Java Jazz FestivalNews

Catatan dari Hari Pertama di Jakarta International Java Jazz Festival 2011

Java Jazz Festival tahun ini saya awali dengan kedatangan tanpa map atau jadwal di tangan. Hanya berbekal naluri, saya pun mengawali sebuah ’petualangan’ kecil-kecilan. ’Petualangan’ yang pada akhirnya berujung pada kelelahan, tapi puas tiada terkira.

Merah menyala, tulisan ’A3’ yang disertai dengan keterangan ’BNI Hall’ di kertas menandakan sebuah ruangan yang saat itu sedang dimasuki oleh banyak sekali orang. Nada musik yang semakin lama semakin jelas terdengar begitu familiar di telinga saya saat mencoba untuk memasuki ruangan tersebut. Ternyata Dira J. Sugandi. Ia yang ditakdirkan untuk menjadi suguhan pertama bagi saya malam itu, Jumat, 4 Maret 2011. Melodi-melodi yang familiar tadi berasal dari lagu ‘Get Through to You’, salah satu lagu dari album “Something About The Girl. Lagu-lagunya aku banget,” ujarnya di sela-sela penampilan, sedikit bercerita tentang album pertamanya itu. Kini nama Dira sama diingatnya dengan nama Andien, solois jazz wanita yang berkarir lebih dulu dibanding dirinya. Sebelumnya, ia terkenal dengan keterlibatannya di salah satu konser Incognito dan duetnya dengan Jason Mraz.

Setelah Dira, beberapa pengunjung terdengar membicarakan Notturno (dengan The Soundscape), yang katanya akan tampil di Medco Lawu 1 Acoustic Hall. Jujur, baru pertama kali saya dengar nama grup musik itu. Dan hebatnya, saya langsung jatuh cinta begitu mendengar lagu-lagu yang dibawakan. Notturno, yang baru saja merilis lagu terbarunya, ‘Tweet Your Blues’, menyajikan karya-karya yang terdengar… segar. Mirip fussionjazz, tapi juga seperti mengarah ke acid. Hadirnya alat musik cello di penampilan mereka mengingatkan saya akan Fareed Haque yang juga akan tampil di Java Jazz Festival malam itu, tepat setelah Notturno selesai. Musisi yang terkenal dengan efek gitarnya itu akan tampil di ruangan yang berbeda dan telah dipastikan bahwa malam itu, ia dan C2 Femina Group Hall menjadi checkpoint saya yang berikutnya.

Beruntung, tak ada distorsi yang terjadi begitu memutuskan untuk kembali ke A3 BNI Hall. Jika saya diminta untuk membuat playlist, mungkin saya akan rekomendasikan Fareed Haque sebelum mendengarkan Brian Culbertson, pilihan saya yang berikutnya. Ya, keyboardis dari Amerika yang terkenal dengan lagu ‘Go, Our Love’, dan duetnya bersama Dave Koz pada lagu ‘If Only For a Night’ milik Luther Vandross itu didatangkan oleh tim Java Festival Production tahun ini. Seakan-akan lahir dengan keyboard berada di genggaman tangannya, Culbertson dan timnya mempertunjukkan sebuah konser mini bernuansa jazz-funk yang memukau. Musiknya mengingatkan banyak orang akan Earth Wind and Fire, terutama di kala pria berambut agak pirang itu menyebut nama Maurice White sebagai orang yang menginspirasinya berkali-kali. Semua penonton seperti diajak berdansa, sambil tak lupa menggerakan kepala. Seakan tak mau membuat penonton bosan, Culbertson mempertunjukkan keahliannya dalam memainkan alat musik terompet. Aksi-aksi panggung yang mengejutkan, termasuk saat dimana ia memainkan beberapa bagian lagu dengan posisi keyboard yang terbalik, tanpa cela, itu membuat para penonton meminta Culbertson mempertunjukkan satu lagu lagi sebelum pergi.

Masih terngiang-ngiang irama funk dari Brian Culbertson, saya melangkah pergi meninggalkan A3 BNI Hall yang mulai sepi. Dari jadwal yang saya sempat lihat di bagian informasi, ada Glen Dauna malam itu, di ruangan yang sama dengan tempat Notturno bermain pukul 19.00 WIB tadi. Glen Dauna yang saya tahu adalah musisi contemporary jazz Indonesia yang sempat tampil di Java Jazz Festival tahun lalu. Kali ini dengan Farah Di, Glen membawakan beberapa lagu yang mengingatkan saya akan lagu-lagu Bubi Chen, yang juga kadang terdengar kontemporer, dimana keduanya sama-sama berkarir sebagai pianis.

Masih dengan nuansa ke-Indonesia-an, saya melangkah ke panggung Jazz Corner yang terletak di sudut kiri dari Kawasan PRJ Kemayoran. Ada Endah & Rhesa disana. Kali ini mereka datang dengan nuansa jazz, dan seperti dugaan, banyak orang yang jatuh cinta dengan lagu-lagu yang mereka bawakan. Beberapa terlihat tersenyum ketika menyanyikan lagu-lagu sembari bergerak pelan ke kanan dan ke kiri. Sukses, malam itu Endah dan Rhesa berhasil membuat jam sebelas milik semua orang menjadi saat-saat paling romantis.

Kejutan. Mungkin itu yang banyak dirasakan orang-orang saat menonton Java Jazz Festival tahun ini. Beberapa penyanyi yang tahun lalu diberikan stage kecil, kini diberikan stage besar, seperti yang terjadi pada Anugrah Aditya atau Dira J. Sugandi yang tampil di panggung yang sama dengan Fourplay dan Brian Culbertson walau tidak dalam waktu yang sama. Tahun ini, musisi-musisi jazz Indonesia juga semakin terlihat mendominasi, walaupun format special show dari dua musisi luar negeri, George Benson dan Santana, tetap diadakan dan beberapa artis dari luar negeri masih memenuhi banyak panggung-panggung besar. Walaupun baru hari pertama, Java Jazz Festival tahun ini sepertinya sudah membuat banyak orang lelah, tapi puas mengejar penampilan-penampilan artis favorit di setiap jam-nya. Tiap pengunjung seakan diberi kesempatan untuk membuat ’playlist’-nya sendiri, walaupun harus rela melupakan santap sesaat di beberapa booth makanan. Benar-benar khas Java Jazz Festival. Seluruh venue bak YouTube semalam suntuk. Harmony under one nation. Anda pilih, Anda dengarkan.

Kontributor: Sheyka Nugrahani

Sheyka Nugrahani

Seorang mahasiswi yang menganggap Al Jarreau dan Michael Franks adalah awal mula dari segala tentang dirinya dan musik jazz. Mulai menggeluti bidang jurnalisme sejak tahun 2008 dan mendalami hobi menulisnya di sela-sela kesibukan kuliahnya di jurusan Biologi dan profesi lainnya sebagai pelukis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker