Udara kota Amsterdam sangat sejuk. Suhu sekitar 17 derajat celcius meski sedikit mendung bergelayut di awan saat penulis memasuki tempat parkir yang terletak disebelah kiri gedung Ahoy, tempat diselenggarakannya North Sea Jazz Festival yang tahun ini memasuki usia ke-34 tahun.
Penulis yang datang bersama rombongan team produksi Java Jazz Festival dan chairmannya Peter F. Gontha serta Daniel Rembeth, CEO Jakarta Post langsung menuju pintu depan yang saat itu mulai ramai dipadati pengunjung. Jam tangan menunjuk angka 16.30, stage Harlem – satu-satunya stage gratis yang berada diluar gedung Ahoy seolah menyambut para pelancong jazz – sebutan saya untuk mereka yang memang khusus datang ke Amsterdam untuk menonton festival selama tiga hari ini.
Sambil menunggu rombongan lain yang menggunakan Metro dari Schouwburg Plein – sehabis ditraktir makan chinese food oleh Peter Gontha di Grand Palace Restaurant – penulis menikmati Rare Groove Orchestra yang terdiri dari Luca Giordano (guitar); Rob Geboers (Hammond B3 organ); Ivar Zantinge (bass); dan Dick de Zwart (drums). Kelompok ini meramu funk, jazz dan hip-hop. Cukup menghangatkan suasana lantaran angin berhembus dan terasa cukup menusuk tulang, tak heran rata-rata pengunjung membawa pakaian tambahan sejenis jaket atau sweater, bahkan ada pula yang menambahkan syal atau selempang.
Setelah memegang tiket masuk 3-Dagenkaart atau 3 Days-pass senilai 189Euro atau setara 2.7 juta rupiah, penulis langsung bergegas masuk melewati pintu masuk yang telah dijaga petugas lengkap dengan scanner pembaca barcode pada ticket yang langsung terupdate kedalam database. Ya, panitia tidak merobek tiket masuk, melainkan cukup mengarahkan pemindai otomatis pada lembaran ticket. Sesekali pengunjung yang terlihat membawa tas cukup besar dicek untuk alasan keamanan. Anda yang sudah masuk dan berniat untuk keluar, jangan berharap bisa masuk kembali, karena tiket hanya berlaku sekali alias anda harus membeli tiket lagi jika ingin kembali masuk arena festival.
Sejenak setelah melewat pemeriksaan, penulis lantas membuka peta lokasi Ahoy. Maklum, sejak 2006 North Sea Jazz Festival memang pindah dari CongressGebouw di kota Den Haag. Jadi harus mempelajari dimana kira-kira stage yang menarik untuk disatroni.
Pilihan pertama jatuh pada stage Hudson, tempat Vanguard Jazz Orchestra (VJO) tampil pertama pada pukul 17.45. Tentu bukan sebuah kesempatan yang disiasiakan, mengingat nama besar Vanguard – yang mengingatkan penulis pada New York, the mecca of jazz. Disana, selama bertahun-tahun setiap senin, Thad Jones dan Mel Lewis menjalankan program bersama orchestra ini.
Sayang VJO tampil minus Dick Oatts (alto sax, soprano sax, flute), meskipun tetap memukau. Mereka mengetengahkan karya-karya Thad Jones, Bob Brookmeyer, Jerry Dodgion dan komposer Jim McNeely.
Para pendukung VJO di NSJF09 tahun ini adalah Nick Marchione, Frank David Greene, Terell Stafford, Scott Wendholt (trumpet); John Mosca, Luis Bonilla, Jason Jackson (trombone); Douglas Purviance (bass trombone); Billy Drewes (alto sax, soprano sax, flute, clarinet); Rich Perry (tenor sax, flute); Ralph LaLama (tenor sax, flute, clarinet); Gary Smulyan (baritone sax); Michael Weiss (piano); Phil Palombi, David Wong (double bass); John Riley (drums). Pertunjukan persis selesai pada pukul tujuh malam.
Saya lantas berpindah ke stage Darling, tempat John Zorn (JZ) bersama The Dreamers tampil perdana dihari pertama. JZ merupakan artis in residence NSJF09. Lazimnya, ia bertugas mengatur banyak hal secara artistik selain tentu saja manggung berkali-kali dalam formasi yang berbeda-beda. Munculnya JZ merupakan kejutan yang ingin diberikan NSJF. Hal ini ditegaskan oleh Jan Willem Luyken, festival director North Sea Jazz Festival. “Anda mungkin belum mengenal John Zorn, tapi saya berani pastikan anda akan terkejut dengan penampilannya”. Sayang peraturan panitia menyebut bahwa pertunjukan hari pertama JZ tidak boleh diabadikan menggunakan kamera, so saya harus bersabar menunggu hari kedua atau ketiga (baca laporan konser John Zorn dalam artikel lain -red) dan ketika memasuki stage ini, JZ sudah berada di penghujung penampilannya.
Saya bergegas menuju stage Mississippi : Your World untuk melihat The Temple Jazz Orchestra, band kampus dari Amerika yang tahun ini juga mampir ke Montreux Jazz Festival di Swiss dan Jazz a Vienne di Perancis. Satu-satunya stage outdoor ini tampil menarik dan hangat. Meski jarum jam telah beranjak ke angka tujuh malam, suasana masih sangat terang. Maklum, matahari baru menghilang sekitar pukul sepuluh malam.
Orchestra yang berdiri sejak tahun 1990 ini dipimpin oleh Tom Fairlie – memiliki track record yang cukup solid. Empat album telah mereka hasilkan, dimana yang terakhir dirilis tahun 2008 berjudul TJO featuring Gordon Goodwin. Penampilan TJO rupanya juga memberikan kejutan karena trumpeter Randy Brecker tiba-tiba dipanggil oleh sang konduktor dan sempat memainkan lagu, salah satunya “Some Skunk Funk”.
TJO terdiri dari Tom Fairlie (conductor); Brent Mathesen (trombone); Keith Fiala, Tim Cates, David Swann, Sparky Thomason, Denise Doyle (trumpet); Gary Smith, Gannon Phillips, Brent Colwell, David Wilborn (trombone); Colin Mason, Karin Batson (alto sax); Greg Bashara, Greg Medina (tenor sax); Frank Nelson (baritone sax).
Tepat ketika TJO memainkan lagu terakhir, stage Hudson kembali dipadati penonton. Ini terlihat dari pintu masuk yang ditutup sementara dari arah tengah, namun demikian alternatif jalan masuk melewati stage Mississippi jadi solusi. Rupanya Hank Jones Trio sudah memainkan lagu pertama. Penulis bergerak menuju stage yang selalu dipenuhi bintang ini.
Pianis Hank Jones ditemani George Mraz (double bass) dan Willie Jones III (drums). Menyaksikan musisi pelaku sejarah jazz ini seperti tak percaya. Di usianya yang tahun ini memasuki 91 tahun, tak disangsikan kalau ia memang maestro. Pria asal Mississippi yang dikenal sebagai pianis di era Ella Fitzgerald, juga punya saudara yang juga sama-sama tenar yakni drummer Elvin Jones dan Thad Jones.
Meskipun usianya yang sudah melewati 4 generasi itu, Jones merupakan pianis yang aktif. Ia membawakan beberapa nomor antara lain Blue Minor, Lady Luck, Record of Me – yang dikerjakannya bersama mendiang saxophnist Joe Henderson. Kemudian Stella by Starlight, Round about Midnight, Coming Home Baby hingga Lonely Woman. Tepuk tangan tak berhenti disetiap nada setelah improvisasi maupun akhir lagu dimainkan. Bahkan makin terdengar keras dipenghujung pertunjukan saat membawakan Interface (not on your face), Twisted Blues milik Wes Montgomery dan lagu Speak Low karya Kurt Weill yang populer sejak tahun 1943.
Puas berada di stage Hudson, penulis bergegas menuju stage Nile. Ini merupakan stage yang paling besar. Perkiraan penulis besarnya sekitar dua kali Exhibition hall A&B. Disini BB King sang dewa gitar blues tengah tampil memuaskan ribuan penonton yang hadir. Hampir tak ada ada celah yang kosong. Untuk bisa mengambil foto dalam jarak yang masih bisa tertangkap jelas kamera Nikon D80 dengan lensa 80-200 saya harus menembus ‘barikade’ penonton selama hampir setengah jam dari sisi kiri panggung.
Meskipun BB King, kerap manggung di NSJF, tetap saja antusiasme penonton tak berkurang. Barangkali ia juga menjadi magnet bagi mereka yang tak melulu ingin menonton pertunjukan jazz. Boleh jadi pula karena di stage ini penonton bebas makan dan minum dan berbelanja. Setidaknya ada kios makanan dan minuman yang berada di kiri dan kanan panggung masih plus beberapa stand souvenir – ada yang menjual batik dari Indonesia – dibagian belakang – tepat dibawah kursi-kursi penonton bagian belakang.
BB King mampu menghipnotis para penonton. Meski duduk dikursi, mungkin karena kelelahan selain usianya yang sudah 83 tahun, sesekali ia berdiri dan sontak penonton berteriak histeris. Ia mengajak James Bolden (musical director, trumpet); Stanley Abernathy (trumpet); Melvin Jackson, Walter King (sax); Charlie Dennis (guitar); Ernest Vantrease (piano, keyboards); Reggie Richards (bass); Tony Coleman (drums, percussion).
Saya tak berlama-lama, karena ada Fred Hersch Trio + 2. Saya mengenal namanya karena beberapa karyanya yang sempat dikirimkan ke Redaksi WartaJazz beberapa tahun lalu. Rupanya lighting stage Madeira tempat Fred tampil dibuat sangat minimalis. Trio+2-nya tak berhasil terekam dengan baik, meski demikian saya masih punya foto yang lumayan saat ia memperkenalkan anggota bandnya. Sebelum Fred Hersch tampil di stage yang sama tampil Stefano Bollani I Visionari. Bollani adalah peraih penghargaan Artists Deserve Wider Recognition dan tampil di Jakarta Maret lalu.
Menonton kelompok ini saya seperti diajak ‘reunian’. Apa pasal?, karya-karya musisi-musisi mereka – selain Fred tentu saja – telah saya akrabi. Pendukung Trio+2 adalah Ralph Alessi (trumpet); Tony Malaby (tenor sax); plus John Hebert (double bass); Nasheet Waits (drums). WartaJazz pernah menurunkan beberapa tulisan tentang trumpeter dan saxophonis diatas. Hanya karena alasan waktu dan skedul yang padat, saya tidak dapat bertemu dengan musisi-musisi ini dibelakang panggung.
Setengah pertunjukan saya kembali ke stage Hudson menanti Paquito D’Rivera Quintet. Pengen tahu bagaimana rasanya?. Seperti membayar ‘hutang’. Ya, saya urung menonton Paquito dalam penampilannya di Singapura beberapa tahun lalu.
Paquito yang memainkan klarinet dan saxophone mengajak Vana Gierig (piano); Sean Conly (bass); Vinicius Barros (percussion) dan Marcello Pellitteri (drums). Apakah anda merasa familiar dengan nama terakhir?. Ya dia adalah drummer violinist Luluk Purwanto yang kerap kali datang ke Indonesia, terakhir dalam rangka sebuah kompetisi Jazz.
Dalam kesempatan terpisah sehari setelah penampilannya – ketika bertemu penulis di Lobby hotel Hilton di Rotterdam, Marcello berujar, “Sellamat Mallam”, meski sebenarnya lebih tepat menyebut selamat sore, karena diluar masih sangat terang. “Saya senang sekali bertemu dengan anda. Membuat saya ingat lagi tentang Indonesia”, ujarnya mengenang.
Kembali soal Paquito D’Rivera. Mengenakan jas berwarna merah, pria asal Havana Kuba ini tampil mengagumkan. Musik yang dibawakannya memang membuat kaki terasa ingin terus bergoyang. Pendiri Orchestra Cubana de Musica Moderna, bersama Chucho Valdés – yang manggung di stage yang sama pada hari ketiga NSJF09 memukai penonton dengan sajian jazz latin. Ia punya mantra yang jitu, barangkali hasil olah pengalamannya menggondol kurang lebih sembilan penghargaan Grammy Awards.
Sebenarnya harus saya akui, ada satu nama yang membuat saya menanti North Sea Jazz Festival 2009 ini. Mungkin anda yang sempat mengikuti status FB saya, tahu bahwa dia adalah Cecil Taylor (CT). Ia adalah salah satu peletak pondasi free jazz – salah satu aliran dalam dunia jazz. Meski usianay sudah beranjak ke 80-tahun, ia masih tetap menjadi inovator dan tak pernah sedikitpun beralih ke (jazz) standards.
Pianis yang belajar piano sejak usia enam tahun dan merapikan teknik bermain dengan studi di New York College of Music ini mengembangkan sendiri kemampuan ritmiknya. Meminjam istilah rekan saya Ceto Mundiarso yang menyebut Cecil Taylor, sebagai mister “Cluster of Sounds” lantaran sering memanfaatkan “gumpalan nada” yang menghasilkan suara sumbang (dissonant) namun kalau diamati tersendiri ternyata membawa harmoni yang unik.
Tak heran kalau panitia sampai perlu menyiagakan dua orang tenaga tambahan untuk menjaga pintu stage Madeira, lantaran penuh sesak. Penulis harus bersedia menunggu giliran kurang lebih 20 menit, bergantian dengan penonton lain yang keluar dipintu sisi kiri. Seperti belum lengkap rasanya tidak menonton CT secara live.
Keluar dari stage Madeira, penulis mengambil kesimpulan sepihak. Sedikit banyak ada pengaruhnya ketika John Zorn dipilih menjadi Artis in Residence. Paling tidak pengaruh itu terpampang jelas dari hadirnya pianis Cecil Taylor, Drummer Han Benink, Saxophonis Anthony Braxton yang selama ini dikenal berada dijalur free jazz.
Sebenarnya masih ada beberapa performance lain yang tak kalah menariknya. Seperti Joshua Redman Trio di Hudson, Spanish Harlem Orchestra di stage Maas, Roy Hargrove RH Facto rdi Nile atau Chris Potter Underground di Congo, belum lagi penampilan grup-grup dari Jepang di stage Yukon. Namun karena pertimbangan Metro yang membawa saya kembali ke hotel hanya tersedia hingga pukul satu malam – sementara dibutuhkan sekitar 15 menit menuju stasiun Zuidplein, maka saya putuskan untuk men-skip pertunjukan bagian akhir di hari pertama ini, untuk berhemat stamina dihari kedua dan ketiga nanti.
Mudah-mudahan anda sabar mendengarkan cerita saya yang tak terlalu panjang ini.
Wah enak banget bisa nonton north sea, kira2 kalu biaya total nya berapa ya, dari Jakarta sampai balik ke Jakarta lagi, biar bisa nabung nih, nonton konser sambil bisa jalan-jalan di Belanda. Ada ga ya tour nya khusus nonton Jazz, mungkin kalo ada akan sangat laku, hehehe
prima