The Dancing Survivor: Keith Jarrett
Sedikit agak dongkol barangkali, kalau beberapa tahun lalu terdengar berita bahwa Keith Jarrett merayakan penampilannya di Jepang untuk yang keseratus kalinya. Bagaimana tidak dongkol, kalau di Jepang saja sudah tampil seratus kali sedangkan Keith Jarrett belum pernah sekalipun menginjakan kakinya di panggung pertunjukannya di Indonesia. Mungkin ada pikiran apakah pecinta jazz di Indonesia belum layak untuk menikmati pelantun tembang cantik ‘My Song’ itu? Mungkin karena faktor ekonomi atau ketertiban penonton jazz di Indonesia belum meyakinkan. Mengingat pianis ini memang terkenal sangat sensitif terhadap perilaku penonton ketika sedang menyaksikan konsernya dan barangkali untuk mengundangnya membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga para promotor atau sponsor berpikir ulang kalau belum ada jaminan secara pasti akan ditonton oleh ribuan orang. Jadi, untuk kita yang di Indonesia dan tidak bisa berbuat banyak untuk melihat langsung konser Keith Jarrett di luar negeri, mohon untuk lebih bersabar lagi.
Tetapi bagaimana pun juga Keith Jarrett adalah pianis, komposer sekaligus figur penting dalam blantika musik jazz pasca 1970an. Salah satu buktinya adalah kalau baru – baru ini para pembaca majalah jazz terkemuka Downbeat memilihnya untuk duduk di kursi Hall of Fame, seperti yang diberitakan majalah Downbeat edisi Desember 2008. Bukti – bukti lain? Beberapa di antaranya adalah album “The Koln Concert”-nya yang selalu dikenang sepanjang masa, di tahun 2003 menerima penghargaan bergengsi Polar Music Prize. Atau dia adalah musisi yang masih konsisten dalam mempertahankan pendapatnya kalau “bermain musik elektronik tersebut tidak baik untuk kesehatan” dan kata Keith Jarrett sendiri, “Saya tidak suka kalau di panggung ada banyak kabel”. Belum lagi album – album jazz klasiknya seperti “Belonging”, puluhan album bersama formasi standard trionya yang mengagumkan dan segudang penghargaan lainnya.
Musisi kelahiran pada tanggal 8 Mei 1945 di Allentown, Pennsylvania Amerika Serikat ini ketika masih belia pernah dijuluki prodigy child (anak ajaib). Dalam usia tiga tahun Keith mulai menyentuh tut piano, mempelajari dan memainkan musik klasik dengan baik sekali. Di usia 6 tahun dia sudah berani tampil di depan publik untuk pertama kalinya. Anehnya, dia pernah menolak ketika ditawari untuk belajar secara private bersama pianis klasik terkenal Nadia Boulanger. Di tahun 1960 secara formal Keith belajar komposisi dan kemudian sempat masuk Berklee School of Music. Empat tahun kemudian, Keith pindah ke New York untuk bermain jazz.
Setelah beberapa saat tampil di klab jazz legendaris The Village Vanguard dan beberapa klab jazz lain di New York, meski dalam waktu yang singkat, Keith Jarrett masuk ke dalam rombongan tour Art Blakey And The Jazz Messengers (dalam sampul “Buttercorn Lady”).
Namanya semakin populer ketika dia menjadi pianis dalam quartetnya Charles Lloyd pada tahun 1966 sampai 1968. Kita dapat simak penampilannya dalam sembilan album milik Charles Lloyd yang beberapa pilihan di antaranya adalah “Dream Waever”, “Charles Lloyd In Europe” dan “Forest Flower”. Semuanya rekaman Atlantic Records. Dalam kesempatan tersebut Charles Lloyd (saxophone dan flute) dibantu oleh Keith Jarrett (piano), Ron McLure (bass) dan Jack DeJohnette (drum). Gaya musik yang ditampilkan banyak terpengaruh dari era free jazznya a la John Coltrane di mana jaman dan semangat free jazz masih tercium kental di kala itu.
Selain bersama Charles Lloyd, Keith mulai berinisiatif untuk membentuk kelompoknya sendiri bersama Charlie Haden (bass) dan Paul Motian (drum). Nama Charlie Haden sudah tidak asing lagi mengingat dia adalah salah satu personil dari saxophonis free jazz legendaris, Ornette Coleman. Sementara Paul Motian kiprahnya sudah dikenal sebagai tokoh modern jazz drumming sejak bergabung dengan pianis legendaris Bill Evans di akhir dekade 1950an. Formasi ini sempat menghasilkan tiga album. Salah satu album unggulan saya dalam formasi ini adalah “Life Between The Exit Sign” (Atlantic, 1967). Namun komposisi ‘My Back Pages’ karya Bob Dylan dari sampul “Somewhere Before” (Atlantic, 1968) juga menarik perhatian saya.
Formasi trio tersebut terus mengalami pematangan dengan menambahkan kursi untuk Dewey Redman (saxophone), ayah dari Joshua Redman, pada tahun 1971. Dewey Redman juga masih dari lingkungan Ornette Coleman. Formasi ini sering disebut – sebut sebagai American Quartet dan bersama formasi ini juga Jarrett dinilai sebagian kritikus jazz sebagai salah satu masa keemasannya. Formasi yang bertahan dari tahun 1971 – 1976 ini telah menghasilkan belasan album. Beberapa pilihan di antaranya adalah “Expectations” (Columbia, 1972), “Death And The Flower” (Impulse, 1974) dan “The Survivors Suite” (ECM, 1976). Bisa juga pilihannya tertuju kepada kemasan multi CD “The Impulse Years, 1973 – 1976” (Impulse). Dalam beberapa album, Jarrett juga mengundang musisi tamu yang bermain gitar atau perkusi. Warna group ini sendiri labih variatif, terkadang memainkan free jazz, post-bop, nuansa jazz rock namun menggunakan instrumen akustik dan tidak jarang menyajikan eksotisme musik etnis.
Kalau ada sebutan American Quartet, pasti ada pembanding lainnya, yaitu European Quartet (atau ada yang menyebut juga The Belonging). Formasinya dan formulasinya berbeda. Dalam hal ini Jarrett dibantu oleh Jan Garbarek (saxophone), Palle Danielsson (bass) dan Jon Christensen (drum) yang notabene mereka bertiga adalah orang Norwegia. Mereka aktif dari 1974 sampai 1979 dengan mengeluarkan 4 album dengan unggulannya adalah “Belonging” (ECM, 1974) dan “My Song” (ECM, 1978). Sisanya adalah rekaman konser mereka di Jepang dan Amerika Serikat. Warna musiknya sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan American Quartet. Musiknya cenderung lebih transparan, cair, melodius dan sense of Europe-nya lebih menonjol. Kita tunggu, apakah di kemudian hari akan ada Asian Quartet? Rasanya memang tidak mungkin.
Kembali ke era akhir dekade 1960an, suatu saat ketika sedang bermain bersama Aldo Romano dan J.F. Jenny-Clark di sebuah klab di Paris, Jarrett mendapat tawaran langsung dari mulut Miles Davis untuk bergabung dengannya. Belum ada keputusan untuk langsung mengiyakan. Tawaran Davis ini baru terealisasi pada tahun 1970 dalam konsernya di Fillmore yang terangkat dalam sampul “Miles Davis At Fillmore” (Columbia). Untuk beberapa saat, pada waktu yang tepat juga , Jarrett begabung dengan Miles Davis (1970 – 1971), di mana waktu itu jazz rock / fusion terasa masih fresh from the oven. Ada beberapa momen manis tertangkap ketika Jarrett tampil sebagai anggota band dari Miles Davis. Salah satunya adalah dalam album “Live Evil” (Columbia, 1970) atau potret yang lebih luas dan ekspresif lagi terdokumentasi dalam sampul box set “The Cellar Door Sessions 1970” (Columbia, 2005).
Untuk pertama kalinya dan sekaligus terakhir kalinya, Keith Jarrett menggunakan peralatan elektronik. Dalam hal ini adalah piano electric. Kalau bukan seorang Miles Davis yang memintanya untuk bermain instrumen tersebut, mungkin Jarrett sudah jauh – jauh hari menolaknya. Ya, memang Jarrett seperti bersikap ambigu, di mana Jarrett tidak tertarik untuk lebih lama lagi bermain fusion dalam arti memainkan instrumen musik elektronis. Dia beranggapan bahwa keterlibatannya bersama Miles Davis adalah sementara dan dia melihat bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukannya dengan instrumen piano elektronis tersebut. Bahkan secara ekstrem dia pernah menyatakan “perang suci” terhadap musik elektronis. Dalam sebuah tulisan, Jarrett menyatakan, “Anda mempunyai tanggungjawab untuk terus memperjuangkan kualitas kasih sayang yang kuat terhadap apa yang anda lakukan, termasuk di jaman komputer sekarang ini”.
Seperti mendapat angin segar, ketika sedang sibuk bermain di tengah – tengah peralatan elektronis bersama Miles Davis, Jarrett mendapat tawaran menarik dari seorang produser dari Jerman, Manfred Eicher, sang komandan label karismatik dan legendaris ECM. Dengan standard suara rekaman yang bagus dari label tersebut, kehendak Jarrett untuk bermain solo piano dapat terwujud. Maka jadilah album solo piano pertamanya “Facing You” (ECM, 1971). Album ini mendapat tanggapan yang luas. Di tengah gencarnya jazz rock dia seolah menentang arus dengan mengibarkan semangat revivalis untuk tetap bermain musik akustik.
Dengan melakukan konser piano solo, Jarrett merasa bahwa hal tersebut mampu menyuntikan semangat dan kekuatan dari musik akustik. Nafas dan atmosfirnya dapat dirasakan langsung oleh yang mendengarkannya. Bagaimana dia melakukannya? “Tidak tahu saya”, begitu jawabnya. Bisa jadi antara intelektual dan perasaan bisa bekerja sama dan membiarkannya mengalir ke mana pun tujuannya. Baginya, improvisasi terbaik adalah ketika tidak mempunyai ide, namun musisi mengerti ke mana tujuannya. Kadangkala ada suatu proses tertentu dalam spontanitas yang tidak disadari dan akhirnya malah mempengaruhi hasilnya. Konser solo bagaikan dunia lain di mana di dalamnya ada aturan yang tidak kita buat sendiri.
Ada puluhan album solo pianonya sampai saat ini. Terakhir adalah rekaman konsernya di Carnegie Hall, New York, yang terdokumentasikan dengan apik dalam “The Carnegie Hall Concert” (ECM, 2006). Tetapi yang jelas para pecinta jazz akan selalu mengenang keindahan dan kemegahan album abadi “The Koln Concert” (ECM, 1975). Pilihan saya setelah itu barangkali jatuh kepada “Solo Concerts: Bremen and Lausanne” (ECM, 1974), “Vienna Concert” (ECM, 1991), “La Scala” (ECM, 1995) atau “Radiance” (ECM, 2005).
Dalam 25 tahun terakhir ini Jarrett juga disibukkan dengan formasi Trionya. Sebagian mereka menampilkan dan interpretasikan kembali koleksi – koleksi standard jazz dengan segar. Dalam formasi The Standard Trio, begitu sering disebut, Jarrett dibantu oleh Gary Peacock(bass) dan sahabat setianya, Jack DeJohnette (drum). 18 album telah dihasilkan dengan formasi ini. Sebenarnya formasi ini pertama kali muncul dalam sampul “Tales of Another” (ECM, 1978) milik Gary Peacock. Sehingga ketika mereka bertemu kembali pada tahun 1983, sudah ada hubungan interaksi yang baik.
Sebenarnya cukup sulit bagi saya untuk memilih mana yang terbaik. Karena masing – masing album mempunyai kualitas yang hampir sama. Namun kalau memang benar – benar harus memilih, saya pilih album “At The Blue Note” (ECM, 1995). Paket yang terdiri dari 6 CD tersebut merupakan rekaman konser mereka selama tiga hari di klab jazz terkemuka, Blue Note. Disamping dari sisi proses rekamannya cukup menantang dalam hal menjaga kualitas seperti standar yang diingkan Jarrett dan ECM sendiri, album ini merupakan representatif atas pencapaian musikal dari trio ini secara optimal. Namun juga sangat disayangkan kalau mengabaikan “Standard Vol. 1 & 2”, (ECM, 1983), “Changeless” (ECM, 1987), “The Cure” (ECM, 1990), “Whisper Not: Live In Paris 1999” (ECM, 1999) dan “My Foolish Heart: Live At Montreux” (ECM, 2007). Ada satu catatan, untuk album “At The Deer Head Inn” (ECM, 1992), posisi Johnette digantikan dengan teman lama juga yaitu Paul Motian. Mungkin kita bisa membandingkan antara mereka berdua.
Sejak kecil Jarrett memang sudah bermain dan mengenal lebih jauh tentang musik klasik, meskipun pertama kali membuat album tetap bermain musik jazz. Dia tetap ingin memisahkan antara bermain musik klasik dan musik jazz. Improvisasi hadir ketika memainkan musik jazz. Sebaliknya ketika bermain musik klasik dia sama sekali tidak berimprovisasi. “Bagaikan hidup di dua dunia”, kata Jarrett. Pada tahun 2004, Jarrett pernah menerima penghargaan Léonie Sonning Music Prize, sebuah penghargaan prestisius untuk para musisi klasik.
Beberapa komposer musik klasik sempat menjadi perhatian Jarrett. Beberapa di antaranya adalah Johann Sebastian Bach, Georg Friedrich Händel, Dmitri Shostakovich dan Wolfgang Amadeus Mozart. Hal tersebut tercermin dalam sedikitnya sebelas sampulnya yang direkam oleh ECM New Series. Beberapa di antaranya adalah “Johann Sebastian Bach, Goldberg Variations (1989)”, “Dmitri Shostakovich, 24 Preludes and Fugues (1991)”, “Georg Friedrich Händel, Six Sonatas for Recorder and Harpsichord (1990)” dan “Wolfgang Amadeus Mozart, Piano Concertos, Masonic Funeral Music and Symphony in G Minor (1994)”.
Dalam beberapa kesempatan lain, Jarrett seolah ingin mencari posisi di antara keduanya, musik klasik dan improvisasi. Beberapa karyanya ini berkecenderungan menjadi sebuah komposisi musik modern. Kita dapat menyimak beberapa albumnya seperti “Luminessence” (ECM, 1974) and “Arbour Zena” (ECM, 1975), “The Celestial Hawk” (ECM, 1980) atau “Bridge of Light” (ECM, 1993).
Di samping bermain piano, ternyata Jarrett cukup lihai dalam memainkan instrumen lain. Dalam beberapa album kita bisa mendapati Jarrett bermain harpsichord, clavichord, organ, sopran saxophone, drums, berbagai macam perkusi dan beberapa instrumen eksotis lainnya. Kalau saya sendiri cukup senang menikmati album “Spirits”, (ECM, 1986). Dalam album tersebut Jarrett bermain berbagai macam alat tiup terutama yang masuk dalam keluarga wind wood. Atau tiupan sopran saxophone-nya dalam beberapa album dari formasi American Quartet.
Rasanya tidak adil kalau kita hanya menyebut berbagai keberhasilannya tanpa menyinggung kalau ada “suara – suara miring” tentangnya. Beberapa di antaranya adalah berbagai pernyataannya yang kontroversial. Termasuk ketika dia mengumpat kota Perugia Italy (tempat penyelenggaraan Umbria Jazz Festival) di depan publik pada tahun 2007 lalu. Hal ini terjadi gara – gara Jarrett melihat seseorang di antara penonton memotret dengan lampu merah auto focusnya (ini saja flash sudah dinonaktikan). Sebagai hasilnya, penyelenggara festival tersebut berjanji tidak akan pernah lagi mengundang Jarrett tampil di festival tersebut. Selain itu, Jarrett juga dikenal sebagai orang yang super sensitif terhadap perilaku penonton. Dia sering memperingatkan bagi penonton yang sedang batuk, dimohon untuk menjaga jarak dengan panggung. Ancamannya, dia akan langsung menghentikan konsernya jika peringatan tersebut diabaikan. Beberapa kali memang pernah terjadi. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau ada penonton yang malah ngrumpi di depan panggung, seperti yang kadang terjadi di Indonesia.
Di samping itu, suara erangan, dengungan, senandung spontan dari mulut Jarrett sering terdengar cukup keras. Bagi sebagian orang hal ini mengganggu. Meski hal ini juga sering terjadi dalam penampilan musisi – musisi jazz lainnya. Kemudian spontanitas gerak fisik tubuh Jarrett ketika konser, seperti kaki menghantam – hantam lantai dan bahkan seperti orang sedang menari, juga membuat orang lain merasa terganggu. Hal tersebut sering terlihat dalam konsernya baik ketika tampil bersama trionya maupun solo piano. Namun bagi saya kadang justru mendukung ekspresi improvisasi Jarrett secara audio-visual. Dan untuk para fotographer tentu menjadi obyek yang menarik. Saat ini ada banyak koleksi resmi DVD konser Keith Jarrett yang beredar di pasaran. Belum lagi yang ada di youtube. Mungkin kita bisa bersama – sama menikmati konsernya.
Kadang saya juga berpkir, selama 29 tahun terakhir ini, mengapa dia hanya bertahan dengan dua alternatif saja; antara solo piano atau bersama trionya. Energi kreasi ketika dia dalam dekade 1970an sepertinya sudah terkuras habis. Di mana kala itu eksplorasi musikal Jarrett bisa dibilang luar biasa. Kandang membayangkan kalau dia membentuk formasi baru dan menampilkan sajian baru lagi yang belum terduga sebelumnya. Anehnya, saya juga masih tetap setia mengoleksi album – album barunya. Termasuk menunggu album solo yang rencananya baru akan dikeluarkan bulan Januari 2009 mendatang dengan judul “Yesterday”. Tetapi yang jelas di sekitar tahun 1995an, Jarrett sempat menderita chronic fatigue syndrome. Sebuah penyakit yang membuat orang merasa cepat sangat kelelahan, meski hanya melakukan hal – hal yang ringan saja dan hampir saja Jarrett kehilangan kesempatan lagi dalam karier musik karenanya. Sampai sekarang dia juga masih dalam masa terapi. Terapi termanisnya ada dan terekam dalam “Melody At Night, With You” (ECM, 1998).
GOOD REVIEW 🙂
Om Ceto, boleh disebarluaskan yak… KJ Keith Jarret – Keren Juga = Keren Jack..
kalo kata om KJ : “We really never know what we’re gonna play when we get on stage.”
Salam Jazz,
Jeane
kereeeeeeeeeeeeeeeennn!!
kalo nyari CD-nya keith dimana ya mas?