Java Jazz FestivalNews

Dewa Budjana: Sajian Gitar Instrumental Bernuansa Indonesia

jjf0901-aw-0336Alunan suling mengawali komposisi “Dedariku”. Alat tiup tradisi yang dimainkan Saat dalam durasi yang cukup panjang itu membangun suasana komposisi yang ditulis Dewa Budjana di album Gitarku (2000). Lagu initerinspirasi dari tarian sakral Sang Hyang Dedari, sebuah tarian yang sangat indah dan biasanya dibawakan oleh para gadis belum akil balig. “Dedariku” adalah repertoir ketiga yang Budjana mainkan di hari pertama Java Jazz Festival 2009 lalu.

Budjana membuka pertunjukannya dengan “Temple Island”. Komposisi yang diangkat dari album keempat Budjana, Home (2005), itu dibuka dengan permainan sequncer Irsa Destiwi. Kemudian unice tabuhan drums Sandy Winarta dan kendang Jalu Pratidina membuka lagu selanjutnya. Intro “Malacca bay” mereka mainkan dalam tempo 5/8 itu juga diangkat dari album Home yang ditulis dengan memasukkan melodi dan tunes upbeat Melayu.

Setelah akhir “Dedariku”, Budjana mengambil jeda untuk memperkenalkan personil grupnya. “Akhirnya saya bisa main di Java Jazz dengan format seperti ini. Sebelumnya, biasanya saya tampil dengan Trisum (bersama) Balawan, Tohpati dan Hendri Lamiri. kali ini saya tampil dengan format sendiri. Malam ini saya akan bawakan dari album-album saya, dari empat album solo saya.” jelas Budjana tentang kali pertama penampilannya di festival itu sembari mengganti gitar akustiknya.

Lagu berikutnya adalah “Dancing Tears” yang kembali diangkat dari album Home. Lagu yang juga ditulis untuk mengenang peristiwa Tsunami Aceh Desember 2004 ini dibuka dengan permainan solo piano Irsa. Lantunan voice Saat mempertebal nuansa eksotis lagu itu. Irsa di lagu ini mendapat porsi solo yang cukup banyak. Dan ia membuktikan bahwa isiannya memberikan energi yang berbeda untuk lagu itu.

“KromatikLagi” dimulai dengan permainan solo Sandy Winarta. Improvisasinya pada lagu yang Budjana tulis sekitar tahun 1993 ini cukup mendapat sambutan penonton. “Waktu itu saya sedang tergila-gila dengan Charlie Parker dan sangat terpengaruh lagu-lagu bebop. Ide nada kromatiknya muncul karena sedang sering latihan tangga nada kromatik, pergantian birama 6/8 (intro/solo), 4/4, dan 3/4 (verse dan chorus/swing)” tulis Budjana di bukunya “Gitarku: Hidupku Kekasihku”. Di lagu ini, selain dengan ketat mengawal ritme, Adi Dharmawan unjuk kebolehan bernyanyi di nada rendah dengan instrumen bassnya. Setelah Adi, Irsa kembali mendapat kesempatan solo dilanjutkan Jalu yang dilepas sendiri memainkan kendangnya sampai part kembali ke tema untuk menutup lagu.

Budjana menutup pertunjukkan malam itu dengan memainkan “On The Way Home” yang hampir dibuat medley dengan “Kromatiklagi”. Lagu yang lagi-lagi dari album Home itu dihiasi permainan sequencer (malam itu Budjana ternyata tidak memainkan lagu dari album Samsara). Lagu ini mewakili kerinduan Budjana untuk kembali ke “rumah”, seperti yang ia tulis di sampul albumnya, “…No matter how far life takes us, we always want to go home.” Ya, sajian Budjana tadi sepertinya merupakan salah satu bentuk inspirasinya untuk kembali ke “rumah”. Dengan instrumen utamanya, gitar, Budjana menyajikan komposisi-komposisi yang bernuansa Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker