FestivalJak Jazz FestivalNews

Sang Puteri Akih

Memang sedikit agak aneh, mendengarkan beberapa koleksi tembang rakyat dari Maluku yang biasanya bernada riang, semangat, dan gembira. Namun kali ini saya mendapat pengalaman baru dalam menikmati beberapa lagu dari kawasan Ambon dengan menggunakan bahasa Haruku atau pun Indonesia ketika melihat penampilan kreatif Boi Akih di hari kedua Jak Jazz Festival 2008 (29/11).

boi-akih-jak-jazz-fest-2008
Penampilan Boi Akih di Jak Jazz Festival 2008

Nuansa yang ditimbulkan justru sebaliknya, kelam dan berat. Melodi lagu yang semula sudah akrab di telinga menjadi lebih sulit lagi dikenali. Tempo lagu menjadi lentur. Ditambah lagi, terkadang improvisasinya meluncur bebas seperti bola api. Namun sayup – sayup masih menyisakan melodi lagu ‘Naik – Naik Ke Puncak Gunung’ atau ‘Nona Hitam Manis’ yang sudah terasa meleleh tersebut.

Itulah penampilan Boi Akih yang didukung oleh Monica Akihary (vokal), Niels Brouwer (gitar), Ernst Glerum (bass), Victor de Boo (drum) dan Mike del Ferro (piano).

Monica sendiri mempunyai orang tua yang berasal dari Haruku, Ambon. Sebagaimana banyak komposisi jazz yang menggunakan berbagai bahasa di dunia ini, Monica akhirnya berpikir kalau mengapa tidak menggunakan bahasa ibunya sendiri? Setelah beberapa kali dicoba, ternyata bahasa Haruku bisa selaras dengan warna musik yang mereka tampilkan. Tentunya dengan bantuan dari ayah Monica juga akhirnya berhasil membuat aransemen beberapa komposisi dengan menggunakan lirik berbahasa Haruku. Tidak sampai di situ saja, penonton merespon penampilan mereka di panggung dengan pujian. Something different….

Malam kemarin komposisi yang ditampilkan sebagian besar diangkat dari sampul “Lagu – Lagu” (2005). Selain yang sudah disebut di atas, beberapa tembang yang dikeluarkan antara lain ‘Ole Sioh’ dan ‘La Apa – Apa’.  Kalau dibandingkan antara penampilannya di album dan panggung, sesuai seperti anggapan biasanya kalau musik jazz lebih nikmat dinikmati dan ekspresif ketika sedang tampil live. Improvisasinya juga terlihat lebih eksploratif. Tidak saja Monica yang berada di depan, namun semua musisi pendukungnya juga memperlihatkan kemampuannya yang hebat.

Setelah menutup pertunjukannya malam kemarin dengan encore yang salah satunya adalah tembang yang sangat akrab di telinga kita ‘Nina Bobo’, saya mulai sadar kalau ternyata potensi kesenian daerah dikembangkan dengan daya kreasi tinggi pasti akan menghasilkan sesuatu yang tidak terduga sebelumnya. Di sini, tradisi bisa menjadi sebuah kata kerja dan kalau meminjam moto dari rekan – rekan di Festival Kesenian Yogyakarta 2008, The Past Is New.

Ceto Mundiarso

Pencinta buku yang banyak menelisik filosofi. Pernah menghadiri Konferensi Ekonomi Kreatif di Inggris. Merupakan bagian penting pada riset di WartaJazz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker