Hari Sabtu tanggal 28 Juni lalu, Lembaga Pendidikan Musik Farabi cabang Cempaka Mas Jakarta kedatangan tamu dari Amerika Serikat. Dia adalah George Hess, gitaris sekaligus komposer dan pengajar di berbagai lembaga musik di Asia dan Amerika. Dalam kesempatan ini, Hess memberikan klinik tentang musik jazz sekaligus metode tentang bagaimana cara menyederhanakannya.
Acara ini dibuat dengan suasana santai. Bertempat di salah satu ruang kelas, pengunjung yang berjumlah sekitar 50 orang duduk di lantai, menghadap stage kecil tempat George Hess berdiri. Disana, Hess sudah siap dengan papan tulis dan gitar Gibson-nya.
Pukul 3 sore, seperti yang telah dijadwalkan, Dwiki Darmawan membuka pidato singkat di depan murid-murid Farabi dari berbagai cabang di Jakarta. Tak lupa, dia mengajak pengunjung untuk bertanya dan menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari tamu mereka, yang tak lain adalah seorang musisi jazz bergelar doktor.
George Hess membuka sesi klinik dengan membawakan sebuah komposisi bersama gitaris jazz Indonesia, Agam Hamzah. Selanjutnya, Hess yang merupakan pengajar di Yong Siew Toh, Singapura, berbagi ilmu tentang teori-teori; kord; dan scale yang dikatakannya sebagai pelajaran dasar musik jazz. Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Hess menyampaikan materi yang diberi tema Keeping It Simple. Menurutnya, muatan-muatan jazz seringkali terlihat rumit. Padahal, semuanya bisa disederhanakan menjadi sesuatu yang lebih esensial dari sekedar aplikasi teori.
Dalam penjelasannya, Hess menekankan 4 scale yang dibutuhkan untuk menunjang permainan solo. Mereka adalah major blues, melodic minor, diminished, dan whole tone. Hess mengaku, sebagai gitaris, dia tidak pernah melatih banyak scale selain keempat scale ini. Menurutnya, keempat scale ini memiliki cakupan yang luas, cukup untuk memenuhi kebutuhan permainan solo. Selain itu, Hess juga memaparkan tentang unsur-unsur tonic; dominant; dan sub-dominant yang selalu ada pada setiap progresi korddalam setiap lagu jazz standar.
Setelah itu, klinik dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan jam session dengan dua orang volunteer dari pengunjung. Hess sempat memuji permainan kedua volunteer yang menurutnya memiliki kemampuan phrasing yang baik. Menjelang akhir sesi, George Hess berkolaborasi dengan Agam Hamzah (gitar akustik) dan Saat (seruling), membawakan komposisi bernuansa minor yang banyak mengeksplorasi suara seruling.
Bagi George Hess, klinik ini sangat menarik. Dia sangat senang ketika penonton yang sebagian besar ialah murid-murid Farabi terlihat antusias mendengarkan penjelasannya. Hess tidak hanya memaparkan musik jazz dari segi teknis, tetapi juga filosofis. Mengenai hal ini, dia mengaku banyak belajar tentang filosofi bermusik dari musisi jazz Johnny Smith. Hess menekankan, jangan pernah ingin menjadi orang lain dalam bermusik. Kembangkanlah kemampuan, ambil ilmu sebanyak-banyaknya dari orang lain, dan jadilah dirimu sendiri. “Just play your own licks”, katanya.
Secara umum, apa yang disampaikan Hess adalah hasil pengalaman bermusiknya selama kurang lebih 30 tahun bersama beberapa nama besar seperti Ryo Kawasaki, Jim Nabors, The Osmonds, David Liebman, Bob Berg, Adam Nussbaum, Randy Brecker, Frank Mantooth, Conrad Herwig, Rufus Reid, dan lain sebagainya. Selain itu, Michael Gibbs; John Damian; dan Bret Willmott adalah tiga orang yang berjasa ketika Hess menyelesaikan studinya di Berklee College of Music, sebelum dia mengambil studi doktoralnya tentang jazz pedagogy dan composition di University of Northern Colorado.
Saat dimintai pendapatnya tentang musisi Indonesia, Hess mengatakan, “They’re outstanding”. Dia mengomentari salah seorang pianis cilik asal Bandung yang menurutnya sangat luar biasa. “She is thirteen, and she … she incredible”, katanya. Hess juga menambahkan, yang terpenting selanjutnya ialah bagaimana para musisi jazz Indonesia bisa tampil sebanyak-banyaknya di depan publik untuk menarik minat dan apresiasi masyarakat terhadap musik jazz. Festival jazz berskala internasional adalah salah satu caranya.
Secara keseluruhan, klinik yang berdurasi sekitar 2,5 jam itu meninggalkan kesan bagi pengunjung yang sebagian besar adalah para musisi muda. Setelah klinik berakhir, banyak diantara pengunjung yang langsung meminta tanda tangan dan foto bersama. Selain itu, ada pula beberapa orang yang masih mendiskusikan materi-materi yang diajarkan Hess. Sepertinya klinik ini benar-benar menjadi sarana bagi pengunjung untuk mengembangkan kemampuan bermusik sekaligus memperkaya wawasan dan pengetahuan musik jazz secara umum.
George Hess, salah satu master jazz kelas dunia telah berhasil membuat lebih banyak orang mencintai musik jazz.
Bravo musik jazz Indonesia!!!
Kontributor: Ahmad Dhany Nugraha – Mahasiswa FISIP UI dan Gitaris grup Diafragma