Bentara Budaya Jogja, Senin 5 April 2010, 19:30 WIB itu adalah tempat, hari, tanggal dan waktu dimana pertamakali saya menyaksikan Jazz Ben Senin (Jazz Tiap Senin – red). Duduk di undakan kantor harian Kompas sambil memperhatikan pengunjung yang hadir. Pengamatan acak menunjukkan bahwa berbagai kalangan dan latar belakang satu persatu memasuki areal parkir (di waktu siang hari), hal tersebut terwakili oleh kendaraan yang dipakai mulai kendaraan roda empat keluaran terbaru, berbagai kendaraan roda dua bahkan tidak sedikit yang menggunakan alat transportasi paling efektif, kaki.
Pria berambut panjang dengan pakaian kumal, berambut pendek dengan pakaian casual, wanita berpakaian santai sampai yang berpakaian resmi mudah ditemukan di arena tersebut. Begitu band pembuka memainkan dua lagu yang berirama riang sepertinya semua latar belakang dan kalangan tersebut luluh-lantak menjadi satu tidak ada yang membatasi dan tidak ada yang membedakan. Jika terpaksa harus membuat kriteria maka hanya ada dua saja: penggemar dan penikmat, itupun tidak bisa dengan jelas dibedakan karena penonton yang masuk kategori penggemar sekaligus juga penikmat.
Bagi mereka yang disebut penggemar yaitu mereka yang sejak musik pembuka sampai musik penutup (meskipun tidak ada) tetap tidak beranjak dari tempat duduknya (meskipun juga tidak ada kursinya). Karena secara pertunjukan musik – bahkan yang standar-pun – tidak terpenuhi pada malam itu. Mulai tata panggung, menghadap ke penonton bagian mana juga nggak pas kemudian tata lampu, hanya ada lampu yang sejak awal pertunjukan sampai akhir nyala terus sehingga tidak ada pemain musik dan penyanyi bahkan pembawa acara yang tidak berpeluh. Tidak ada kursi, yang disediakan adalah tikar sehingga penonton-pun harus sering-sering olah tulang leher karena terlalu lama mendongak. Dan yang paling penting adalah sound-system yang menurut penulis adalah lebih cocok untuk acara 17 agustus-an di RT (meskipun alat musik yang digunakan oleh teman-teman adalah bukan alat musik yang pasaran, gitar melody, bass, flute, trompet). Nah itu jika tidak diniatkan karena menggemari acara tersebut maka akan bubar sejak sebelum acara dimulai.
Mereka yang disebut penikmat adalah para penonton mulai dari teman-teman mahasiswa, profesional, ibu-ibu, bapak-bapak sangat antusias mengikuti alunan musik yang dimainkan dengan cara masing-masing, ada yang mengangguk-angguk, menepuk-nepuk tangan, sambil menyanyi pelan bahkan hanya dengan menggoyangkan kaki.
Sepertinya semua penonton termasuk kategori penggemar sekaligus penikmat.
Dengan dua kriteria tersebut, seakan-akan siapapun yang bermain di panggung menjadi tidak penting (yang malam itu menghadirkan musisi dari luar jogja untuk edisi special “Umbul Donga Untuk Singgih Sanjaya” : ibu Waljinah, Dwiki Dharmawan, Tri Utami, Farah Di dan Iga Mawarni), karena semuanya bisa dinikmati oleh para penggemar musik. Syarat yang utama adalah harmonisasi permainan yang
dilakukan oleh teman-teman di panggung sama dan sebangun dengan rasa yang ada di hati masing-masing penonton.
Ketika harmonisasi dan rasa tadi kurang terakomodasi dengan alasan lapar atau haus, angkringan di samping gedung telah siap dengan teh, susu, nasi kucing, mendoan dan tahu bacem.
Jika begini kenapa nggak dibuat aja Jazz Ben Dhino (Jazz tiap hari – red).
(Adji Prasetyo/penulis dan penikmat jazz asal Malang)
Kalau mben dino ntar musisinya nggak sempat ngejob mas. 😀
mas Ajie, mohon izin foto untuk memajang foto di atas dalam posting blog saya. di akhir post akan saya cantumkan link beserta fotografernya. matur nuwun ngge mas. 😀
Ok silahkan dipasang di blog anda…(ajie)
Dimana ak bisa mendapatkan cd nya jazz sesarengan nih terus har ganya berapa??