PAT METHENY PUKAU PENONTON MOSAIC MUSIC FESTIVAL 2006
Lebih dari 30 tahun berkeliling dunia, 17 buah penghargaan Grammy – ajang penghargaan tertinggi bagi insan musik – plus seabrek julukan yang diberikan padanya – seperti “one of the greatest guitar players on the planet” misalnya – membuat pertunjukan gitaris beken Pat Metheny menjadi satu hal yang sangat ditunggu-tunggu di ajang Mosaic Music Festival 2006.
Bersama bassis paling laris saat ini Christian McBride dan drummer Antonio Sanchez, Pat Metheny hadir di Concert Hall, di Gedung Esplanade Singapura Rabu (15/03) yang lalu.
Sehari sebelum pertunjukan, suasana disekitar gedung yang berbentuk durian itu dipenuhi oleh penggemar yang datang dari berbagai tempat. Maklum, persinggahan Pat Metheny dalam tournya di Asia Pasifik ini hanya mampir kebeberapa kota saja. Sebelum ke Singapura, ia mampir dulu ke Perth, Adelaide di Australia dan Wellington di New Zealand sebelum singgah ke kota Bangkok, Thailand.
Di hari Selasa (14/03) panitia Mosaic Music Festival membuat sesi Question and Answer yang harga tiketnya dipatok sebesar $S10 atau kira-kira Rp 55.000,-. Ternyata peminatnya luarbiasanya banyak, sehingga seperti halnya konser Pat, tiket masuknya pun juga ludes diserbu penggemar gitaris yang sering tampil dengan kaos lengan panjang loreng berwarna hitam putih.
![]() |
Pat Metheny – didampingi Direktur Program JP Nathan saat menjawab pertanyaan wartawan dalam Media Gathering, Selasa (14/03) sebelum penampilannya di Mosaic Music Festival 2006. Photo: Agus Setiawan Basuni © WartaJazz.com |
Pukul 19.45 waktu Singapura, CEO Esplanade, Benson Puah naik keatas panggung. Ia memberikan sedikit prolog. Singapura butuh 20 tahun untuk mendatangkan bintang yang membawa peralatan sekitar 6000 pon. Sontak penonton memberikan applaus yang meriah ketika ia lantas memanggil Pat keatas panggung.
Pat mengawali konser set pertama dengan memainkan solo gitar akustik sekitar 13 menit dengan menyajikan reportoar yang diambil dari album pertamanya Bright Size Life. Disusul variasi “Last Train Home“, dimana Pat memainkan suara bass dan guitar terdengar bersamaan seolah dimainkan oleh duo. Seorang penonton yang datang dari India, Niranjan Jhaveri berbisik pada WartaJazz.com, “Luarbiasa, suaranya bisa keras sekali”.
Pat lantas memainkan bariton acoustic gitar, membawakan nomor One Quite Night yang justru menjadi pembuktian terbalik atas judul lagu itu, ia menyajikan komposisi teknis yang sangat memikat, perubahan chord yang tiba-tiba, dan sesekali menyelipkan kejutan dissonans. Applaus lebih keras dari lagu sebelumnya terdengar dari bangku penonton yang susunannya menyerupai hurup U menghadap ke panggung.
Ditengah keriuhan tepuk-tangan Pat Mengganti gitarnya dengan Pikasso yang memiliki 42 string. Gitar yang dibuat khusus untuk Pat tahun 1984 oleh Linda Manzer ini dijuluki sebagai “Dangerous Curves” oleh Boston Museum of Fine Arts. Ia memainkan lagu “Into the Dream”. Suara gabungan antara gitar akustik, harpa, sitar, bass berpadu dengan sound beraroma oriental sambil sesekali Pat mengetuk body gitar dengan tangan kanannya.
“This is not America”, “So May It Secretly Begin”, dari album Still Life (Talking), menyusul hadirnya bassis McBride yang memainkan upright bass dan lantas drummer Sanchez menyusul. Pat Metheny sendiri sibuk dengan asistennya. Apa pasal?, ternyata kukunya patah – tepat sebelum lagu saat gitar Pikasso dimainkan, selesai. lantas Ia mengambil gitar elektrik Ibanez PM-100.
![]() |
42 string Pikasso Guitar |
Trio yang menarik ini menyajikan sesuatu yang memiliki daya pikat luar biasa. Dilagu “Bright Size Life” misalnya, McBride memamerkan kebolehannya bersolo yang juga diikuti permainan solo drums oleh Sanchez dilagu berikutnya yang diberi judul “No 13” – sebuah lagu baru. “Saya berharap album saya bersama Trio menarik ini akan segera keluar”, ujarnya dalam kesempatan terpisah kepada WartaJazz.com beberapa jam sebelum pertunjukan.
Pat rupanya orang yang dekat dengan keluarga. Sebuah nomor favoritnya “Always and Forever” dari album Secret Story diperdengarkan. “Lagu ini saya tulis untuk kedua orang tua saya”, ungkapnya pada penonton yang terhanyut dalam lagu berirama lembut ini.
Melihat rangkaian pertunjukan tersebut, seorang penggemar Pat yang khusus datang dari Jakarta, Bowie mengungkapkan komentarnya pada WartaJazz.com. “Mendengarkan musik dia bisa kontemplatif bisa emosi, bisa inspiring. Apalagi ambience yg dia pake misalnya reverb yg lebih juga waktu solo gitar song for the boys. Memang dia perlu banyak explorasi sendiri untuk mendefinisikan musiknya ketimbang main sama regular groupnya”, ujarnya. “Konser kemaren itu bagi sebagian besar penggemar Pat dari jakarta, (gue melihat ada lebih dari 20 orang) adalah rasa kangen setelah penampilannya 10 th silam” tambahnya lagi.
Pat memang pernah tampil di Jakarta bersama grupnya. Ini menjadi inspirasi bagi banyak orang. Termasuk pianis Nial Djuliarso yang sempat pula menonton konser sebelum tampil di Main Entrance Esplanade.
Oh ya, diantara kerumunan penonton yang mengantri meminta tanda tangan Pat, Bride dan Sanchez seusai pertunjukan tampak gitaris beken Dewa Budjana, keyboardis Riza Arshad dan bassis Indro Hardjodikoro, dan sejumlah penggemar Pat lainnya yang datang terpisah.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa mengobati anda yang tak memiliki kesempatan menonton. Dan barangkali menjadi dorongan bagi para promoter untuk mengupayakan menghadirkan Pat Metheny dikesempatan berikutnya. Semoga!.