News

Sacred Bridge adakan Workshop & Klinik Gaung di Bedugul National Park Bali

Banyak tantangan yang muncul dalam empat dekade terakhir. Music disatu sisi merupakan kekuatan budaya yang dengannya siapapun, dimanapun lebih sadar tentang kreativitas dan kekayaan yang dimilikinya. Namun disisi yang lain kita juga menyaksikan batasan antar genre menjadi kabur. Tantangan sebenarnya kini adalah sementara kolaborasi musikal antara musisi dari berbagai belahan dunia terjadi hampir setiap hari, bagaimana kita mengembangkan arena musik global yang menjawab tantangan tersebut.

sacred-rehearsal

Etnomusikolog Franki Raden saat ditemui di kantor Sacred Bridge minggu lalu menyatakan bahwa pertanyaan tersebut diatas menjadi dasar diadakannya Gaung 21 Century Global Music Education yang diselenggarakan mulai tanggal 24 April hingga 3 Mei 2009 mendatang di Taman Nasional Bedugul, Bali.

Indonesia menurutnya, sudah seharusnya menjadi kontributor terbesar untuk menjawab berbagai tantangan yang sudah disebutkan diatas. Bahkan dengan keunikan yang dimiliki Indonesia, maka saatnya musisi dari negeri ini datang dengan karya orisinal namun mendunia. Namun Franki buru-buru menambahkan, “Namun itu tidak mungkin dilakukan hanya segelintir orang. Kita perlu berkolaborasi dengan banyak orang yang memiliki kepedulian yang sama tentang reformasi dibidang musik”.

***

Sejumlah pembicara kelas dunia didatangkan untuk memberikan pandangan, ilmu maupun berbagi pengalaman mereka dengan para peserta yang jumlahnya memang dibatasi pada tahun ini. Beberapa ahli yang didatangkan oleh Sacred Bridge antara lain;

Stomu Yamash’ta (Jepang) – yang pernah melakukan berbagai eksperimen dengan bermacam genre, mulai dari rock, jazz, avant-garde experimental dan world music. Tahun 1970-an, ia mendirikan super group bernama “Go” di Europa yang anggotanya antara lain Al Di Meola, Klaus Schultz, Michel Reeve dan Steve Winwood. Stomu akan berbicara tentang perpaduan musik yang termasuk didalamnya soal spiritual, scientific dan technological foundations of music.Sepanjang karirnya ia juga menciptakan alat musik dari batu, stone-chime orchestra yang diberi nama Sanukit. Sejak saat itu ia mengabdikan dirinya untuk mengamalkan Zen Buddhism.

Komposer Jean Claude Eloy (Perancis) akan berbicara tentang kemungkinan arah musik untuk abad 21 dalam konteks pertemuan Timur-Barat. Di era 70-an Eloy turut menemukan sebuah studio musik elektronik bernama Xemamu. Banyak dari karyanya terinspirasi dari filosofi Asia dan budayanya, dan karya orchestranya telah dimainkan secara rutin di Eropa dan belahan bumi lainnya.

Yoshio Yamasaki (Jepang) akan berbicara tentang perkembangan musik dan teknologi, termasuk prediksi musik dimasa datang. Yamasaki dikenal sebagai penemu 16 dan 1 bit digital portable recorder. Professor dibidang fisika pada Global Information and Technology Institute di Waseda University Jepang ini aktif dalam berbagai riset mengenai musik dan akustik.

Sejumlah pembicara lain yang akan hadir diantaranya Marzuki Hasan (Master Sufi-Aceh), Dr. Quraish Shihab (Jakarta), Puang Matoa (Sulawesi Selatan), Greg Schiemer (Australia), pemain bass jazz Christy Smith (Amerika Serikat), Yamada Sosho (Zen Master-Jepang).

Sedangkan diantara para peserta termasuk pula komposer dan musisi yang ambil bagian dalam program ini antara lain Irwansyah Harahap (Etnomusikolog, Komposer – Founder Suarasama – Medan), Rithaony Hutajulu (Etnomusikolog, vocalist Suarasama), I Wayan Sadra (Komposer, Multiinstrumentalis), I Nyoman Astita (Komposter), Koko Harsoe (Gitaris Jazz), Erik Sondhy (Pianis Jazz) dan lain-lain.

***

Akhir dari kegiatan ini adalah pertunjukan yang rencananya mengambil setting di Tanah Lot, Tabanan Bali. Apakah kegiatan ini akan menjawab langsung semua pertanyaan yang ada? Dan apakah mereka yang terlibat dapat langsung mengimplementasikan semua hal yang dibicarakan?. Franki membungkus percakapan dengan mengatakan, “Saat ini orang yang memanfaatkan kekayaan Indonesia justru bukan orang Indonesia. Ini karena kita tidak pernah melihat diri kita dalam perspektif luar, sehingga kita tak pernah tau posisi kita sendiri. Tak ada yang bisa memprediksi hasil akhir dari kegiatan ini. Namun paling tidak mereka yang mengikuti kegiatan ini akan mendapatkan perspektif baru dalam memainkan musik bahkan mungkin menemukan instrumen baru”.

Agus Setiawan Basuni

Pernah meliput Montreux Jazz Festival, North Sea Jazz Festival, Vancouver Jazz Festival, Chicago Blues Festival, Mosaic Music Festival Singapura, Hua Hin Jazz Festival Thailand, dan banyak festival lain diberbagai belahan dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker