CNJ99.9 FM: Tragedi Radio yang Tak Pernah Mati

oleh Benny Sofwan
Mantan General Manager CNJ 99,9 FM

“Wah, such a big lost!!”

Itu komentar nyelekit yang datang pasca menyebarnya kabar tentang bubarnya CNJ 99,9 FM. Tentu, ada ratusan respon lain yang merepresentasikan betapa pecinta CNJ se-Jabodetabek merasa kehilangan sesuatu yang ‘sempurna’: tayangan musik jazz dan klasik, non-stop 24 jam, tanpa iklan, nyaris tanpa penyiar!

Kini, saya sungguh-sungguh bisa merasakan kesedihan yang sama saat warga Jakarta kehilangan Radio Klasik sekitar satu dasawarsa silam. Tapi, paling tidak, bubarnya Radio Klasik hanya diikuti perasaan pilu hati. Beda dengan CNJ yang tidak hanya menyisakan sedih di hati, tapi juga—terus terang—sakit hati.

Wajar, kalau sangat banyak kalangan yang tidak percaya bahwa CNJ harus (bisa?) mati. Namun, bagi saya, ada sejumlah kekeliruan mendasar di balik anggapan semacam itu. Pertama, sesuatu baru bisa dikatakan “mati” kalau dia pernah “hidup”. Persoalannya, sebagai orang yang sudah kadung menjadikan radio sebagai nafas dan pancaindera saya, saya tidak berpikiran CNJ pernah benar-benar lahir. Memang, beberapa tahun silam, ada peluncuran radio ini di salah satu lokasi strategis di Jakarta. Tapi, waktu yang bercerita: sekarang saya mantap mengatakan bahwa hari peluncuran itu justru merupakan momen penanda surutnya jam pasir bernama CNJ yang tinggal menunggu waktu.

Tidak etis untuk cerita terbuka tentang apa yang terjadi di seputar waktu ‘kelahiran’ CNJ. Tapi siapapun pasti punya harapan saat menghadiri peluncuran sebuah radio siaran dengan format dan skala acara serta pilihan waktu seperti itu. Dan, mereka pasti terperanjat, disusul tak percaya, saat hadir di acara itu.

Kedua, ini lebih kompleks. Pilihan genre musik yang ‘berat’ sudah jelas menyasar kelompok pendengar A plus dengan apa yang disebut “ High end “. Bukan sesuatu yang aneh, karena serangkaian nama yang digembar-gemborkan sebagai pilar-pilar utama CNJ memang berasal dari kaum berada. Ada duit, ada mimpi, tapi—sorry to say—terlalu papa dalam urusan komitmen untuk berbisnis siaran dengan seprofesional-profesionalnya.

Yang terjadi dalam tragedi CNJ adalah mirip dengan hikayat kata “jazz” itu sendiri. Kata ini dimunculkan pertama kali oleh pemain baseball Portland Beavers, Ben Henderson, hampir seratus tahun silam. Seorang pemukul bola (pitcher) yang hebat akan berusaha melempar bola yang jazz. Tapi dari sisi penangkap bola (catcher), seperti kata Henderson, “Jazz ball .. wobbles and you simply can’t do anything with it.”

Begitu pula CNJ. Saat gagasan untuk merebut pangsa Radio Klasik mengemuka, dan setelah sekian nama tenar terkumpul sebagai pendukung CNJ, terbit imajinasi ambisius betapa gelombang radio ini nantinya seolah akan men-jam sinyal radio-radio lain.

Saya sepakat, musik adalah ‘sebatas’ persoalan cita rasa. Namun ketika musik ingin dikemas sebagai barang dagangan, dia menjadi ihwal bisnis. Pada titik ini, idealisme ber-jazz perlu diharmoniskan dengan fatsoen dan logika bisnis.

Dari perspektif penonton, pitcher dan catcher memang berseberangan. Kendati begitu, untuk memastikan agar penonton terpesona, pitcher dan catcher justru diharapkan dapat ber-‘interaksi’ menghasilkan pukulan maut yang disusul oleh tangkapan jitu. Begitu pula seharusnya yang dilakukan oleh CNJ jika memang serius ingin membisniskan musik jazz dan klasik.

Namun apa daya, realita CNJ adalah seperti kata Henderson tadi, jazz ball terlalu liar dan tidak ada yang bisa diikhtiarkan untuk mengatasinya. Itu terjadi karena pitcher pada dasarnya memang tidak ambil pusing pada sorak-sorai gembira penonton. Pitcher seolah hanya ingin meninggalkan lapangan dengan catcher yang tergeletak luka parah, titik. Celakanya, saya bersama tujuh orang staf yang beroperasi hari demi hari di studio CNJ adalah para catchers itu!

Dalam situasi yang dipenuhi kontras antara citra dan realita, apa yang paling susah untuk dilakukan? Mempertahankan kepercayaan diri, adalah jawabannya. Hebatnya, walau dibelit problem berlarut-larut, kedelapan ponggawa CNJ tadi masih sanggup mempertahankan keyakinan bahwa penyakit kronis CNJ ini adalah lika-liku bisnis yang ‘biasa’. Putar otak, cari akal, peras batin, pendengar berhasil ‘dikelabui’. Seakan tidak ada yang berubah pada CNJ. CNJ masih tetap bereputasi kelas tinggi: flamboyan bahkan borjuis di udara, dan tangguh perkasa di darat.

Tidak diketahui sedikit pun oleh khalayak umum bahwa ketujuh orang awak CNJ sudah mengalami penundaan pembayaran gaji berbulan-bulan. Bahkan, yang paling memalukan bagi para pelaku bisnis radio sejagad adalah ketika CNJ terpaksa beberapa kali berhenti siaran karena tunggakan listriknya telah membuat PLN murka.

Hingga Detik Terakhir

“I don’t know where the love has gone.
And in this troubled land, desperation keeps us strong”
(Spandau Ballet, 1988).

Pantang bagi dirijen CNJ untuk tutup telinga terhadap nada sumbang. Saat ada pihak yang sudah kehilangan antusiasme, sehingga permainannya keluar dari partitur, sang dirijen tetap harus berjuang agar simfoni kembali ke nada yang penuh harmoni. Konkretnya, sadar ada tumpukan kendala serius akibat ketidak-seriusan kalangan sendiri, mitra strategis harus dicari.

Permasalahan baru muncul. Sebagai dirijen, otoritas saya dikebiri. Fasilitas pun dibuat seminim mungkin. Itu semua membuat inisiatif-inisiatif yang akan dan yang telah dibangun menjadi tidak dapat dieksekusi. Kebiasaan untuk bekerja secara terencana, dirusak oleh pihak-pihak yang bergerak serba simtomatis. Langkah yang disusun sistematis pun dilumpuhkan oleh aksi serba reaksioner. Padahal, ini bisnis, Bung! Dan Bung-bung sekalian kan bukan pemain ingusan di dunia ini!

Perseteruan di lingkar atas CNJ kian memburuk. Yang terkena ampasnya adalah lapisan mulai dari general manager (Benny?) hingga staf. Yaitu kami yang menyebut diri sebagai “999 CNJ Djakarta Team”. Di situ ada saya, Iken, Kiky, Shandy, Indrawan, Ratna, Farhan, dan Sunny.

Puncaknya adalah ketika sebuah telepon tiba-tiba masuk. Disebut “tiba-tiba”, karena tanpa intro (baca: pemberitahuan) sama sekali dari Direksi. Intinya, serah terima dari CNJ ke pihak 99ers. Pindah tangan berarti pindah genre.

Hebat memang direksi CNJ ini , sampai tidak terpikir ada operator dilapangan alias karyawan , juga lupa CNJ juga punya pendengar bahkan “sangat loyal” , mereka lupa juga kalau sedang mengolah “ranah publik bukan taxi” yang bisa berganti supir seenaknya , lalu dimana penanggung jawab radio ini ? juga dimana KPI ?

Akhir Agustus 2008, CNJ tutup cerita. Tapi pastinya, jazz tidak pernah mati. Pecintanya juga abadi. Kita ketemu lagi, pasti!

*tulisan diatas tidak ada yang diedit oleh Redaksi, disajikan apa adanya sebagai bentuk apresiasi WartaJazz pada Radio yang mengusung jazz sebagai sajian mereka*

Exit mobile version