MAGIC MUSIC AT THE TEMPLE: Sesi Nine Muses (Perkenalan)
Guerino Mazzola (piano), Sirone (acoustic bass), Maya Hasan (harpa), Sally Jo (biola) dan Heinz Geisser saat tampil dalam konser sekaligus pengambilan gambar Magic Music at the temples di Nine Muses Club, Jakarta (10/8) lalu. Photo: Kushindarto/WartaJazz.com |
Salah satu level tertinggi dalam kecerdasan emosional adalah “flow”, demikian dibahas referensi psikologi. Indra Lesmana pun pernah membahas flow dalam konteks jazz yang meskipun serupa trance, tetapi masih mawas terhadap kendali rambu-rambu musik. Usai konser mereka, duo Mazzola-Geisser terlibat percakapan intens dengan rekan-rekan bermainnya: bassis Norris Jones (Sirone), harpis Maya Hasan, dan violis Sally Jo. Mazolla memancing dengan topik flow. Ia mengambil contoh pemain bola legendaris Pele. Pele mengalami segala situasi pertandingan di sekitarnya justru seolah “melamban” layaknya adegan slow motion. Tampaknya mental state yang dialami Pele ini berkebalikan dengan apa yang dilihat penonton sebagai sebuah pertandingan yang cepat. Kontradiksi yang sama kita dapati pula dari sekilas mendengarkan permainan grup Mazolla. Saat bertandang 2004 lalu, Mazolla mengungkapkan bahwa ia justru semakin tidak bisa mendengar permainannya sendiri ketika yang tampak adalah solo-individual. Semakin dalam, justru ia semakin mendengarkan lawan mainnya.
Diskusi bertema flow ini direkam tim produksi Karya SET Film usai para pemain ini berkonser. Mengambil suasana inner garden Nine Muses Club Jakarta, rekaman ini merupakan bagian dari rangkaian skenario film dokumenter “Magic Music at The Temples”. Konser malam itu (10/08/’06) menjadi pembuka tur film dokumenter tersebut. Producer film ini Winston Marsh, menjelaskan tujuan pembuatan film ini sebagai karya seni lintas media: free jazz & visual art, jazz & cinema yang tiada saling berbatas lagi. Secara teknik, film dokumenter ini juga digarap serius oleh tim yang diarahkan Garin Nugroho ini. Pencapaian artistik yang diharapkan didukung oleh perangkat & tim produksi yang teliti.
Konsernya sendiri berlangsung dalam dua bagian. Seluruh pemain dipaksa larut dalam aliran kontinyu, berpartisipasi dalam lukisan yang disumbangkan gestur masing-masing. Maka Sirone pun kadang membetot kasar, menggesekkan bow-nya hingga bagian di bawah sadel senar-senar upright bass. Di pojok lain Geisser meningkahi dengan pukulan tegas, bunyi simbal yang tajam, dan dentum tom beraksen rapat. Versi interval Mazzola malam itu pun diperoleh lewat gulungan nada yang rapat, secepat kilat, dan terkumpul terbagi-bagi di beberapa daerah tuts: jadilah interval. Pada bagian kedua, Mazzola mencoba membawakan sesuatu yang menurutnya lebih romantik.
Penonton agaknya dipaksa pula untuk beradaptasi, kadang seolah berusaha keras dengan memejamkan mata, atau ada yang mencoba dengan relaksasi. Sungguhpun musik adalah universal, Geisser pernah mengungkapkan “universal doesn’t mean that it is easy“, ada usaha untuk memberikan ruang dan meninggalkan segala kecurigaan-sekilas. Free jazz memang bukan makanan cepat saji.