TOHPATI ngajak keliling Nusantara

Sejak lagu pertama dimainkan, separuh penonton My Sunday Jazz 11 April 2010 yang diadakan My Place Hotel Kartika Graha Malang, yang sebelumnya duduk di sofa serempak berdiri sebagai gambaran antusias tinggi terhadap permainan Tohpati Ethnomission. Sehingga sampai akhir pertunjukkan, mereka yang menikmati sambil berdiri lebih banyak daripada duduk di sofa ataupun kursi yang tersedia. Hujan yang turun seharian tidak sedikitpun menyurutkan penggemar musik jazz untuk hadir pada acara yang digelar setiap hari minggu itu.
Irama ritmis Bali dipilih untuk mengawali perjalanan keliling nusantara dengan lagu yang dipilih “Jangger”, raungan suling yang menyayat mampu menghipnotis sekitar 100 s/d 200-an penonton malam itu. Tanpa ada kata-kata pembuka, dilanjutkan dengan perjalanan ke Indonesia timur dengan lagu berjudul “Cendrawasih”. Hanya dengan sapaan “selamat malam” oleh Tohpati serta perkenalan musisi dimulai dari Endang Ramdan (kendang, gong, kenong) dilanjutkan dengan pemain muda berusia 17 tahun, Demas Narawangsa (drums, rebana, kempluk), Diki Suwarjiki (suling) dan terakhir Indro Hardjodikoro (bass) dilanjutkan dengan irama lagu dengan ritme Padang (Sumatera Barat) tentunya berkat sentuhan suling ditimpali gitar yang sangat indah sebagai sebuah komposisi Ethno Funk dari album save the planet sulit untuk kita carikan kemiripan-nya dengan lagu-lagu daerah yang ada di Nusantara tetapi kalaupun boleh memberikan kriteria maka kita sebut saja itulah lagu dengan ritme ke-Indonesia-an.
Dalam jeda main yang dilakukan oleh Tohpati, Indro dan Diki ternyata (menurut Tohpati “ngerjai-in”) Demas dan Endang. Disinilah penonton bisa melihat dan mesti terkagum-kagum terhadap kepiawaian mereka berdua terutama saat “break-break” yang dilakukan memerlukan konsentrasi yang tinggi meskipun diselingi dengan gerakan-gerakan lucu pemain kendang serta wajah ke-kanak-kanak-an si pemain drum.
Indro-pun tak luput “di-kerja-in” Tohpati, sebagai salah satu pemain bass terbaik di Indonesia, berdua dengan permainan drum, rasanya malam itu tidak berlebihan jika applaus sangat meriah diberikan untuknya. Setelah “pameran” permainan tersebut, kembali kita diajak berkeliling menikmati komposisi-komposisi yang cukup rumit meskipun tetap enak didengar dan dinikmati sampai acara usai lewat tengah malam.
Memang tidaklah mudah menggabungkan harmonisasi suara alat musik tradisional (kendang, suling, rebana, kempluk) dengan gitar, bass dan drum jika para pemain tidak mempunyai rasa musikalitas dan ke-geniusan yang tinggi. Dan Tohpati Ethnomission sudah membuktikannya malam itu di kota hujan Malang.