Bulan Desember di Indonesia pada umumnya sudah memasuki musim penghujan. Kemudian mengapa menyelenggarakan festival jazz yang salah satu panggungnya berada di luar gedung Sabuga Bandung, General Coordinator dari festival Bandung World Jazz 2009, Andar Manik menjawab ketika acara preskon, “Kita sengaja mengadakan acara ini di bulan Desember karena hujan, jadinya jazz hujan”.
Untungnya ramalan Andar Manik tersebut sampi selesai acara tidak terbukti, sehingga acara yang diselenggarakan tanggal 3 – 4 Desember 2009 berlangsung cukup meriah. Selama dua hari tersebut, dari jam 13.30 sampai tepat tengah malam dengan breaktime sekitar satu setengah jam, penonton disuguhi oleh 34 group musik dengan berbagai warna.
Perkiraan daya tampung penonton sekitar 1500 orang dengan setting venue terdiri dari 3 panggung. Panggung pertama berada di sisi kiri luar gedung, panggung kedua berada di koridor tembusan pintu masuk utama gedung dan panggung ketiga ada di tribune (ruang utama) gudung Sabuga. Sementara di bagian tribune, satu panggung yang cukup luas dibagi menjadi 3 bagian, sayap kanan, kiri, dan tengah yang hanya dibedakan dengan tinggi rendah level. Panggung pertama dan kedua dipakai dari siang sampai menjelang Maghrib, selanjutnya pertunjukan berlangsung di panggung ketiga.
Mendekati waktu tergelincirnya matahari, stage 1 dan 2 sudah mulai kesibukannya dengan persiapan Castavaria dan Nita Aartsen. Castavaria tampil dengan mengetengahkan 3 bassist, ditambah seorang drummer, yang menghibur penonton melalui percakapan dalam nada-nada rendah dengan balutan irama jazz-rock dan funky yang menghentak-hentak. Sementara Nita Aartsen menghibur para penonton dengan koleksi-koleksi musik latin, rhumba dan bossa nova. Agak lain dengan penampilannya di album “All Nite Out”, Nita lebih banyak menunjukkan kebolehannya dalam memainkan keyboardnya yang cukup memikat. Sudah barang tentu, lagu-lagu wajib dari Amerika bagian Selatan muncul satu persatu. Seperti ‘Masquenada’ atau pun ‘Girl From Ipanema’. Tidak ketinggalan salah satu hit dari albumnya, ‘Let’s Dance’. Dalam kesempatan ini Nita mengajak teman lama yang bernama Steve Wilson untuk tampil sebagai vokalis. Penampilannya cukup komunikatif dengan para penonton. Musisi lain yang mendukung Nita adalah Adi Prasodjo (perkusi) dan Harry Toledo (bass).
Beranjak ke panggung outdoor, suasana gayeng dan meriah langsung memenuhi telinga ini. Bagaimana tidak, sebuah band dengan warna fusion menghentak-hentak dengan kerasnya dengan reriuhan suara saxophone, bass, gitar, keyboards dengan beberapa instrumen musik tradisional Jawa. Mereka adalah Prabumi, sebuah band kolaboratif pimpinan Agus Bing, yang juga seorang wartawan sebuah surat kabar di Jogja. Hanya saja, saking semangatnya, suara saron, kendang, djembe dan bonangnya justru tertutup dengan instrumen musik modern lainnya. Atau memang ada semacam kanonisasi musik yang barangkali menghasilkan efek tertentu. Mereka menampilkan tembang klasik “Prahu Layar” ataupun komposisi ciptaan sendiri “Transit”. Selain itu, ada 4 Peniti dari Bandung yang sudah mempunyai penggemarnya tersendiri ini memeriahkan acara ini dengan tembang-tembang segar dengan memadukan banyak jenis musik. Zaki (vokal & gitar), Ammy (violin & gitar), Rudy Zulkarnaen (bass) dan Ary Aru (drum) membentuk kelompok ini karena sama-sama menyukai Pat Metheny.
Persentuhan antara musik jazz dan khasanah musik lokal dari Indonesia masih tetap menjadi daya tarik yang sexy. Seperti halnya yang dilakukan oleh group dari Jakarta Archipelago maupun Karinding Collaborative, Saratuspersen. Mereka sama-sama memadukan improvisasi jazz dengan musik Sunda. Seperti yang diungkapkan Andar Manik bahwa “Cita rasa musik lokal bisa memasuki ranah improvisasi jazz”. Hasilnya memang menarik, sambil membayangkan berada di hamparan sawah hijau sambil mendengarkan kecapi Cianjuran dan liukan suara saxophone.
Adapun kelompok serupa dari luar negeri adalah Taal Tantra. Di Stage 3 tengah mereka tampil dengan 10 orang musisi dengan menampilkan beberapa corak musik India dari bagian Utara, Selatan, Barat dan Timur yang dikombinasikan dengan jenis musik lain seperti jazz, rock maupun reggae. Penampilan memang mereka terasa hidup dan berhasil menghibur penonton. Apa lagi dengan kehadiran seperti seorang fakir dalam memainkan alat perkusi dari India, plus dengan jogetannya yang lucu.
Salah satu bintang benderang sore itu adalah Ligro, kumpulan 3 orang gila (bermusik) yang terdiri dari Agam Hamzah (gitar), Adi Darmawan (bass) dan Gusti Hendy (drum). “Komposisi-komposisi di dalamnya bercerita tentang pola-pola musik yang sangat tidak umum. Sesuatu yang tidak umum biasanya diluar kenormalan. Dan itu disebut gila,” papar Agam dalam sebuah perbincangan dengan wartajazz.com. Group ini juga mempunyai energi yang luar biasa. Gaya jazz rock memang kental, yang mengingatkan kita kepada Mahavishnu Orchestra dengan semburat warna musik Indianya. Akord gitar yang dimainkan pun terasa liar dan seperti dalam dunia paralel dan aneh. Apalagi dengan penampilan Hendy, yang juga drummernya Gigi, “double temponya mau merontokkan tembok China”, kata seorang penonton yang terkagum-kagum. Ketika bersama Gigi pun malah jarang terdengar seperti itu. Mereka menampilkan komposisi-komposisi yang ada dalam album “Ligro Dictionary I” seperti ‘Blinker 1’, ‘Radio Active’, ‘Green Powder’ maupun ‘Orgil’.
Di hari pertama, kelompok yang tampil paling ngejazz adalah David Manuhutu dan Pigalle44. David merupakan salah satu aset masa depan musisi jazz dari Indonesia yang saat ini belum genap 20 tahun usianya. Putra dari Venche Manuhutu ini sudah mulus sekali dalam memainkan pianonya dalam tembang-tambang bebop yang strukturnya komplek tersebut.
Setelah seharian kita dihujani dengan letupan jazz yang menghentak-hentak dan keras, menikmati Pigalle44 seolah kita menikmati kopi hangat di sore hari setelah seharian bekerja keras. Berdiri sejak 10 tahun lalu, Pigalle44 dimotori oleh dua gitaris Reiner Voet dan Jan Brouwer. Mereka menampilkan aksen musik gipsi dalam sajian jazz. Masih terasa sentuhan tradisional jazz seperti swing meski tidak sepenuhnya mengekor kepada para pendahulu. Kalau dilihat gaya permainannya sendiri adalah gabungan antara tradisional dan modern. Memang ada kalanya gipsi jazz tampil ekspresif, banyak nada yang keluar, bertempo cepat namun kemarin mereka menampilkan gipsi jazz yang cool dan impresif. Kedatangannya ke acara ini mereka dibantu oleh Hermine Deurloo (harmonika & sopran saxophone) dan Jet Stevens (bass).
Pertunjukan hari pertama ini juga dimeriahkan oleh lebih dari 50 anak yang tampil ke panggung dengan bermain perkusi. Mereka semua adalah anggota dari Jendela Ide. Sebuah organisasi yang concern terhadap kreasi anak-anak. “Jelas bahwa anak-anak kita saat ini adalah investasi kebudayaan kita di masa mendatang”, ujar Festival Coordinator Marintan Sirait.
Sepertinya, hari pertama dari Bandung World Jazz Festival 2009 ini cukup memuaskan sekitar penonton. Meski soundsystem di Stage 2 kurang enak dinikmati. Mengingat panggung tersebut berada di dalam koridor yang mempunyai ruang relatif sempit.
SALUT DENGAN ACARANYA….SAYANG KITA MIS KOMUNIKASI….. MOHON MAAF YANG SEBSAR BESARNYA KEPADA PENYELENGGARA……..KHUSUSNYA BPK JAELANI……MUDAH MUDAHAN LAIN WAKTU KITA BISA BEKERJASAMA LAGI.
YANG PENTING ACARA TERSEBUT BAGI KAMI SANGAT MENARIK MESKIPUN HANYA SEBAGAI PENONTON SAJA. TERUSKAN PROGRAM YG BESAR INI.