BRAGA FESTIVAL DAN JAZZ BREAK: DARI BANDUNG
(Tulisan berikut ini merupakan sumbangan dari pembaca Wartajazz.com di Bandung. -Red).
Pada hari Jumat, 30 Desember 2005 saya pergi ke sebuah acara lokalnya kota kelahiran saya, di kawasan yang masih kaya akan nilai sejarah, dan kental akan suasana oldiesnya yaitu Jalan Braga. Acara ini dinamakan Braga Festival. Di dalam festival ini sendiri, didirikan beberapa booth yang menampilkan yang juga menjual hasil-hasil karya seni seperti lukisan, dan kerajinan-kerajinan tangan seperti batik dsb, lalu yang menjual buku dan tak ketinggalan yang menjual makanan-makanan ringan. Pengunjung yang datang rata-rata orang tua dan juga anak-anak muda dengan penampilan yang cukup ‘nyentrik’ dengan kamera-kamera yang digantung di lehernya, ternyata memang diadakan pula lomba fotografi pada saat itu. Sangat disayangkan tempat yang disediakan sangat sempit, hanya di sekitar bangunan Sarinah dan Asia Africa Cultural Centre (AACC), sehingga membatasi jumlah booth dan juga pengunjung, namun tetap menarik untuk dinikmati.
Kedatangan saya ke acara tersebut sebetulnya hanya dengan satu tujuan. Melihat pertunjukan JAZZ BREAK. Acara Jazz Break diadakan di gedung AACC dari mulai tanggal 29 dan 30 Desember. Di hari kedua itu saya datang pada pukul empat sore, menyusul dua orang teman saya yang sudah terlebih dahulu berada di sana. Saya terlambat setengah jam, karena jalanan agak macet dan susah parkir. Ternyata pada hari itu dijual dua jenis tiket, yaitu untuk Jazz Break session siang seharga Rp.10.000 dan session malam Rp.20.000.
Pada sore itu, ketika saya masuk ke dalam AACC, penonton berjumlah tidak terlalu banyak, mungkin sekitar belasan. Sayangnya begitu saya masuk, seorang pianis muda baru saja selesai memainkan lagu ‘Smile’ dari Nat King Cole, lalu setelah itu break selama limabelas menit. Mungkin mengapa acara itu dinamakan Jazz Break karena selain menampilkan banyak musisi jazz, penonton pun harus rela menunggu break yang cukup lama. Setelah itu, Triny Andriani (MC di acara tsb) mulai membuka acara kembali, dan mendatangkan musisi yang akan tampil.
***
Didi AGP dan anaknya, Amir AGP
Sebuah pertunjukkan yang sangat unik! Didi dan Amir membawakan musik yang dinamakan etno-techno (kalau tidak salah dengar). Jenis musiknya sendiri kalau saya bilang termasuk modern, diberi sentuhan techno progressive (seperti musik untuk nge-dance), ada juga yang sedikit nge-lounge, tapi dipadukan juga dengan musik tradisional seperti bunyi suling Padang dan gendang. Didi memainkan keyboard dan seruling, sedangkan Amir pada electric guitar, kendang, dan juga vocal. Karakter vocal Amir sendiri cukup bagus, memang tidak terlalu jazzy, tetapi pas untuk musik lounge. Kabarnya, duet bapak dan anak ini akan segera meluncurkan album perdananya di awal tahun 2006.
Samba Sunda
Begitu pertama kali dengar nama “Samba Sunda” dipanggil oleh Trini, saya bingung. Memang ada Samba yang di-sunda-in? Ternyata memang ada! Sejumlah alat musik tradisional Sunda (gamelan,red) yang dipadankan dengan electric bass, flute, dan acoustic guitar memang menghasilkan bunyi yang sangat unik. Ditambah lagi dengan penyanyi dengan karakter vocal khas sinden sunda, ia mampu membawakan lagu “Panon Hideung” yang berirama seperti musik Samba dari Amerika Latin. Setelah itu, muncul juga seorang violist yang semakin menambah keindahan perpaduan musik tersebut. Lagu yang dimainkan tak hanya lagu-lagu sunda, tetapi mereka pun telah menciptakan beberapa lagu sendiri seperti lagu yang berjudul “Sweet Talk” dan “Nuansa Biru” , yang iramanya slow, dan bisa dibilang juga agak chill. Absolutely cool!
Penampilan dari Samba Sunda merupakan penampilan terakhir pada session siang, setelah itu lagi-lagi break dengan jeda yang cukup lama, lalu dilanjutkan kembali pada pukul 7 malam untuk session malam.
Imel Strawberry
Di session malam, penampilan pertama dibuka oleh seorang pianis dan juga vokalis wanita dari Bandung, Imel Rosaline atau yang dikenal sebagai “Imel Strawberry” karena telah menciptakan sebuah lagu soundtrack pada sinetron berjudul ‘Strawberry’ yang pernah tayang beberapa waktu lalu di sebuah stasiun TV swasta. Imel tidak bermain sendiri, tetapi didampingi oleh Rudy Aru sebagai bassis dan Ami sebagai violis. Imel memainkan beberapa lagu seperti lagu Strawberry-nya, dan juga lagu jazz standard berjudul “All of Me”. Imel pun berrencana akan segera mengeluarkan album bersama dengan Rudy Aru, Ari Aru, Ami, dan Boyke. Mereka bisa dibilang sebagai master-nya jazz di Bandung. Kita tunggu albumnya ya!
Hary Pocang and friends
Begitu keempat bapak-bapak ini naik ke atas panggung, beberapa audiens meneriakkan “Pocang…! Pocang..!”, saya yang belum pernah melihat keempat musisi yang penampilannya cukup nyentrik tersebut langsung berpikir, wah pasti ini orang sebenarnya terkenal. Ternyata memang benar, kata ayah saya beliau adalah koboi-nya kota Bandung. Hehehehe.. Beliau terkenal sebagai musisi blues. Pada malam itu beliau pun menyanyikan beberapa lagu blues, dan juga bermain harmonica, didampingi juga oleh gitaris dan pianis. Selewat irama blues disini, terdengar agak seperti musik country, however penampilan mereka semakin seru ketika ada seorang seniman yang menyebut dirinya sebagai ‘karuhun’ membacakan puisi dalam bahasa Sunda.
Ada sebuah cerita lucu. Ketika mereka sedang berada di atas panggung, terjadi beberapa kali feedback yang cukup mengganggu permainan mereka, lalu Hary Pocang nyeletuk “Tah.. tukang putu hayang ngiluan wae” dan kontan semua penonton tertawa lebar.
Idang Rasidi
Setelah penampilan dari Hary Pocang and friends berakhir, seluruh penonton nampak sudah tak sabar menunggu penampilan berikutnya dari Idang Rasidi. Idang membuka permainannya dengan sebuah lagu instrumental didampingi oleh seorang drummer, seorang bassist, dan seorang saxophonist keturunan Indonesia asal Belanda bernama Nicky Manuputy. Idang dengan pembawaannya yang nyantai dan ramah, membuat suasana pada malam itu semakin akrab. Idang banyak ngebodor, dan juga berbagi cerita tentang pengalaman-pengalaman tentang hidupnya sebagai musisi jazz. Ada kata-katanya yang saya sangat ingat betul, kurang lebih seperti ini: “Kalau anda seorang musisi, terutama musisi jazz, ada dua hal yang sangat penting. Yang pertama pengalaman, yang kedua pergaulan. Kalau tidak punya dua itu, tidak akan berhasil”.
Setelah membawa penonton ke suasana yang santai, Idang pun membawa kami ke suasana haru dengan menyanyikan sebuah lagu untuk Alm. Harry Roesli yang berjudul “Leaving on the Jet Plane”, dan penonton pun ikut bernyanyi bersama. Tak lama setelah penampilan tersebut, penyanyi yang ditunggu-tunggu pun muncul juga.
Tompi
Tompi, seorang penyanyi muda berbakat yang juga sebagai vokalis dari group Bali Lounge, yang telah dinantikan para penonoton, khususnya penonton yang berusia muda, membuka penampilan pertamanya dengan lagu berjudul “Ain’t No Sunshine”. Tompi diiringi oleh Idang dan band, walaupun katanya mereka belum pernah latihan. Terjadi beberapa kesalahan pada saat membawakan lagu, namun pastinya mereka dapat mengatasi kesalahan tersebut dengan mudah, dan tidak diketahui penonton, walaupun pada akhirnya Tompi sendirilah yang membuka rahasia kesalahan itu.
Lagu hits-nya yang berjudul “Selalu Denganmu” dibawakan pada malam itu, diiringi masih oleh Idang dan band. Tompi banyak menghasilkan improvisasi yang “wow” dan Idang pun mencoba untuk menyelipkan sedikit improvisasi suaranya. Selain itu, Nicky pun memberikan sebuah improvisasi spontan pada saxophone, sehingga lagu itu pun terkesan agak sedikit berbeda dengan yang aslinya. Lagu berikutnya berjudul “Fever”, berirama agak nge-beat dan Tompi pun mencoba untuk memainkan kendang pada bagian akhir lagu. Dan akhirnya acara Jazz Break pun berakhir dengan penampilan “super” mereka.
Saya merasa sangat puas dengan diadakannya acara Braga Festival ini, terutama untuk acara Jazz Break. Sangat disayangkan, antusiasme masyarakat kota Bandung sepertinya masih kurang. Semoga saja di acara Braga Festival tahun depan, masyarakat baik dari Bandung atau bahkan dari luar kota Bandung bisa lebih ‘menengok’ ke acara ini.
Kontributor: Cherika N. Hardjakusumah