Ngayogjazz…yok, ayo nge-workshop
Rangkaian kegiatan Ngayogjazz 2009 dibuka dengan sebuah workshop musik jazz. Kegiatan yang berlangsung pada hari Jumat 20 November disampaikan oleh tiga pemusik yang akan tampil di festival keesokan harinya. Adalah Harri Stojka, Albert Yap, dan Dwiki Dharmawan yang bergantian membagi pengalaman kepada kurang lebih 50 peserta yang hadir di pendopo Rumah Budaya Tembi, Bantul, Yogyakarta.
Rasa antusias terlihat sejak workshop dimulai pagi hari pukul 10.00 lewat. Ini terlihat dari aktivitas sebagian peserta yang ikut menyiapkan alat musik pendukung, lontaran-lontaran pertanyaan yang dipandu akrab pembawa acara, sampai kembali membereskan alat di akhir acara sore harinya.
Harri Stojka
Workshop dibuka oleh Harri Stojka dengan pembahasan teknis tentang pilihan gaya permainan gitarnya. Stojka membuka sesi ini dengan penampilannya bersama Claudius Jelinek. Sembari memetik gitar, ia menjelaskan trik-trik scale yang digunakan serta apa alasannya. Gitaris kelahiran Wina Austria ini menekankan bahwa perbedaan feeling dan gaya gipsi yang menjadi ciri khasnya ada pada drive yang digunakan. “The most important thing is a drive,” tegasnya.
Stojka mempraktekkan juga bagaimana gaya gitarannya lebih memilih kord-kord yang kompleks. “Its normal blues. Everybody loves, everybody likes, except me. I like normal blues but with more chords,” sembari memberi contoh bunyi keduanya dengan tempo yang dilambatkan.
Gitaris ini memberikan referensi pada lick Joe Pass, George Benson, sampai legenda Django Reinhardt serta berpesan untuk selalu latihan yang intens. Sore itu penggemar The Beatles ini juga bercerita bagaimana ia membuat komposisinya. “…Sometimes I composed song in my dreams. Most time I dream about my solo,” kelakar Harri.
Albert Yap
Sesi kedua dibawakan oleh pemain bass asal Malaysia, Albert Yap, juga beserta kelompok musiknya, BassGrOoVe100. Pembahasannya adalah tentang bagaimana ensemble building.
Albert memulai bahasannya tentang bagaimana pentingnya setiap pemusik untuk memahami karakteristik teman-teman se-grupnya, cara dia bermain, level permainannya, instrumen yang dipakai, dan paham apa fungsi instrumen yang dimainkan dalam kelompok itu. Arahannya adalah terbentuk keseimbangan permainan dalam sebuah grup, dimana ada tanggung jawab seorang pemusik terhadap band, konsep lagu, solois dan vokalis. Ini ia beri istilah “internal balance”.
Topik Albert selanjutnya adalah pembahasan tentang ritme yang berbeda saat sebuah lagu dimainkan; bossanova – contemporary R&B – swing. Dia juga memberikan contoh bagaimana rhythm section memback-up seorang vokalis atau saat pemusik lain sedang solo. “… We always practice solois. No matter what you play; jazz, rock, latin, bossanova. Siapa yang featuring di depan, that’s we feature. Because in music, this is a language. We tell a eachother what to do in musical language…” paparnya.
Menarik pada sesi ini ketika dimajukan sebuah jamming dari peserta workshop. Terlihat penampilan mereka tidak kalah kelas. Pemain kibor BassGrOoVe100 bahkan memuji Andi Gomez, salah satu peserta workshop yang maju sebagai, “Dia mempunyai potensi yang tinggi untuk mencapai kejayaan…”
Dwiki Dharmawan
Workshop ditutup dengan sharing pengalaman yang diberikan oleh Dwiki Dharmawan. Pentolan kelompok Krakatau yang baru merilis album ketiga ini memberi judul “Exploring root of identity” untuk topik bahasannya.
Dwiki memulai ceritanya mulai dari awal karirnya bermusik. Dari belajar musik klasik, lalu membentuk Krakatau dan merilis lima album, dan di satu titik ia berpikir; “Benarkah bila kita ingin tetap masuk/eksis di pasar, harus mereduksi nilai-nilai ideal sebuah karya seni? Lalu benarkah kekuatan modal selalu melukai kreatifitas seniman? Benarkah market mengurangi kebebasan berekspresi?”
Pertanyaan-pertanyaan itu yang kemudian menjadi titik awal Dwiki beserta rekan-rekannya men-reset format fase kedua Krakatau serta landasan di dua solo album terakhirnya. Dengan beberapa ilustrasi rekaman konsernya, Dwiki menunjukkan bahwa ia seolah mendapat pencerahan untuk melihat kembali dan bereksplorasi dengan keanekaragaman tradisi musik Indonesia yang dipadukan dengan kecintaannya dengan musik jazz. Pengalamannya bersentuhan dengan ide-ide/idiom-idiom tradisional Indonesia itulah yang kemudian diterjemahkan ke dalam musik seorang Dwiki Dharmawan.
Dia menambahkan, dari apa yang pernah dicobanya saat berinteraksi dengan banyak idiom tradisi, hal yang harus diperhatikan saat melakukan improvisasi adalah pemahaman blues. “… Root dari jazz adalah blues. Agak mustahil jika musisi langsung bermain jazz tanpa menguasai ilmu blues,” tegas Dwiki.
Sebelum menutup workshop sore itu, pemusik kelahiran Bandung 19 Agustus 1966 ini menitipkan sebuah pesan, “Anda bermain musik tidak usah takut-takut. Musik itu tidak ada yang salah. Adanya, yang enak sama (yang) tidak enak. Mungkin banyak musisi muda yang ingin populer, tapi pencarian/eksplorasi/nakal (harus) jalan terus. Bebaskan, bebaskan hati kita dan tidak usah takut. Karena kalau takut, main musiknya jadi terbatas.”
Pesan dari Dwiki ini setidaknya telah dibuktikan oleh panitia Ngayogjazz. Mereka berhasil memberikan sebuah workshop yang nyata mendapat respon baik dari peserta, yang sebagian besar adalah para pemusik muda. Sebuah transfer pengalaman diharapkan telah terjadi di antara mereka sore itu. Baik di saat acara berlangsung maupun ketika mereka bertukar pikiran dengan lebih cair diluar forum workshop. Ini dapat menjadi bekal kedua belah pihak untuk bermusik yang lebih baik di masa yang akan datang.
Namun, agar visi Ngayogjazz untuk membangun masyarakat pendukung seni dapat mengena lebih luas, jangan takut jika di tahun mendatang juga diselenggarakan workshop untuk stakeholders yang lain. Tidak hanya workshop untuk pemusik. Mungkin bisa dicoba sebuah workshop untuk penonton agar mereka dapat berbagi bagaimana esensi menikmati pertunjukan musik jazz. Atau, workshop untuk penyelenggara acara musik jazz, workshop untuk media peliput kegiatan jazz, atau jenis-jenis workshop lainnya. Bagaimana? Yok, kita nge-workshop di Ngayogjazz.