Sesaat sebelum konser, orang-orang masih bertanya-tanya kira-kira seperti apakah sajian musik ramuan tiga musisi jazz kawakan Indonesia, Indra Lesmana, Pra Budi Dharma dan Gilang Ramadhan.
Pertanyaan itu tentu berdasar. Sebab Indra bertiga dikenal pula sebagai trio PIG yang dasar musiknya adalah free jazz.
Pertanyaan itu terjawab saat Indra Lesmana memulai konser pemanasan mereka dalam Festival Schouwburg VI di Gedung Kesenian Jakarta Jumat (7/9) malam.
Komposisi Little Jakarta yang terinspirasi dari musik betawi itu terpampang jelas dari hentakan drums Gilang Ramadhan yang melengkapi set drum minimalisnya dengan kenong dan kecrek serta ceng-ceng. Permainan piano Indra diawal lagu, memperkuat kesan itu. Ya, ini bukan freejazz, melainkan Bebop seperti yang diungkapkan Indra seusai konser. Atmosfer betawi itu pula dihembuskan oleh Pra Budi Dharma dengan slendro fretless bassnya.
Menyusul lagu-lagu berikutnya yang seperti kata Indra, diambil dari daerah di Nusantara. Ada nuansa Banyuwangi di “East Coast of Java”, atau nafas Sunda yang kental di “Panghareupan”. Dilagu ini, Indra memainkan melodika yang menggantikan efek suara suling. Sedangkan kecrek yang dimainkan Gilang dengan pedal (kick) di kaki kiri sementara kenong ditaruhnya di pedal kaki kanan.
Konser yang digelar kurang lebih seminggu sebelum bulan puasa tahun ini juga menghadirkan nuansa padang pasir dengan lagu “First Dawn”. Ketukan pukulan drums Gilang dimainkan bak lazimnya kita mendengarkan qasidahan yang dimainkan dengan rebana. Suasana ini menjadi lebih kontemplatif dengan pola permainan Indra.
Lagu Kayon yang menjadi judul dari album Trio ini menyiratkan pola permainkan bak gamelan dengan gendingnya nan syahdu penuh mistik. Kayon yang berarti Kayu ini juga terlihat dari cover album yang cantik berwarna dasar hijau. Sementara “Mademato Kamaki Sawosi” terinspirasi dari Papua yang artinya mari kita bercocok tanam. Dua lagu yang lain, “Mumang” dan “Makepungterinspirasi dari musik Aceh dan Bali.
“Kami berusaha memainkan bebop sebagai landasan. Kebetulan tema dari konser kami di Jerman nanti adalah bagaimana perkembangan bebop di Asia. Bebop itu sesuatu yang natural bagi saya”, ujar Indra selepas konser. “Kami berusaha sekuat tenaga untuk tetap menjaga itu” lanjutnya.
Ungkapan Indra itu tentu menyiratkan upaya luar biasa sebagai pertanggungjawaban atas musik yang mereka mainkan. Bukan sebuah kebetulan kalau Gilang Ramadhan misalnya, bergulat dengan musik-musik dari kawasan timur Indonesia. Grupnya Nera bahkan memiliki pijakan musik dari Flores. Sementara Pra Budi Dharma masih setiap menemani Krakatau selama 24 tahun terakhir ini dengan musik Karawitan Sunda. Lain halnya Indra Lesmana, ia beroleh pengalaman saat menggarap Jegog Bali dalam konser Megalitikum Kuantum yang digelar Kompas tahun 2005 silam.
Trio ini juga mencatat sebuah terobosan yang jarang dilakukan kelompok jazz lain di Indonesia. Biasanya grup yang diundang main keluar negeri tak punya materi khusus yang direkam dalam bentuk CD. Indra Lesmana dan kawan-kawan merilis Kayon Tree of Life dalam edisi terbatas. Anda yang tertarik dapat membelinya di WartaJazz.com seharga Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
Inikah jazz Indonesia?
Sebaiknya kita memaknai pertanyaan ini bukan hasil akhir melainkan proses. Tepat 40 tahun silam, saat ayah Indra Lesmana, mendiang Jack Lemmers atau Jack Lesmana bersama Jopie Chen, Bubi Chen, Maryono dan Benny Mustafa berkolaborasi dengan Tony Scott dan merilis album bertitel Djanger Bali dibawah label SABA yang berisikan lagu-lagu seperti “Ilir-Ilir”, “Gambang Suling” dan “Djanger”. Mereka tergabung dalam kelompok Indonesian All Stars yang tampil di Berlin tahun 1967.
Upaya menggarap jazz yang berasa Indonesia dilakukan pula sejumlah kelompok lain seperti Bhaskara dengan Jali-jalinya, atau Karimata dengan Jezz-nya. Upaya itu harus dihargai sebagai proses.
Menaruh unsur bebunyian dari berbagai daerah di Nusantara dalam jazz bukan pekerjaan mudah. Sebab jika tak hati-hati yang terjadi adalah musik jazz dengan tempelan musik tradisional. Indra Lesmana paham benar mengenai hal tersebut. Sebuah upaya yang patut kita hargai.
Meski sesaat sebelum keberangkatan Indra sempat mengeluhkan tentang ditolaknya permohonan bebas fiskal mereka, lantaran dianggap tidak mewakili khasanah musik nusantara, akhirnya ia beroleh fasilitas tersebut, dalam detik-detik menjelang keberangkatannya ke Berlin, Minggu (09/9).
Anda mengaku penggemar berat jazz Indonesia?. Sudah selayaknya anda mendukung upaya Indra Lesmana dan kawan-kawan dengan membeli album mereka.