Jazz For West Java: Kedermawanan Insan Jazz Indonesia
Ada nafas lirih dalam petik flamenco dan sayat tango. Apakah itu datangnya dari lentik dawai harpa (Maya Hasan) ataupun cakar rasgueado gitar (Yeppi Romero, Agam Hamzah, Tohpati, Budjana). Untai minor harmonik yang dekat dengan maqam Arabik memang lebih kena untuk menggiring tragis dan sedih ke batin pendengarnya. Apalagi ini adalah untuk berempati di bulan Ramadhan. Yang atas recana besar-Nya pulalah, gempa 7.3 skala richter mengguncang Jawa Barat di minggu ke dua puasa. Ratusan ribu masyarakat Jabar terpaksa mengungsi dengan sebagian lainnya harus berduka kehilangan anggota keluarganya. Bencana sontak mengubah wajah Jabar, menyibak balada indah jadi kelam requiem, menyibak ”Rayuan Pulau Kelapa” jadi ”Mengheningkan Cipta” (Bintang, Arief, Gerry). Dalam suasana lain, empati juga ditularkan lewat spirit ”Sekitar Kita” (Andien) atau ”Esok Kan Masih Ada” (Utha Likumahuwa) yang membangun moral dan pengharapan.
Yang paling masuk akal adalah kembali pada Tuhan seperti diungkap ”Rindu Kami Padamu” Taufik Ismail yang melirik lagu itu hadir malam itu untuk menggugah lewat puisinya. Sementara Sam Bimbo, pelantunnya, menyumbangkan kaligrafi berjudul ”Assalamu’alaikum” untuk dilelang.
Gelombang kepedulian kembali berhasil mengumpulkan para musisi jazz Indonesia setelah tahun-tahun sebelumnya pernah berkonser amal untuk korban bencana juga dalam Jazz Untuk Aceh (2005) dan Jazz Untuk Jogja (2006). Malam amal tersebut (13/09/’09) menjadi tadarus budaya, demikian ungkap Din Syamsuddin berkenaan dengan nuansa puasa. Antusiasme insan jazz Indonesia untuk beramal menjadikan mereka harus antri manggung dalam daftar panjang sejak ngabuburit hingga menjelang sahur. Ajang melipatgandakan pahala ini dimanfaatkan para jazzer untuk menggugah donatur merogoh koceknya, sehingga diperolehlah 276.766.000,- (dana yang sudah terkumpul dalam bentuk cash hingga berita ini diturunkan sebesar Rp 214.366.125,- -redaksi). Menurut ketua Palang Merah Indonesia Mar’ie Muhammad (yang secara simbolik menerima sumbangan), dibutuhkan banyak rumah semi permanen yang dapat digunakan hingga 3 tahun bagi para korban yang kehilangan tempat tinggalnya.
Selain dengan bermain jazz tanpa dibayar, salah satu cara memancing donasi adalah dengan menjual lagu yang akan dibawakan tokoh Adang Daradjatun. Ketua Simpay Wargi Urang (organisasi yang bergerak dalam pelestarian Kebudayaan Sunda) tersebut didaulat menyanyikan ”Panon Hideung” diiringi Dwiki Dharmawan (salah satu penggagas acara ini pula) dan Audiensi Band. Selain itu, dilelang pula salah satu kibor Dwiki, kaligrafi Sam Bimbo, keduanya dihargai masing-masing 30 juta, serta harmonika dan sepatu penyanyi Tere yang berhasil dilelang sebesar sepuluh juta rupiah.