JAKARTA JAVA JAZZ FESTIVAL 2006: LAPORAN HARI PERTAMA (Bagian Ketiga)
![]() |
Tony Monaco dengan Hammond XK-3-nya di Java Jazz Festival 2006. Photo: Ajie Wartono © WartaJazz.com |
Selamat pelaksanaan Java Jazz Festival 2006, Wartajazz.com menurunkan sejumlah jurnalis untuk meliput. Kami sajikan berikut ini dari beragam pentas yang ada. Artikel berikut ini merupakan bagian ketiga dari laporan pada hari pertama.
TONY MONACO
Menurut beberapa penonton yang sempat ditanya oleh tim wartajazz.com, para pemain yang tampil dengan kreatif dan inovatif justru sering kali berada di atas panggung-panggung yang ukurannya lebih kecil. Barangkali sebagian penonton juga belum mengetahui kalau ada seorang pemain organ musik jazz yang baru saja mendapatkan penghargaan dari majalah musik jazz terkemuka DownBeat atau pun Jazztimes dalam Critics Poll dan Readers Poll di tahun 2005 lalu. Dia adalah pemain organ, guru, sekaligus produser Tony Monaco.
Musisi yang baru saja mengeluarkan album “East To West” ini tampil di panggung Qualcomm langsung saja menarik perhatian para penonton yang lalu lalang di lobby JCC tersebut. Dengan dibantu oleh Oele Pattiselanno (gitar) dan Jacky Pattiselanno (drum), Monaco tampil dengan organ legendaris Hammond B3 dengan energik. Gaya penampilannya cukup atraktif. Bahkan tidak saja jari-jarinya atau kaki (memainkan bass pedal khas pada organ), mimik mukanya juga terlihat begitu ekspresif dan kadang terlihat lucu menyesuaikan mood improvisasi yang sedang dilakukannya. Sayangnya, gitaris dari negeri kita terkesan kurang siap dan responsive terhadap apa yang dilakukan Tony Monaco. Beberapa koleksi standard dan karya Monaco sendiri dibawakan dengan baik seperti ‘I’ll Remember Jimmy’ (sebuah persembahan untuk pemain organ jazz legendaris Jimmy Smith), My One and Only Love’, ‘The Champ’ dan ‘All Or Nothing At All’.
AD COLEN QUARTET
Tidak seberapa lama di di atas panggung yang sama, tampil saxophonis muda berbakat dari negeri Kincir Angin yang bernama Ad Colen. Saxophonis yang belum lama ini mengeluarkan album “Bitter But Sweet”, tampil dibantu oleh Rob Van Bavel (piano), Erik Robaard (bass) dan Jasper van Hulten (drums). Tembang pembukanya ‘Comme Vous Voulez’ dimainkan dengan soprano saxophone. Model modern bob memang banyak dipilih oleh para musisi jazz muda saat ini. Seolah-olah ada campuran nafas antara musik jazz dan rock tanpa menjadi gaya fusion pada tahun 1970an. Satu penampilan yang cukup menarik adalah komposisi karya Robaard yang terinspirasi dari gamelan dengan mencoba untuk menampung nada-nada pentatonic dalam permainannya. Meskipun akhirnya juga lari ke bop lagi. Selain itu, mereka menampilkan beberapa komposisi seperti ‘Bitter But Sweet’ ‘9TR’ dan ‘Aajge’. Gayanya yang lugas dan to the point cukup banyak diminati para pemain jazz muda dari Indonesia yang kebetulan pada waktu itu sedang longgar waktunya.
![]() |
Bob James bersama Angels of Shanghai di Java Jazz Festival 2006. Photo: Ajie Wartono © WartaJazz.com |
BOB JAMES & ANGELS OF SHANGHAI
Nama Bob James sudah sangat populer di tengah publik jazz Indonesia. Berkali-kali ia datang dan mengetengahkan musiknya dalam berbagai formasi; era kuintet bersama Lee Ritenour dan Ernie Watts di serial JakJazz, kuartet dengan Fourplay, beberapa penampilan tunggal yang diantaranya melibatkan Hillry James sampai terakhir merangkai tur tiga kota di bulan Desember 2005 lalu. Namun kali ini pengunjung festival JavaJazz hari pertama disuguhkan format yang berbeda dari musik Bob James.
Penampilan pianis ini menjadi beda karena ia melibatkan siswa dari Shanghai Consevatory of Music yang memainkan alat musik tradisi China pada lagu-lagu ciptaannya. Format ini menurut Bob James dalam websitenya merupakan proyek yang unik dan sangat spesial karena berhasil mempertemukan aspek timur dan barat secara musikal.
Hasil kreasi Bob James dan kawan-kawannya mengkombinasikan sound jazz Amerika [versinya] dengan musik tradisional China sedikit banyak berhasil memikat minat pengunjung JavaJazz di awal pertunjukan. Ruang Jazz Hall Assembly 3 yang dijadikan tempat pertunjukan terlihat padat dipenuhi calon penonton. ‘Restoration’ dan ‘Taxi’ menjadi lagu pembuka yang dibawakan lebih pada format kuartet. Gitaris Jack Lee, Bob James, bassis Nathan East banyak mendapat porsi solo atau saling sahut di kedua lagu itu. Baru pada lagu ketiga, ‘The Magic Paintbrush’, keempat siswa yang dijuluki sebagai The Angels of Shanghai ini menunjukkan kemampuan mereka memainkan alat musik tradisi ke dalam melodi yang dibangun Bob James oleh pianonya. ‘Melodia – The Quiet Place for Two’ menjadi lagu berikut yang seperti judulnya merupakan duet permainan piano Bob James dengan Jian Ju Ma yang memainkan er-hu, violin dengan dua dawai. The Angels yang terdiri dari Jia Jun Ma, Li Li, Tao Xie dan Zhen Liu menampilkan paduan sound dua buah er-hu, pipa [sejenis lute], guzheng secara lengkap di lagu ‘Onara’. Nathan East menyumbangkan tarikan vokalnya di bagian pertama lagu ‘Endless Time’ yang di bagian berikutnya pemain guzheng dan erhu bergantian saling sahut dengan para personel kuartet; Bob, Nathan,Woo Jin Lee [a.k.a Jack Lee, gitar], Lewis Pragassam [drum] dan menghadirkan juga David Mcmurray [flute]. Sebelum lagu terakhir ‘Wechester Lady’ yang menampilkan improvisasi secara berganti dari er-hu, pipa, bass, piano dan drum, alat musik guzheng, yang merupakan persilangan harpa dan siter, mendapat waktu khusus melakukan penampilan solo.
Proyek cross over Bob James yang mempertemukan timur dan barat dalam koridor musikal ini bukanlah hal yang pertama kali dicoba. Dari Kitaro [instrumen tradisi Jepang] sampai Jean Michael Jarre dalam ‘Project in China’ – ‘Forbiden City’ dan ‘Tian Anmen Square’ yang melibatkan 260 musisi dari The Beijing Symphoy Orchestra, The Chinise National Orchestra, The Beijing Opera Chorus serta rocker setempat – pernah melangkah ke dalam wahana eksplorasi ini. Jika boleh, kita juga dapat menyebutkan pencapaian Bubi Chen dan musisi tradisi asal Jawa Barat Uking Sukri di album ‘Kedamaian’ yang berhasil meleburkan permainan piano dengan kecapi dan suling sunda. Tentu daftar akan terus bertambah panjang, sepanjang keinginan musisi meranah ekspresi karya dan pengalaman bermusiknya ke arah horison lintas budaya.
![]() |
Pianis sekaligus vokalis Otti Jamalus saat memainkan piano dalam Java Jazz Festival 2006. Photo: Ajie Wartono © WartaJazz.com |
OTTI DJAMALUS
Otti Djamalus adalah salah satu pianis perempuan yang bersama grupnya tampil di festival ini. Otti Djamalus trio, nama grupnya itu terdiri dari Jance Manusama pada bass, drummer Jacky Pattiselanno dan Otti selaku vokalis dan pemain piano. Penampilan trio ini kemarin menghadirkan juga guru-murid gitaris Oele Pattiselanno dan Tiyo. Mereka memainkan lagu-lagu cover; seperti ‘Four’ yang dipopulerkan oleh Miles Davis, ‘Speak Low’ – Kurt Weill, ‘Lucky To Be Me’ – Leornard Bernstein, ‘I’m Coming Thru’ – Diana Krall, sampai ‘A Song is You’ – Jerome Kern. Permainan grup yang sudah akrab dengan pecinta musik jazz di Jakarta ini sepertinya belum menghadirkan hal baru. Penampilan bagus mereka malam itu masih senafas dengan tampilan regular mereka. Jikapun ada yang beda hanyalah pada isian dua gitaris yang bila ditilik lebih dalam, mereka pun belum tune in maksimal dalam alur permainan trio yang menutup aksi panggungnya dengan sebuah lagu dari Peter Pan, ‘Tak Bisakah’.
BRAND NEW HEAVIES
Puncak acara yang menjadi salah satu special show di hari pertama adalah tampilnya Brand New Heavies [BNH]. Grup yang mendeklarasikan diri sebagai pengusung musik modern UK soul, hip hop, dance, dan funk ini tidak tampil istimewa di malam pertama penampilan mereka. Kesalahan audio yang menyebabkan suara gitar Simon Bartholomew tidak keluar sampai pertengahan pertunjukkan membuat permainannya tidak terdengar oleh penonton. Jumlah penonton yang hadir relatif sedikit untuk kapasitas Music Dome – Planery Hall. Mereka pun pasif dan relatif menyambut dingin lagu-lagu yang diyanyikan Ndea Davenport, vokalis yang bereuni dengan BNH pada lawatannya ke Jakarta kali ini. Dari 12 repertoar yang BNH bawakan, hanya lagu ‘Universe’, ‘Midnight at The Oasis’ dan ‘Shelter’ yang dilantunkan oleh drummer Jan Kincaid mendapat respon hangat. Selebihnya, seperti ‘Gimme One of Those’ yang ditempatkan sebagai pembuka, ‘Have a Good Time’, ‘ Dream on Dreamer’, ‘Stay This Way’, ‘Brother Sister’, ‘BNH’, ‘Lets Do It Again’ baru mendapat respon di malam kedua pertunjukan mereka, dimana kendala teknis sudah diatasi dan jumlah penonton yang hadir jauh bertambah. Encore; ‘Never Stop’ dan ‘Dream Come True’ pun lebih nikmat dirasakan di hari kedua pertunjukan. Meski begitu baik di hari pertama atau kedua, dari sisi atraksi individu, personel band yang disebut sebagai ‘the greatest British funk group since the Average White Band’ ini terlihat belum penuh merambah luasnya panggung. Hanya bassis Andrew Love Levy yang rajin bergeraka maju-mundur-mendekati personel lain. Rasanya hal ini berbeda jika mengingat penampilan pertama BNH di Hard Rock Cafe beberapa tahun yang lalu. Saat itu, setiap personel BNH lebih berhasil membangun atmosfir penonton yang hadir terbatas di ruang club itu. Satu lagi yang missed dari penampilan BNH di Java Jazz adalah tidak dimasukkannya lagu-lagu gress dari album terbaru mereka ‘Allaboutthefunk’ yang notabene lebih uptodated dengan penikmat musik kini tanpa maksud mengecilkan keinginan bernostalgia.
(*/Arif Kusbandono/Roullandi N. Siregar/Ceto Mundiarso/WartaJazz.com)