FestivalNews

New Music For The Next Tradition

7th RIAU HITAM PUTIH WORLD MUSIC FESTIVAL 2009

HARI KE-3 ( 25 Juli 2009 )

Hari terakhir Riau Hitam Putih World Music Festival 2009 dibuka dengan sebuah prosesi yang unik,yaitu prosesi arak-arakan membawa 2 plakat best performance yang dilakukan oleh anak-anak rata-rata masih bersekolah SD & SMP yang dipilih dari hasil Workshop Music Appreciation For Children sebagai bagaian kegiatan dari event ini.Mereka melakukan gerakan tarian koreografer yang memikat membawa 2 plakat best performance tersebut sampai akhirnya plakat di pajang di sisi kiri dan kanan stage dan diakhiri dengan membawakan sebuah komposisi lagu melayu yang liriknya bercerita tentang eksistensi dari acara Riau Hitam Putih World Music Festival ini yang sudah berlangsung berturut-turut untuk ke-7 kalinya.

ZOMBE ETNICA
ZOMBE ETNICA

ZOMBE ETNICA kelompok asal Aceh yang tampil di session awal memberikan konsep musik tradisi dipadu dengan musik modern rock. Diawal mereka membawakan didong musik tradisi dari gayo dimana ada vokal dan tepukan tangan sebagai beatnya, juga lagu-lagu rakyat Aceh seperti Musaresare yakni cerita tentang saat dimana kegembiraan dan syukur atas hasil panen. Lagu lainnya adalah Yangna bertutur keadaan sekarang yang damai dan dulu saat aceh konflik. Karya lain Resam masih lekat dengan mix paduan tradisional musik perkusi dan olah vocal dengan balutan konsep rock. Lagu berlirik tentang kepedulian pada lingkungan terutama kelestarian hutan tercermin di komposisi Burning Louser yang menjadi lagu pamungkas Zombe Etnica.

KEMUDI
KEMUDI

Penampilan berikutnya grup KEMUDI dari Dumai kelompok ini terbentuk tahun 2000, kali ini mereka dibantu 3 vokalis 2 wanita dan 1 pria dengan balutan kolaborasi musik elektrik seperti keyboard,bass,gitar dengan alat tradisional perkusi,rebana,tamborin.Lagu yang dibawakan berjudul Filosofi Melayu dengan lirik cinta damai dengan memasukkan beragam aransemen format musik mulai dari samba,latin hingga rock.

TO WANA
TO WANA

Dari Palu ada kelompok TO WANA grup ini beranggotakan orang wana, masyarakat suku adat terpencil penghuni hutan di Morowale Sulawesi Tengah. To Wanna membawakan sebuah sajian berjudul Folklive yang musiknya berintikan keseharian masyarakat adat terpencil To Wanna. Menurut Amin Abdullah pembina kelompok ini ada 3 tujuan menampilkan To Wanna yaitu memberi hak mempresentasikan budayanya sendiri terhadap masyarakat adat terpencil dan menarik perhatian publik terhadap tradisi suku terpencil serta memberi warna bagi seni musik pertunjukkan tradisi di Indonesia. Dengan mengenakan pakaian adat khas suku To Wanna dan alat-alat musik tradisinya perfomancenya memberikan warna tersendiri.

Hujan deras kembali terjadi di hari penutupan Riau Hitam Putih World Music Festival 2009 ini, yang akhirnya penampilan kelompok berikutnya dipindah dari stage utama outdoor ke dalam Gedung Olah Seni disamping kanan stage masih dalam lingkup Taman Budaya. Ada KOMUNITAS MUSIK KONTEMPORER dari Lampung yang membawakan sebuah komposisi berjudul Ragon Segata juga penampilan RIAU RHYTHM CHAMBERS dari Pekanbaru yang mengusung kolaborasi etnik melayu dengan musik rap dan rock dengan ditunjang tarian latar ala breakdance.

Congratulation untuk Riau Hitam Putih World Music Festival 2009. Apresiasi masyarakat terhadap sebuah perkembangan musik tradisi atau musik yang berakar pada nilai budaya setempat sangatlah diperlukan dan lebih daripada itu penting untuk disadari bahwa tradisi itu tidak hanya lestari namun juga harus diberikan ruang seluas luasnya untuk berkembang tanpa harus kehilangan nilainya.Tidak menciptakan tembok untuk sebuah sentuhan yang lebih kini atau daya capai sebuah pemikiran atas ide ide yang lebih segar dalam menyajikan konten lama hingga tidak hanya berkutat pada pakem yang ada untuk suatu proses kreatifitas yang bersifat inovatif . Seperti tema yang diusung yaitu New Music For The Next Tradition.

Seperti dikatakan Tengku Ryo bahwa keterbukaan wawasan dalam berbagai faktor dan menambah wacana dalam suatu proses kreatifitas dan belajar mengakui keunggulan orang lain adalah kunci dari kemajuan sebuah budaya, saat ini bisa dipastikan bahwa budaya kian bercampur padu dari satu kepada lainnya, masing masing saling mempengaruhi, bila hal ini kita sadari sepenuhnya bahwa bisa dikatakan tidak ada budaya yang berdiri sendiri.

Eko Adji Soebijantoro

Sempat mengelola radio di Pekalongan sebelum hijrah ke Palembang. Aktif di berbagai kegiatan jazz termasuk Festival Jazz di Jakarta maupun Bali. Kontributor WartaJazz untuk wilayah Palembang dan sekitarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker