Tribute to Ismail Marzuki : Karya Bang Maing berdaur di tangan Tohpati Big Band
Karya Bang Maing kembali berdaur di tangan Tohpati Big Band. “A Tribute to Ismail Marzuki” menyisipkan fragmen musikal sekaligus dosis sehat narasi sejarah. Di balik syair yang kuat, nilai keabadian hadir pula lewat untai melodi dalam pengaruh musik-musik moderen.
Ismail Marzuki Songbook
Tak terhitung berapa banyak rekaman yang mengangkat Gershwin Songbook dari mulai album khusus Ella Fitzgerald; kompilasi various artists Sting, Elvis Costello, dll.; adaptasi Miles Davis di “Porgy and Bess”; dan daftarnya akan terus bertambah. Bukan sekedar tribute, Amerika memberikan tempat di garis sejarahnya untuk komposer ini. Umumnya karya Gershwin (wafat 1937) menjadi jazz standard yang otomatis berdaur terus dari satu penampilan ke lainnya.
Jika Indonesia memiliki Ismail Marzuki (11 Mei 1914 – 25 Mei 1958), maka sangat pantas kalau karya-karyanya hidup terus lewat aneka interpretasi. Suatu jazz standard selalu beroleh nyawa baru di tangan pemain yang berbeda, begitulah cara ia berdaur hidup. Di jazz, Ismail Marzuki (yang juga dipanggil Bang Maing) banyak mencuri perhatian musisi Indonesia. Pianis muda Nial Djuliarso merekam “Juwita Malam” dan membawakan karya lainnya saat live. Didiek SSS & Ireng Maulana terlibat untuk double-CD Kris Biantoro yang juga bertema tribute. Kilasan daur lainnya adalah saat karya-karya tersebut dibawakan pada acara jazz bertema patriotik. Misalnya, interpretasi jam band “Selamat Datang Pahlawan Muda” oleh Tomorrow People Ensemble, yaitu saat 17-an dirayakan secara jazz di Bandung bersama Imam Pras, Idang Rasjidi, Benny Likumahua, dan Margie Segers. Di tahun 2006 tersebut pula trio Bintang Indrianto ikut mendaur “Halo-halo Bandung” karya Bang Maing dalam perayaan kemerdekaan di GKJ.
Kali ini (23/01) karya Bang Maing kembali berdaur di tangan Tohpati Big Band. Dengan Kris Biantoro bertindak sebagai penasehat artistik, “A Tribute to Ismail Marzuki” menyisipkan fragmen musikal sekaligus dosis sehat narasi sejarah. Di balik syair yang kuat, nilai keabadian hadir pula lewat untai melodi dalam pengaruh musik-musik moderen. Sebagaimana dunia mengadopsi samba, tango, dll., Ismail mendengarkan pula gaya-gaya tersebut, bermain dixieland, hawaiian, ataupun keroncong. Agaknya, apresiasi ini cukup mewah. Maka, jika kemudian “Juwita Malam” dibuka dengan kord dominan serentak ditiup kuat seksi brass; ataupun berlanjut dalam ayun blues 12-bar; interpretasi begini tidaklah mengejutkan. Yang bikin bertanya-tanya adalah bagaimana Ismail mencipta komposisi dengan major-minor shift seperti itu di masa lalu Indonesia. Gitaris Baim yang ada di jaman rock pun fasih masuk ke lagu masa lalu itu lengkap dengan solo country blues layaknya B.B. King memetik blues pada Lucille hitam-nya.
Konser di Usmar Ismail ini menampilkan arransemen swing umumnya big band. Di awal ada Andien pada “Pilih Menantu”. Kesan yang muncul adalah eksekusi glamor ala Elfa Secioria, riuh seolah mengiringi diva teater Broadway. Alur dikendurkan lewat “Aryati” yang dibawakan Kris Biantoro dalam bossa ringan berlatar ensambel muted trumpet. Sepanjang penampilan, solois Devian (alto), Eugene (alto), dan Septa (tenor & flute) berkesempatan berdiri dari bandstand untuk mengambil porsi improvisasi. Loop drum elektronik jadi aksesoris beberapa nomer. Beberapa lagu mendapat polesan pop, seperti “Selamat Datang Pahlawan Muda” (dinyanyikan Farah Di). Yang agak usil mungkin instrumental “Halo-halo Bandung” plesetan Soul Chicken big band Jaco yang funky seperti asli kampungnya James Brown. Sayangnya, jadi agak lupa ini lagu apa sampai datang melodi bait “… mari Bung rebut kembali…”.
***
Kris Biantoro banyak menceritakan sejarah dan latar di balik karya-karya Ismail Marzuki malam itu. Soal ketentaraan dan lagu-lagu Ismail misalnya, banyak hal yang sekarang bisa berbeda dipahami karena dahulu memang masa kemempelaian tentara dengan rakyat, sehingga tidak ada tudingan semacam istilah “militeristik”. Seringkali konteks perjuangan dalam lagu-lagu tersebut muncul subtil lewat kisah percintaan atau pemupuk semangat yang liriknya sendiri tidak menyuratkan kalimat-kalimat patriotik. Dan memang, Ismail pun tetap mencipta setelah era kemerdekaan dalam khazanah lain. Maka, lenggok gadis yang mencuri perhatian (ketika berjalan dengan payung kayu buatan Tasik untuk berlindung dari terik) pun dituturkan Ismail dengan mengalir lewat “Payung Pantasi”. Khusus lagu ini, Kris mengoreksi beberapa kesalahan sering terjadi, yaitu Pantasi adalah dengan huruf “P”, dan baitnya adalah menyapa ala kelasi Amerika “…Aye Aye Siapa Dia… “ bukan dengan “Hey” ataupun “Hai”. Beberapa fakta soal karya Ismail juga ditampik Kris sebagai tidak benar. Tampaknya tugas tribute to Ismail Marzuki dalam porsi sejarah Indonesia memang masih panjang.