IT’S TIME – KONSER TOHPATI & STRING ENSEMBLE
Kamis, 29 Mei 2008 lalu, lapangan parkir Gedung Graha Bhakti Budaya (GBB) Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, sudah dipenuhi kendaraan sejak sore hari. Di depan pintu masuk utama, terpampang kertas bertuliskan: “Tohpati Concert”.
Tohpati, salah satu maestro gitar Indonesia, menggelar konser tunggal yang bertajuk “It’s Time”. Judul konser ini diambil dari judul albumnya yang ketiga, setelah “Tohpati” dan “Serampang Samba”. Pertunjukan kali ini menyuguhkan karya-karya Tohpati dari keseluruhan album dengan balutan aransemen yang kaya akan nuansa dan warna musik yang beragam.
Acara yang disponsori oleh PT Djarum Super dan didukung pula oleh WartaJazz.com ini menyuguhkan deretan musisi jazz ternama tanah air. Mereka adalah Aminoto Kosin (piano), Edwin Saladin (keyboard & synth), Sonyol (vibraphone & marimba), Iwan Wiradz (perkusi), Eugene Bounty (clarinet & saxophone), dan tentunya sang soulmate, rekan bermusik Tohpati sejak SMP hingga sekarang, Indro Hardjodikoro (bass). Diantara nama-nama tersebut, yang menarik adalah penampilan dari Yesaya Sumantri, atau yang akrab dipanggil Echa, drummer muda berbakat yang menggantikan Sandy Winarta. Empat hari sebelum konser, Echa, yang juga putra dari musisi senior Willy Sumantri, diberi kepercayaan oleh Tohpati untuk menggantikan Sandy Winarta yang berhalangan tampil. Tak pelak, penampilannya di konser malam itu tidak hanya melegakan, tetapi juga mampu memukau para penonton yang seringkali mengalamatkan teriakan dan tepuk tangan kepada drummer yang masih berusia belasan tahun ini.
Bagi anda yang tidak sempat menyaksikan secara langsung, POS Entertainment akan membuat dokumentasi konser tersebut dalam bentuk audio dan DVD. Jadi, tak perlu khawatir, anda akan tetap bisa menyaksikan “It’s Time” di ruang keluarga anda. Namun, tak ada salahnya kita membahas konser ini lebih jauh, bukan?
***
Sekitar jam 8 malam, tirai panggung dibuka dengan diiringi komposisi dari Gee Strings Ensemble. Komposisi bernuansa minor dengan sentuhan radikal nada-nada whole tone ini juga sekaligus mengantarkan Tohpati ke tengah panggung. Disana, Tohpati yang berbusana putih-putih berdiri ditemani sebuah kursi, dikelilingi amplifier dan koleksi gitar pribadinya. Selanjutnya, alunan harmoni Gee Strings Ensemble disambut lagu pertama, Country, yang diambil dari album pertama bertajuk “Tohpati”.
Selepas Country, penonton seperti tidak dibiarkan mengalihkan pandangan ketika Indro Hardjodikoro memulai verse lagu Barongsai dengan permainan bass-nya yang lembut dengan latar drum loop yang agresif. Lagu ini adalah salah satu karya di album kedua, “Serampang Samba”, yang dirilis tahun 2003. Di tengah lagu, alunan Gee Strings Ensemble dan lengkingan suara Iwan Wiradz cukup memberi kesan baru di lagu ini.
Setelah beramah-tamah dengan penonton, Tohpati melanjutkan perjalanannya dengan lagu Layang-Layang dari album pertama yang disambung dengan Serampang Samba dari album kedua. Kemudian, seisi gedung langsung dibuai dengan petikan gitar lagu Sendiri yang dimainkan sendiri oleh Tohpati dan diperkuat nuansanya oleh latar Gee Strings Ensemble.
Setelah itu, berturut-turut lagu It’s Time dan My Dream dari album ketiga dibawakan secara apik dengan tetap menampilkan warna dan progresi chord khas karya Tohpati. It’s Time, lagu yang juga menjadi judul konser malam itu, dibawakan Tohpati hanya dengan iringan perkusi Iwan Wiradz. Namun begitu, tetap menjadi ‘bahan tepuk tangan’ bagi penonton. Lagu berjudul My Dream, menyajikan eksplorasi musikal yang luas, diwarnai dengan nuansa arabic yang ‘gelap’ dengan perubahan tempo yang radikal, namun tetap mengedepankan harmoni dan kesinambungan lagu. Di akhir lagu My Dream, Echa menyambut dengan solo drum yang enerjik dan mampu mengundang tepukan riuh penonton. Tentang drummer yang satu ini, Tohpati sempat menyebut Echa sebagai dewa penolong bagi konsernya malam itu.
Selepas lima buah lagu instrumen, penonton disuguhi penampilan dari penyanyi pria pendatang baru, Sutha, yang mengeluarkan album perdananya di bawah bendera Sony BMG Music Entertainment. Sutha menyanyikan dua buah lagu, Jejak Langkah Yang Kau Tinggal dan Senandung Rindu.
Di sela-sela penampilan, Tohpati sempat bertutur tentang perlunya pengembangan minat dan peningkatan fasilitas untuk pertunjukan musik idealis semacam ini. “Yaaa … buat pendidikan maksudnya”, ujarnya, disambut teriakan dan tepukan riuh penonton. Lalu, Tohpati sempat mengkritik produk-produk musik Indonesia masa kini yang lebih mementingkan aspek komersial dan menomorduakan kualitas. Menurutnya, musik idealis juga harus mendapat perhatian dan difasilitasi oleh para pihak penyelenggara.
Selanjutnya, lagu Change yang bernuansa salsa memberi warna cerah tersendiri bagi keseluruhan lagu yang dimainkan. Diselingi solo perkusi dari Iwan Wiradz yang seringkali membingungkan penonton dengan permainan out-time-nya, lagu ini seperti menyuntikkan perasaan gembira pada penonton yang hadir malam itu.
Perjalanan dilanjutkan dengan solo bass Indro Hardjodikoro yang bisa dibilang berbeda dari solo bass biasanya. Dengan bass 6 senarnya, dia memainkan komposisi yang berorientasi chord, bukan hanya teknik seperti fingering atau slap yang sering digunakan pemain bass kebanyakan. Setelah itu, Dewata dan #1 berturut-turut menjadi suguhan yang berhasil menjaga perhatian penonton. Dewata, lagu yang kental dengan nuansa damai yang seolah-olah ingin mengajak penonton menengok keindahan pulau Bali. Sedangkan 1#, lagu yang diambil dari album pertama, yang juga pernah dibawakan Tohpati bersama saxophonist Eric Marienthal, menampilkan harmonisasi unisound gitar dan saxophone yang dibungkus dengan komposisi rhytm section yang sarat dengan nuansa groove. Ditambah lagi, lagu ini menyajikan sinkopasi yang terbilang rumit dan sulit dicerna.
Sebagai penutup konser, Gee Strings Ensemble kembali membawakan komposisi yang dibawakan di awal, yang ternyata adalah intro dari lagu Mahabarata, sebuah karya dari album “Serampang Samba”. Lagu ini dieksplorasi lebih dalam, baik dari segi bagan lagu; rhytm section; maupun nuansa yang ingin dibangun. Melalui lagu ini, kemampuan aransemen Tohpati benar-benar tercermin, ketika dia berhasil menggabungkan seluruh instrumen ke dalam suatu komposisi yang kompleks. Dari sekian versi Mahabarata yang pernah dibawakan, termasuk ketika konser Trisum bersama Dewa Budjana dan Balawan, mungkin versi ini termasuk yang paling rumit, terlebih dengan iringan orkestra yang tentunya membutuhkan pertimbangan harmoni yang lebih matang.
Setelah menyuguhkan Mahabarata, rupanya Tohpati tidak ingin meninggalkan penontonnya begitu saja. Dia kembali ke atas panggung bersama Indro Hardjodikoro dan Echa, memainkan lagu Gembala dalam format trio. Lagu ini dibawakan dengan tempo yang sangat cepat, dihiasi solo bass; gitar; dan drum yang juga mengandalkan teknik dengan kecepatan tinggi. Tak lama berselang, semua musisi pendukung kembali ke alat instrumennya masing-masing, menyudahi konser dengan lagu #1 yang mengantar penonton berdiri dengan tepuk tangan panjang terakhir malam itu.
Antusiasme penonton terhadap konser malam itu bisa dikatakan sangat tinggi, terbukti dari kapasitas 800 kursi gedung Graha Bhakti Budaya yang terisi hampir 100%. Para penonton senantiasa memberi dukungan dan apresiasi yang baik dengan tetap menjaga ketertiban selama konser berlangsung. Ya, di samping ini memang bukan konser lapangan terbuka yang potensial terhadap korban berdesak-desakan atau terinjak-injak seperti yang pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia beberapa waktu lalu. Bagaimanapun, secara moral kita semua pasti setuju bahwa konser musik seharusnya tidak menjadi agenda yang bisa memakan korban, jika diatur dan direncanakan dengan sebaik-baiknya.
Secara keseluruhan, konser yang berdurasi hampir 2 jam ini menampilkan sosok Tohpati yang lengkap. Bukan hanya sebagai gitaris, dia juga adalah seorang pencipta lagu dan komposer yang handal, sekaligus musisi yang peduli terhadap keberadaan dan perkembangan musik jazz di tanah air. Selama konser, lampu sorot yang tak pernah berhenti merekam sang maestro di tengah panggung seakan menjadi jembatan bagi para penonton untuk mengenal lebih dalam sosok seorang Tohpati.
Sebagai penutup, penulis berpendapat, konser ini adalah cara menjadikan uang 99 ribu rupiah menjadi pengalaman musikal yang tak ternilai. Bravo musik jazz Indonesia!!!
Kontributor: Ahmad Dhany Nugraha (20), Mahasiswa FISIP UI dan gitaris grup Diafragma