FestivalNews

Bali Jazz Festival 2005: Laporan Hari Ketiga, Jazz Peak Season

Meskipun suasana gerimis dan mendung menutupi keindahan sunset di kawasan Kuta Bali pada hari Minggu sore kemarin (21/11), segenap pecinta musik jazz yang hadir tidak mengurungkan niatnya untuk menanti sajian BJF 2005 di hari yang terakhir dari rangkaian konser selama tiga hari tersebut. Beberapa line up artis jazz telah membius mereka untuk tidak menyianyiakan kesempatan tersebut. Dari jadwal yang telah ditampilkan di beberapa titik dalam komplek Hard Café dan Sand Island Hard Rock Hotel, akan tampil para musisi jagoan jazz dari dalam negeri maupun seperti Rio Sidik with Saharadja, Bali Lounge, Gadiz V & Bass G and The G&B All Stars, Balawan & Batuan Ethnic Fusion, David Sills, PIG (Pra, Indra, Gilang) dan masih banyak lagi.

Photo ©Kushindarto/WartaJazz.com

Arena Hard Rock Cafe (HRC) di hari terakhir ini full diisi oleh kelompok dari Indonesia. Sisi komersial dan easy listening menjadi pertimbangan penentuan artis di panggung  ini pada hari tersebut. Jazzyphonic & Friends membawakan fusion jazz yang cair di telinga, kakak beradik Gadis V dan Bass G menampilkan populer smooth jazz saxophones, ada juga grup yang ditunggu publik Bali, Saharadja dengan commercial world music-nya dan kelompok gado-gado antar bangsa Bali Lounge yang menampilkan lounge fusion music. Alternatif tersebut yang dicoba untuk menarik minat penonton singgah dan bertahan duduk di ruang pentas jazz beratribut rock itu.

Jazzyphonic & Friends yang mendapat giliran pertama tampil dengan ruangan HRC yang masih lenggang. Satu dua pengunjung terlihat baru berdatangan. Sepinya crowd tidak membuat band muda asal Jakarta ini surut manggung. Bassist Dimaz, guitarist Randy, Keybordist Aldhan,  drummer Aldhi, trio brass section – Yaya (flute), Aga (trumpet), Leo (sax) – serta vokalis Dhika tetap bersemangat tampil membawakan karya-karya orisinil mereka. Fusion jazz menjadi suguhan utama, dimulai dengan nomor instrumental yang mereka namakan ‘Doin’ Something’ dan dilanjutkan dengan komposisi berjudul ‘4 on 6’. Sebuah combo song bertitle Come As You Are dimulai dengan intro theme song Mission Imposible dengan gitar yang dilanjutkan ‘Smell Like than Spirit’ – Nirvana dan solo sax ‘Take Five’ secara maraton mereka bawakan di dalam combo itu. Aransemen yang menarik! Atensi ini juga semenarik saat Jazzyponic mengolah ulang lagu soundtrack sinetron Bajaj Bajuri. Aransemen lucu-lucuan lagu gubahan itu berhasil meraup applaus penonton.

Tepuk juga terengar ketika momen satu senar gitar  putus si pemain tidak melambatkan tempo permainan grup yang cenderung dibuat naik-turun. Vokalis Dhika unjuk kebolehan pada lagu berikutnya, ‘Denpasar Moon’, lagu yang populer oleh penyanyi Filipina Maribeth.  Karya Michael Jakcson, ‘Rock With You’, menjadi lagu kedua yang dibawakan dengan penampilan vokal. Setelah itu Jazzyphonic & Friends kembali ngebut berfusion; dimulai dengan ‘1 in 7’ yang menampilkan solo drum di intro dan ‘Robocop Dancing’. Di lagu terakhir,  band yang berdiri di tahun 2003 ini memainkan lagu yang ditulis dalam beberapa part nuansa musik; part pertama yang menjadi tema lagu adalah aransemen bernuasa sweet jazzy. Kemudian dilanjutkan part-part dengan permainan keyboard dengan sound musik daerah Jawa, aransemen gitar beraroma funk dan drum solo reggae sebelum kembali lagi ke tema lagu.  Hasil aransemen penutup yang kembali berhasil mencuri tepuk tangan penonton.

Perhatian pengunjung yang mulai memadati sebagian ruang HRC semakin tertuju ke panggung, ketika duo saksofonis cilik naik pentas. Gadiz V dan Bass G menjadi sorot perhatian karena kemudaan mereka dan kekenesan Gadiz berkomunikasi dengan penonton. Malam itu kakak beradik ini tampil diiringi oleh G&B All Star yang terdiri dari Ilyas Muhadji (bass), Yudhistira (keyboard), Ari (gitar) dan penabuh drum senior Aldy. Seperti beberapa pentas mereka sebelumnya, Gadiz & Bass masih membawakan beberapa repertoar dari Grover Washington, Candy Dulfer, Dave Koz yang menjadi kegemaran Gadiz dan saxoponist melankolis idola Bass, Kenny G.  Mereka juga meniupkan beberapa lagu yang ada di album pertama mereka, Exotic Saxes (2004), lagu populer Indonesia (seperti ‘Prahara Cinta’ yang berhasil membuat pengunjung bersenandung) serta sebuah medley (‘Spain’, ‘Cuba’, ‘That’s The Way’, ‘I Like It’, TMCA, ‘Kopi Dangdut’, ‘Masih’, solo G&B dan kembali ke tema lagu, ‘Spain’). Perkembangan penampilan dua bersaudara ini terlihat pada power dan keterampilan memainkan jenis-jenis saksofon yang tidak umum seperti sopranino, semi curved soprano, baby sax, alto lurus yang semakin meningkat. Sayangnya di festival kali ini Gadiz tidak memamerkan keterampilannya menabuh perkusi dan melantunkan lagu. Serasa ada yang kurang ya, Gadisku.

Dari Main Stage, beberapa penonton bahkan mengorbankan diri berbasah kuyub di depan panggung untuk lebih dekat lagi menyaksikan Balawan & Batuan Ethnic Fusion yang tampil sebagai kelompok pembuka. Gitaris yang sering disebut Stanley Jordannya Indonesia yang juga putera daerah ini, memang sudah menjadi idola para pecinta musik di Bali atau pun di Indonesia pada umumnya. Selain instrumen band standar yang telah tersedia di panggung, terlihat beberapa panitia dan musisi saling membantu untuk menyusun beberapa perangkat gamelan Bali ke atas panggung.

Setelah hujan telah reda dan mengalami beberapa saat keterlambatan waktu dari jadwal yang sudah ditentukan, akhirnya penonton dihibur meluncurnya komposisi pertama ‘Country Balaganjur’ yang mengkombinasikan antara irama bossa nova dan gamelan Bali dengan pitch permainan gitarnya mengadaptasi dari gaya melodi khas Bali. Dalam kesempatan ini Balawan dibantu oleh Nyoman Martono, Wayan Mangku, Wayan Suatika yang bermain beberapa alat perkusi tradisional dari Bali.

Barangkali menjadi sebuah rahmat, kalau secara umum musik tradisional Bali mempunyai mood yang cepat dan keras akan lebih mudah bagi Balawan untuk menyesuaikan gayanya dengan semangat yang sama, jazz rock. Seperti dalam karya klasik Bali ‘Djanger’ atau pun ‘Melitua’ yang kental nuansa jazz rocknya. Teknik tapping juga serasa lebih matching dengannya di mana permainan gitarnya menjadi sangat perkusif. Tidak sampai di situ saja bahkan dalam beberapa kesempatan sound gitarnya diambilkan sampling dari beberapa suara alat tradisional seperti kendang. Kolaberasi dengan mengetengahkan reong, seperangkat instrument tradisional yang kelihatannya sederhana namun untuk menguasainya cukup rumit, dalam ‘Magic Reong’ menunjukan kefleksibelitasan musik tradisional Bali.

Penampil berikutnya adalah seorang gitaris yang berasal dari Malang, Jawa Timur yang sudah cukup lama menetap di Bali, Koko Harsoe. Gitaris yang sudah pernah mengeluarkan album solonya yang berjudul “Mainan” ini dibantu oleh Ito Kurdhi (bass), Niko (drum), Rio Sidik (trumpet), Azar (saxophone), Yohanes (trombone) dan Yuzron (kendang). Secara umum gaya penampilan mereka masih mengacu gaya fusion dengan bumbu sedikit funk seperti di tahun 1980an seperti yang tampilkan karya Koko ‘Afternoon Groove’. Petikannya dan tema melodinya cukup halus ditambah dengan scat singing yang bersamaan dengan solo improvisasi gitarnya. Di antara para pemain brass sectionnya yang mencuri perhatian adalah salah seorang pemain trumpet jazz yang menjadi aset penting dalam khasanah musik jazz di Indonesia, Rio Sidik. Gaya tiupannya yang lantang dan kuat baik dengan trumpet terbuka maupun memakai mute seperti ketika mereka menampilkan ‘You And Me’.

Selain Balawan & Batuan Etnic Fusion serta Koko Harsoe Band, Saharadja adalah kelompok lintas genre dan lintas budya yang paling ditunggu sebagian penonton di ruang Hard Rock Cafe malam itu. Grup yang dikomandani suami istri Rio Sidik dan Sally Jo ini masih setia di jalur musik world music yang dipilihnya.  Saharadja kini terdiri dari Rio Sidik (trumpet, gitar, vokal),
Sally Jo (violis kelahiran Australia), Gede Yudana (acoustik & flamenco guitar), Ajat Lesmana (digeridoo & percussions),  Barok khan (banjo, tabla, sarod, sitar), Badut Widyanarko (fretless bass) dan tambahan drummer Edy Siswanto.  Dengan berbekal pengalaman dan latar belakang bermusik tiap personel yang berbeda, grup yang dibentuk tahun 2002 ini menyajikan musik lintas tradisi
dari Asia, India, Eropa, Irlandia, Scotland, Amerika Latin, Afrika dan, tentu saja irama-irama dari kepulauan Indonesia. Karena itu juga repertoar Sahardja menjadi bervariasi meliputi musik jazz, blues, soul yang dibalut dengan aransemen yang unik. Keunikan tersebut dapat dirasakan pada malam itu dimana mereka menyuguhkan komposisi-komposisi baru di luar kedua albumnya;  One World dan Bali Smile.  ‘Lost Love’ adalah lagu balad ala Saharadja yang membuka konser mereka. Kemudian dilanjutkan dengan komposisi berjudul ‘Nasi Campur’ yang benar-benar merupakan campuran nuansa dari musik beberapa negara; dibuka dengan nuansa Irlandia melalui permainan solo violin Sally Jo, pindah ke Australia dengan tetabuhan Digeridoo, kocokan gitar flamenco Gede Yudhana yang menaikkan tempo permainan, lalu dilanjutkan dengan sound arab dan rasa swing jazz melalui muted trumpet Rio serta improvisasi Barok menabuh tabla India.  Benar-benar merupakan aransemen lintas budaya dalam sepiring nasi campur!  HRC kembali penuh dengan tepuk tangan ketika Sahardja memulai repertoar ketiga yang berupa medley dari komposisi-komposisi klasik Bach.  Setiap alat musik kembali bermbunyi, sitar pada intro, violin dengan bridge permainan solo trumpet sampai scream dan voice pada outro.  ‘Abacadabra’ dan sebuah lagu yang dipopulerkan Sting dan Julio Iglesias, ‘Fragile’, menjadi pilihan berikut Saharadja dengan mengajak Bertha bernyanyi di atas panggung.  Tepuk applaus kembali terdengar setiap mereka selesai menyajikan lagu-lagu tersebut, terutama diakhir lagu Fragile yang juga mengikutsertakan Matthew, penyanyi muda didikan Bertha. Suguhan Sahardja ditutup sebuah komposisi berjudul ‘Slip Into Spring’ dimana kembali lagu dimulai dengan permainan akustik gitar yang kemudian ditingkahi dengan permainan solo jembe nan ritmis mengajak penonton bergoyang dan kemudian diakhiri dengan aksi violin Sally Jo. Two thumbs Up Saharadja with their commercial world music!

Sementara itu, kembali ke panggung besar, Tomorrow Music Ensemble, sekelompok band anak muda kreatif yang muncul dari Sekolah Musik Daya dari Jakarta ini sepertinya sesuai dengan  namanya. Meskipun nama-nama pemainnya belum banyak dikenal secara luas oleh kalangan para penggemar musikjazz di Indonesia secara luas. Para pemainnya antara lain Nikita Dompas
(gitar), Azfansadra Karim (piano, keyboard & pianika), Elfa Zulhamsyah Warongan (drum) dan Indra Perkasa (akustik bass). Penampilan mereka mempunyai pilihan yang lain
dari peserta lainnya. Medeski Martin and Wood atau pun Jacob Fred Jazz atau pun trend jazz masa kini dengan istilah-istilah jazz post-bop, jazz funk, jazztronika sepertinya telah akrab di telinga mereka. Koleksi dari trio kreatif Medeski Martin and Wood ‘Bubble Song’, membuka penampilan mereka yang seketika itu banyak menarik perhatian para penonton karena groove
tembang tersebut sangat kuat dengan improvisasi yang unik. Tidak ketinggalan pula komposisi milik Dave Holland yang diambil dari album yang sering dipuji oleh para kritikus jazz “Conference Of The Birds”, ‘Four Winds’. Sebenarnya komposisi ini secara komposisional cukup membuka peluang untuk dieksplor lebih luas dan bebas lagi namun sepertinya mereka lebih memilih
jalur aman saja. Kesempatan tersebut digunakan Azfan untuk berimprovisasi dengan pianika.

Dua komposisi terakhir merupakan karya mereka dengan judul ‘Wake Up Or She Will Wake You Down’ dan ‘Wam Bam Thanks You Mam!’ di mana mereka menunjukan kebolehannya dalam berkolektif improvisasi namun tanpa menjadi rumit. Sebenarnya bagi penulis, pemain bass kelompok ini menarik perhatian. Mengingat masih minimnya pemain akustik bass yang bermain jazz di Indonesia. Selain itu, dia mencoba untuk membuka jalan untuk berimprovisasi secara lebih luas lagi di luar atau paling tidak ketergantungan dengan pola swing yang sudah baku. Permainan
gitar Nikita tertama dalam memainkan tema melodinya mengingatkan interval yang sering dimainkan oleh John Scofield.

Setelah selama beberapa kali para musisi yang tampil di panggung utama mayoritas menampilkan komposisi-komposisi yang sifatnya lebih banyak menyita perhatian, dua kelompok berikut yang tampil lebih memberi mood yang lebih kalem lagi. Mereka adalah Urs Ramseyer dan David Sills & Jacko Quartet

Kelompok trio yang berbasis di Basel Swiss ini memang sengaja untuk menampilkan koleksi-koleksi standard ballad atau dari karya Urs sendiri. Terutama seperti pengakuannya, mereka menggunakan model seperti Bill Evans atau pianis dari Itali Enrico Pieranunzzi. Sayangnya, ada gangguan teknis terutama menyangkut sound bassnya yang barangkali terlalu tinggi
menggunakan treble sehingga muncul kesan pecah suaranya. Pianis yang merasa tidak asing lagi dengan Bali ini meluncurkan beberapa komposisi seperti ‘Beautiful Love’, ‘Night Bird’, ‘Just A Song’, ‘What Is Thing Called Love’, ‘All The Things You Are’, ‘Blue In Green’ dan ‘Periscope’. Meskipun kalau kita lihat latar belakang mereka yang mayoritas muncul dari pendidikan musik secara formal, namun kesan masih kurang mengalir dan luwes dalam berkomunikasi masih terdengar.

Tamu musisi internasional kita yang tampil berikutnya adalah David Sills. Seorang pemain saxophone dengan gaya permainannya terinspirasi dari Stan Getz dan Lester Young ini dengan keinginantahuan mengenai Indonesia cukup tinggi. Terbukti David Sills dengan senang hati mengajak para pemain muda sebagai pengiringnya. Pemain-pemain pendukung yang berasal dari Yogyakarta tersebut antara lain adalah Jacko (gitar), Helmi (bass) dan Bayu Jatmiko (drum). Mereka latihan hanya sehari sebelum pertunjukannya. Sebagai pembuka, karya David Sills ‘Big’ meluncur lancar. Dinamika dan tone saxophonenya cukup memikat. Sementara, sahabat-sahabat kita pun cukup tanggap dalam mengiringinya, meskipun suasananya terlihat agak tegang. Selain itu, mereka tampil lurus-lurus saja dalam beberapa koleksi standard seperti ‘Blue Bossa’, ‘Body and Soul’ dan ‘Bag’s Groove’. Dalam komposisi terakirnya yang berjudul ‘Sharky’, terlihat sedikit lebih hidup dengan adanya letupan-letupan emosi yang menyelimuti lagu tersebut.

Photo ©Kushindarto/WartaJazz.com

Setelah persiapan panggung yang memakan waktu sedikit lebih lama, mengingat kelompok berikut yang akan tampil adalah pemenang juara favorit kompetisi big
band jazz yang pada awal tahun ini diselenggarakan di ITB Bandung. Kelompok yang terdiri dari 18 pemain ini menamakan diri Jurasik Big Band.
Tentu pemainnya bukan monster-monster dinosaurus di era jurasic, namun merupakan singkatan dari jurusan musik. Sebab mereka adalah para mahasiswa dari
Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Gebrakan pertama mereka membuat kembali memberi semangat dan mood yang lain lagi kepada para penonton. Suasananya lebih meriah. Mereka tampil dengan beberapa komposisi standard seperti ‘Blue Train’, ‘Seven Steps To Heaven’ dan juga sebuah komposisi karya Andy Gomez (piano) serta aransemen dari lagu lama Indonesia ‘Sepasang Mata Bola’. Harmonisasinya cukup bagus dan rapi. Seolah-olah juga memberi pesan
kepada penonton bahwa tradisi big band jazz sampai sekarang masih hidup dan mampu berkembang. Beberapa musisinya juga tampil dengan berani sebagai solois seperti sebagaimana lazimnya.

Penyanyi Tompi yang dikali keduanya tampil di panggung HRC ini hadir bersama grup lintas bangsa Bali Lounge.  Grup berbekal satu album ini kali hadir dengan
formasi Rick Smith (gitar), Bruno Le Flanchec (keyboard), Louis Pragasam (drums), Hari Toledo (bass) dan vokalis Teuku Ade Fitrian a.k.a Tompi. Bali
Lounge menyajikan lagu-lagu di album mereka, seperti lagu berjudul ‘Apa’ yang ditulis oleh Tompi dan otomatis dibawakan dengan gaya khasnya diatas panggung, ‘Something’s Wrong’ yang banyak diminta penonton sebelum lagu itu dimainkan dan ternyata berhasil menuai applaus tanda bukti band ini lolos ujian anti klimaks tadi, ‘Are You Here With Me’, ‘Hip Not Hop’ karya Rick Smith dan ‘When The Sun Comes Down’ dari Bruno Le Flanchec. Selain beberapa lagu lagi, kelompok ini menghadiahi penonton HRC satu buah lagu baru berjudul ‘Step Shoe’ yang dimainkan di awal pertunjukan.  Dari sisi komersial, Bali Lounge adalah penutup yang manis
bagi puncak acara panggung HRC malam itu.

Menjelang tengah malam, sampai saat yang paling ditunggu-tunggu segenap penggemar jazz, yaitu tampilnya PIG dipenghujung acara pada hari itu dan sekaligus juga penutup dari rangkaian konser Bali Jazz Festival 2005 selama tiga hari berturut-turut. Momen ini menjadi sangat istimewa, mengingat dalam kesempatan tersebut menjadi saat untuk bereuni di antara ketiga
pemainnya yang terdiri dari Pra Budi Dharma (bass), Indra Lesmana (keyboard, moog & pianika) dan Gilang Ramadhan (drum).

Kelompok yang mengacu pada musik improvisasi dengan gaya fusion ini sebenarnya telah ada sejak 1986. Sebuah album juga telah dikeluarkan pada tahun 1996 dengan judul PIG yang diedarkan dengan sistem indie label seperti yang kita kenal sekarang ini. Tidaklah mudah untuk mempertemukan mereka kembali untuk menggarap musik bersama. Di mana masing-masing sudah mempunyai kesibukan sendiri. Indra Lesmana dengan Rebornnya, Pra Budi Dharma bersama Krakatau dan Gilang Ramadhan yang akhir-akhir ini sibuk bersama Nera.

Photo ©Agus Setiawan B /WartaJazz.com

Para penonton di depan panggung utama juga tampak semakin menyemut. Hal ini barangkali karena pertunjukan terakhir (Bali Lounge) di Hard Rock Cafe telah usai sehingga langsung menyerbu di depan panggung yang dikelilingi oleh kolam renang tersebut.

Cukup tegang memang karena menduga-duga di benak masing-masing apa yang akan mereka mainkan dalam kesempatan ini setelah sembilan tahun tidak bersama. Mungkin masing-masing sudah mengalami berbagai perubahan dan perkembangan. Komposisi pertama dibuka dengan penampilan solo drum Gilang yang dasyat pukulannya. Kemudian disusul dengan permainan Keyboard Indra Lesmana yang lebih menekankan dari aspek soundscape-nya yang mengesakan suasana ambient. Tidak lama kemudian, Indra tampil ke depan dengan meniup pianikanya dengan improvisasi yang masih abstrak. Terlintas juga komposisi yang sedang mereka mainkan adalah karya Wayne Shorter dengan judul ‘Pinnochio’. Dalam konser ini Indra Lesmana memang lebih banyak waktunya untuk bermain pianika tersebut dengan berbagai efek seperti wah-wah atau pun diambilkan dari sampling keyboard Hammond yang dipakainya.

Bersamaan dengan eksplorasi Indra dengan pianikanya, Gilang Ramadhan berusaha untuk memberikan lapisan-lapisan warna dan tekstur permainan instrument drumnya yang hampir menutupi tubuhnya kalau dilihat dari depan karena saking banyaknya asoseris yang dipakai. Sementara Pra tidak saja menjaga gawang sebagai basis ritmik dengan walking bassnya, namun terkadang juga memasuki wilayah-wilayah yang melodius.

Dari komposisi yang ditampilkan mereka dalam waktu kurang lebih 50 menit namun tidak lebih dari 5 komposisi tersebut, seperti bagian-bagian episode dalam sebuah film. Selain asyik dengan pianika tersebut, ada satu alat lagi yang orsinil yaitu moog. Di mana dengannya eksplorasi improvisasi dan suaranya juga menghasilkan suatu nuansa yang lain. Kalau kita bandingkan dengan penampilan mereka di tahun 1996, performance mereka kali ini lebih banyak tekstur dan warna yang mereka gunakan dalam pemaparan yang sedikit lebih detail. Dalam hal konsep harmoninya tidak banyak mengalami perubahan. Sedikit yang mengganggu penulis adalah permainan drum yang lebih mengandalkan power sehingga dinamika emosinya menjadi kabur. Tapi seperti itulah mereka yang mempunyai kebebasan berekspresi.

Reaksi penonton banyak yang terkagum-kagum. Bahkan beberapa musisi jazz internasional yang masih hadir di tempat tersebut memuji penampilan PIG dan bertanya bagaiamana cara mendapatkan albumnya? Menurut pengakuan Indra sendiri, mereka juga berharap untuk menggarap album bersama kembali di tahun depan.

Di saat akhir-akhir pertunjukan, kembali tempat penyelenggaraan BJF 2005 tersebut kembali diguyur hujan. Banyak orang berpendapat hal tersebut merupakan sebuah tanda dari sebuah berkah. Berkah dengan pesan cinta dan damai. (*/Ceto Mundiarso/Roullandi/WartaJazz.com)

Ceto Mundiarso

Pencinta buku yang banyak menelisik filosofi. Pernah menghadiri Konferensi Ekonomi Kreatif di Inggris. Merupakan bagian penting pada riset di WartaJazz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker