “ Air Talent” , pasti anda akan kelimpungan menjelaskannya , dan segala upaya akan anda lakukan untuk memenuhi komitment itu , kalau tidak kredibelitas bung Cipuk akan jatuh atau “menggunakan istilahnya Eddy Koko ( kalau gak salah mantan Trijaya juga ) kejet kejet “ , dan secara etika bung cipuk tidak bisa mengatakan mohon maaf “saya tidak punya otoritas keuangan untuk menutup biaya produksi yang sudah anda bayarkan melalui perusahaan “ .

    Bagaimanapun juga kami berterima kasih atas semua tanggapan khususnya bung Cipuk , apa kita pernah kenal ya ..? ok paling tidak kita kenal disini

    Wallahua’lam Bishawab

  12. Yg pasti tidak mungkin sebuah media massa hidup tanpa iklan. Kita pendengar memang lebih suka dengar radio/tv tanpa diganggu iklan. Tapi iklan adalah salah satu organ penting dalam media massa. Sekuat apapun pemodal, akhirnya semaput juga. Trims.

  13. waktu masih dijakrta..radio ini gak pernah terlewatkan..setelah keluar dari jakrta merasa kehilangan, setelah denger CNJ 99.9 FM sudah “lewat ” sedih juga….

  14. without exception every individual that I introduced to 99.9 responded with ‘this is TOO GOOD to be TRUE’, or something implying such. How right they were!!

    It was a beautiful dream that i’ve many fond memories of.
    To the former CNJ radio makers:
    ” WE THANK YOU FOR YEARS OF EXCEPTIONALLY PLEASURABLE RADIO ”

    Wassalam,
    @lx

  15. Terima kasih buat Pak Benny Sofwan yang telah memberikan info tentang latar belakang “wafat”-nya radio CNJ. Kalo boleh diambil kesimpulan, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari “Case of CNJ” ini antara lain :
    -investor atau owner yang punya seabreg duit bukan jaminan langgeng-nya suatu bisnis, meski sang owner suka sekali dengan musik jazz.
    -oleh karena sejak awal misi dan visi CNJ tidak jelas, maka garis komando pun jadinya “acakkadut”. Saling melempar seperti “pitcher” dan “catcher”. Sehingga pada akhirnya apa yang dinamakan “management” sebagaimana galibnya sebuah bisnis tidak utuh alias jomplang. Seperti yang sudah diulas, ujung tombak “marketing” aja ga ada. Gimana bisnis mau berkembang?

    Terlepas dari “wafat”-nya CNJ, sebagai pendengar loyalis CNJ, saya mengucapkan salut untuk seluruh “crew CNJ” yang telah memberikan sajian musik-musik jazz ber-kelas dengan berbagai genre-nya mulai dari swing, bebop, latin, fusion, cross over, nu jazz, rock, smooth, bossanova dan lainnya. Untuk itu, acungan dua jempol buat Pak Benny dan kawan-kawan yang telah memberikan spirit lewat sajian-sajian musik jazz, terutama buat aliran (flow) musik jazz nya yang luar biasa.

    Last but not least, semoga “atmosfir” di Jabodetabek kembali akan disemarakkan oleh sebuah radio jazz yang baru dan tentu lewat “management” yang bener. Semoga.

    Salam
    Loyalis-CNJ

  16. CNJ selalu jadi favorit saya dengarkan kalau saya lagi cuti ke jakarta (kerja di riau) karena dari semua radio hanya inilah station jazz/classic 24 jam tanpa iklan yg menyebalkan itu..anggap aja dengerin CD yg diputerin orang lain..wah nikmatnya. anggapan saya mudah aja ngaturnya..download semua lagu yg diperlukan ke PC sebanyak2nya dan putar secara acak berdasarkan playlist yg sudah diprogram waktunya kapan untuk jazz dan kapan untuk classic ..jadi tak perlu crew, yg diperlukan mungkin hanya untuk memerhatikan apa AC masih jalan, maklum kan peralatan elektronik perlu suhu dingin agar bisa lebih awet.
    begitu sekarang kerja balik di jakarta..koq sudah berganti corak..wah langsung hilang selera dan merasa patah hati ..karena ga beda dengan station yg lain, lagu ga cocok..ya tinggal geser aja.
    ternyata CNJ punya cukup banyak crew yg sekarang merasa tersingkir..ikut prihatin deh (cuma ini bisanya..karena saya kan cuma pendengar saja..bukan pemodal raksasa yg bisa menyelamatkan anda2).
    semoga pemegang modalnya berubah pikiran lagi agar mau menjalankan program radionya seperti awal cita2 dan kelahirannya.
    wass

  17. wah dengan ditutupnya CNJ,seluruh pendengar jazz sangatlah sedih,jika ditutupnya akibat masalah dana kenapa tidak melakukan beberapa advertising di CNJ itu sendiri,padahal 99.9 merupakan satu2nya radio yang menawarkan jazz 24 jam,sayang sekali

  18. Inalillahi wa Inailaihi Roji’un…. saya pencinta berat CNJ dan saya hanya mau menghimbau kepada seluruh komentator pencinta CNJ marilah kita rapatkan barisan untuk membuat sebuah station radio Jazz yang mempunyai visi dan misi yang sama dengan management professional. Mati satu tumbuh seribu.

    Ada satu pertanyaan yang menggelitik hati saya…. sejauh mana peran KPI/KPID, PRSSNI, ARSSLI atau organisasi serupa apapun itu namanya dalam hal membina anggotanya menuju sebuah station radio yang sehat. Kenapa perdagangan Frekuensi dibiarkan terus berlangsung !!!

    Wassalam.

  19. Sedih, Radio Jazz di Jakarta gak ada yang tahan lama.
    Dulu ada Elshinta yang di Jl. Antasari Cipete, juga hilang.
    Trijaya dan News Cafe tiap Senin malam juga dah gak ada.
    Coba KLCBS siaran di Jakarta juga! Kita2 bakal seneng.
    KLCBS memang top abis, saya mulai dengerin dari tahun 89 atau 90-an.

  20. Harusnya belajar dari KLCBS Bandung yang tetap solid hingga detik ini. Sy terhibur ketika harus hijrah dari Bandung ke Jobotabek, masih bisa mendengar lantunan2 jazz saat mendengar CNJ. Tapi sekarang…?

  21. Saya salah satu pecinta Jazz, jadi keberadaan CNJ sangat-sangat memenuhi kebutuhan saya akan musik Jazz. Saya sempat kaget pada saat mencoba mencari CNJ sudah tidak ada lagi tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.
    Prihatin juga mengetahui apa yang terjadi di radio CNJ, jadi saya pikir CNJ sebagai radio yang berbasis Jazz satu-satunya di Jabotabek harus dihidupkan kembali, saya yakin dukungan untuk itu masih banyak terutama dari komunitas2 jazz yang ada di Jabotabek ini, dan tidak menutup kemungkinan mencari dukungan dari komunitas jazz yang ada di luar kota, dan sudah pasti semua itu untuk mendapatkan investor yang punya komitmen tinggi, jadi mas Benny jangan menyerah terus berjuang dan saya pikir pembicaraan dengan Kang Nazar dari KLCBS bisa ditindak lanjuti

  22. wweeew… tulisan di atas sudah cukup merefleksikan ada di kelas mana masyarakat kita??? radio yg menyajikan music yg begitu keren bisa terkapar layaknya catchers tak berdaya huff…. tenang kang benny jazz never die….akan tiba saatnya nanti masyarakat kita naik kelas…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker