Jazz dan Jeep Hardtop – Laporan Pandangan Mata dari Jazz Gunung (Mountain Jazz) 2009
Suasana Desa Wonotoro, Sukapura, Probolinggo ketika menjelang sore hari Sabtu (25/7) kemarin masih cukup bersahabat. Meski suhu udara dan angin dingin mulai menembus sweeter dan jaket jean saya, kabut yang mulai merayap turun Pegunungan Pananjakan untungnya tidak sampai ke tempat pagelaran Jazz Gunung di Java Banana Bromo Lodge, Cafe & Gallery. Sehingga masih menyisakan kehangatan matahari sore dan sambil berharap agar kondisi cuacanya mendukung untuk mengoperasikan kamera dan lensa.
Sembari menunggu pentas pertama Jazz Gunung, saya sempat berkeliling di sekitar venue. Panggungnya ditata secara artistik dan tidak banyak merubah kondisi aslinya. Menurut penggagas acara ini, Sigit Pramono, “Rumput di sini sudah dipersiapkan 2 bulan sebelum acara berlangsung”. Tidak ada rigging maupun tenda besar, outdoor bahkan tidak memakai level. Peralatan soundsystem-nya pun relatif sederhana. Penampilannya pun tidak begitu menyolok. Misalnya bagian speaker monitor di panggung, sebagian ditutupi dengan daun bambu, sehingga dari arah penonton hanya terlihat secara samar. Sedangkan para usher yang berblankon tak lain adalah anak dan keponakan Sigit sendiri
Pertunjukan Jazz Gunung meniscayakan bahwa pertunjukan jazz tidak melulu harus diadakan didalam ruangan atau indoor. Keyakinan itu juga yang dimiliki Sigit Pramono, seorang jazz afficionados yang juga penggemar fotografi.
Untuk pembatas antara panggung dan area penonton hanya kontur tanah yang lebih tinggi. Posisinya menyerupai sebuah bentuk panggung palladium namun alami. Di depan panggung ditata bangku kayu membentang yang membentuk setengah oval. Pemandangan langsung latar belakang panggungnya adalah Pegunungan Pananjakan serta ditambahi ornamen beberapa baris batang bambu yang menjulang cukup tinggi membuat suasananya semakin segar saja. Sementara warna yang terlihat dominannya tetap hijau. Tidak ketinggalan pula, di sebelah kanan panggung terdapat icon Bromo yang berupa jeep Toyota hardtop dan sepasang kuda.
Acara ini memang tidak dikemas secara kolosal seperti hanya berbagai festival jazz yang digelar di Indonesia. Untuk edisi pertama, Jazz Gunung kali ini menampilkan 2 group saja. Hadir rombongan Djaduk Ferianto bersama Kua Etnikanya dan rekan – rekan dari C.TwoSix Jazz Community Surabaya yang diwakili oleh group D’Art, sebuah band yang terdiri dari tujuh pelajar SMA kelas 1 dan 3. Sebagai MC dalam acara kemarin adalah Butet Kartaredjasa.
D’Art tampil sebagai group pembuka yang mengetengahkan beberapa tembang jazzy. Mereka sudah merintis kelompok ini lebih dari tiga tahun lalu. Group ini mungkin bisa sebagai gambaran kancah perjazzan di Surabaya saat ini yang terus tumbuh, regenerasi dan berkembang sesuai dengan jamannya. Di mana pada masa lalu Kota Pahlawan tersebut sudah melahirkan puluhan musisi jazz terkemuka di Indonesia.
Setelah D’Art selesai, Bupati Probolinggo Drs. Hasan Aminuddin M.Si yang datang beberapa saat setelah pertunjukan dimulai didaulat untuk menyampaikan beberapa hal diatas panggung. Sambutannya yang juga membuat para hadirin tertawa adalah tatkala ia berujar merespon pertanyaan Butet yang mengatakan agar izin pertunjukan jangan dipersulit, “Asalkan Gunung Bromo tidak dipindahkan ke Jogjakarta saja”, ujarnya.
Kua Etnika tampil ketika kursi penonton sudah mulai penuh. Seperti biasa, mereka mengangkut berbagai instrumen musik baik yang tradisional dan modern ke atas panggung serta tidak ketinggalan, senapan mainan tradisional. Dalam kesempatan tersebut, kelompok yang baru saja tampil di Jazz Fest Wien 2009 ini tampil dengan formasi Djaduk Ferianto (vokal, suling, flute), Purwanto (bonang, reong, pamade), Indra Gunawan (keyboard), Agus Wahyudi (keyboard), Sony Suprapto & I Nyoman Cau (saron, pamade), Sukoco (kendang, reong), Beny Fuad Herawan (drum), Dhanny Eriawan Wibowo (bass), Arie Senjayanto (gitar), Gian Afrisando (saxophone) serta tidak ketinggalan Trie Utami (vokalis utama).
Ketika awal permainan, mood mereka barangkali belum terbangun dengan baik. Seperti masih kurang greget. Namun seiring dengan waktu, ternyata mood dan spiritnya semakin terbangun dan memanas. Ada beberapa komposisi lama maupun baru mereka tampilkan. ‘Nirwana’, ‘Danube’, ‘Gandekan’, ‘Bromo’, ‘Pananjakan’, ‘Cublak – Cublak Suweng’, sampai lagu wajibnya yang diambil dari theme song-nya film Mission Impossible.
Masing – masing komposisi tersebut bisa merepresentasikan semacam revitalisasi dan terobosan kreatif dalam mengolah musik etnis. Terobosan tersebut bisa berupa upaya dialog antar tradisi dan budaya. Baik yang bersifat lokal, regional dan internasional.
Salah satu bagian menariknya adalah ketika group kesenian lokal yang terdiri dari 6 orang ber-jam session bersama Kua Etnika. Sebelumnya mereka tidak mempersiapkan secara khusus. Dialog yang dalam musik jazz sering disebut call and respond ini pun bisa berjalan secara spontan. Terutama ketika Gian masuk ke dalam percakapan tersebut.
Kua Etnika memang lihai dalam berfusion ria. Dalam cuaca yang semakin dingin, mereka masih didaulat penonton untuk encore sampai 2 lagu lagi dan dipenghujung acara para penonton tumpleg bleg maju ke depan panggung untuk berjoged bersama. Termasuk Yenny Wahid (salah satu puteri Gus Dur) yang telah hadir sejak awal.
Terlebih lagi ketika Butet sebagai pemandu acara, berhasil membangun jembatan komunikasi antara para personil Kua Etnika dengan penonton disela-sela jeda lagu. Bahkan ia sempat berkelakar menyebut para penikmat musik jazz sebagai jamaah Al Jazziah.
Jazz Gunung edisi perdana ini dihadiri kurang lebih 300 penonton yang datang dari berbagai kota antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang dan Probolinggo. Bahkan ada pula yang khusus datang dari Kualalumpur Malaysia. Beberapa pengunjung hotel berkewarganegaraan Perancis dan Amerika juga tampak antusias menikmati sajian jazz dengan suhu rata-rata 16 derajat celcius tersebut.
Tujuannya selain sebagai bentuk apresiasi pada musik ‘ethnic jazz’, Jazz Gunung juga untuk memberikan nuansa baru pada pariwisata Indonesia, khususnya di mata internasional. Diharapkan, dengan adanya pertunjukan ‘jazz etnik’ di pegunungan ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara. Diharapkan setelah beberapa kali digelar, Jazz Gunung ini akan menjadi salah satu agenda utama yang dipertimbangkan oleh para wisatawan mancanegara dalam mengunjungi Indonesia.
SUKSES Bung!!!!!
Bikin fresh jiwa raga…
Adain lagi dunk yang kayak ginian lagi