Liputan Hari Kedua NSJF 2011, 2 Juli.
Setelah mengguncang kota Medan di putaran pertama dengan menampilkan Ethno Big Band, Progressive Jazz Band, Sruti Respati dan Teman-temannya, LIGRO, serta KSP featuring Idang Rasjidi, North Sumatra Jazz Festival 2011 (NSJF) pada hari kedua semakin meriah. Banyaknya penonton dari kalangan muda setidaknya menjadi indikasi bahwa jazz di Medan tidak hanya milik kalangan usia lanjut saja. Sebuah respons yang positif untuk para penggiatnya agar jazz dapat semakin tersebar luas di kota yang terkenal dengan kue Bika Ambon yang legendaris.
Jika pada akhir pertunjukan hari pertama NSJF audiens dihibur oleh musisi-musisi senior KSP dan Idang Rasjidi, di putaran kedua sekaligus terakhir pembukanya adalah muda-mudi yang tergabung dalam Kolegium Musikum. Grup ini digawangi para mahasiswa dari Universitas Negeri Medan (Unimed) yang hadir memadukan fusion dengan balutan musik etnik Melayu. Cengkok itu kentara sekali waktu lagu pertama “Laut Samudra” dibawakan, vokalis wanita yang berbusana Islami berdendang ala qasidah modern sembari sesekali menampilkan scat singing. Musik yang mereka bawakan terbilang rapi pun skillful, tampak pada nomor selanjutnya juga penutup sajian band ini, “Road 6 to 6,” dalam format instrumental.
Tuntas dua komposisi oleh Kolegium Musikum, kini saatnya kelompok musik dari negeri jiran, Malaysia unjuk kebolehan. Dinamakan SUHU yang merupakan singkatan atas Simple, Unique, Happening and Unity, band ini meleburkan eksotika bebunyian khas rumpun Melayu dengan atraksi jazz fusion. Dengan cengkok khas, mereka bawakan nomor-nomor orisinil pun aransemen lagu rakyat populer semisal “9 Kingdom,” “Luv Dondang,” “Sang Rajuna Hati,” “Canggung,” serta “Mas Merah.” Audiens yang mayoritas warga Medan tampak larut dalam suasana dan sepertinya mudah untuk berapresiasi karena musik yang disajikan SUHU memiliki kedekatan kultural dengan mereka.
Usai suguhan dari negara tetangga, NSJF berlanjut dengan penampil berikut yang merupakan produk dalam negeri. Sempat populer di era 1990-an, Emerald/BEX seolah ingin menunjukkan bahwa mereka mampu bersaing dengan band-band (jazz) pendatang baru di tanah air. Malam itu Emerald/BEX diperkuat ketiga pendirinya, kibordis Iwang Noorsaid, penggitar Morgan Sigarlaki, dan pencabik bas Roedyanto. Makin solid dengan membawa serta drummer belia Excel Mangare yang gebukannya presisi dan dinamis. Layaknya sebuah reuni, Emerald/BEX memulainya dengan “Meet at Peacock” yang langsung menggebrak dalam kecepatan tinggi, berlanjut kepada “Journey to Sabang Street.” Ada pula komposisi “11 Juli,” penanda terbentuknya band ini 25 tahun silam. Sebuah nomor manis “Embun Pagi” turut pula disertakan, awalannya berupa solo kibor arpegiatik Iwang Noorsaid. Beralih menuju dua komposisi energik, “Pura Dewa” dengan balutan etnik Bali serta “Karapan Sapi,” “Sekarang sapinya udah nggak ada, jadinya karapan traktor,” jelas Iwang. Jika ini adalah sebuah showcase untuk usaha comeback, nampaknya Emerald/BEX cukup berhasil.
Kota Medan patutlah berbangga memiliki seorang Erucakra Mahameru. Kegelisahannya untuk semakin memajukan jazz di kota ini terbayar dengan adanya NSJF, iapun sebagai Direktur Penyelenggara festival tersebut. Selain menjadi panitia, Erucakra juga unjuk kebolehan malam itu bersama grup lokal C-Man, turut memuaskan dahaga pecinta jazz Medan. Membuka dengan hit milik Earth, Wind & Fire “In the Stone” kemudian diteruskan “Nothin’ You Can Do About It” dari Manhattan Transfer. Selain jago bergitar, Erucakra lihai pula dalam urusan tarik suara, baik menyanyikan lirik maupun beraksi scat singing unison ala George Benson. Komposisi jazz standar fenomenal “So What” gubahan Miles Davis tak luput disajikan dalam aransemen fusion kental, juga “Through the Fire” yang menjadi hit medio 1980-an. Penutup aksi Erucakra Mahameru & C-Man adalah nomor “Aranti’s Code” yang ramai dibicarakan orang, tersaji dalam balutan nuansa musik tradisional Aceh.
Salah satu gitaris jazz senior Indonesia, Donny Suhendra, ikut meramaikan gelaran jazz terakbar di kota Medan ini. Membawa bendera Donny Suhendra Project, ia membawa serta tiga lelaki; Kristian Dharma selaku pemain bas, kibordis Robert Joko, juga drummer muda Demas Narawangsa. Deru fusion hadir lewat nomor pembuka “Tales From Nauru” serta komposisi jagoan “Pagimu.” Kian bersinar waktu Donny mengundang Tiwi Shakuhachi, vokalis yang juga piawai memainkan akordeon. Tiwi menyajikan dua nomor, “Sea Journey” karya Chick Corea dan lagu tradisional setempat, “Sigulempong” yang direspons meriah oleh segenap audiens, Demas menjadi juru ritmis dengan mengimitasi pola ketukan gondang Batak. Komposisi terakhir adalah “Ten Spirits,” walaupun Donny sudah bukan remaja lagi, namun semangat bermusiknya begitu energik. Jam terbangnya yang tinggi tak tergantikan oleh apapun.
Meskipun sebagian penonton telah meninggalkan arena NSJF 2011, entah karena jenuh atau malam kian larut (hampir setengah dua dini hari!), namun band penutup Yovie Widianto Fusion (YWF) tetap tampil prima. Buah musik Yovie yang tidak dapat ditemukan pada proyeknya terdahulu Kahitna dan Yovie & The Nuno, sesuai namanya adalah media untuk menyalurkan hasrat bermain fusion. Menggandeng personil Kadek Rihardika (gitar), Gerry Herb (drum), Adi Dharmawan (bas), Iwan Wiradz (perkusi), Bambang Purwono (kibor), Unique (vokal) dan Yoyok CR (saksofon). Malam itu Gerry dan Yoyok absen, jadinya posisi drum dialihkan pada Hentriesa. YWF membuka lewat “6/8” bersambung “A Night in Tunisia,” gubahan tahun 1942 oleh peniup trumpet eksentrik Dizzy Gillespie. Teraransir fusion, namun tetap terjaga denyut Afro-Cuban-nya berkat tepukan ekspresif lewat jemari perkusionis Iwan Wiradz. Lagu berikutnya adalah “Untukku” yang pastinya berbeda dengan versi Chrisye atau Kahitna sekalipun. Ajakan bernyanyi bersama ditanggapi oleh audiens yang tampaknya akrab dengan karya Yovie berjudul “Bukan Untukku.” Mengakhiri NSJF 2011, YWF melaju kencang dengan mengendarai “Speed Driver” dan nomor pamungkas “Pinokio.”
Dengan berakhirnya sajian YWF, tuntas pula rangkaian acara North Sumatra Jazz Festival 2011 yang berlangsung selama dua hari. Sejumput masukan untuk penyelenggara, agaknya perlu dipertimbangkan venue yang lebih representatif untuk menghilangkan kesan eksklusif sehingga boleh diapresiasi segala kalangan. Dari segi teknis, masalah tata cahaya dan sistem suara adalah hal vital untuk sebuah pertunjukan dapat dinikmati secara nyaman. Menu jazz yang variatif dan proporsional pastinya akan lebih menarik ketimbang menyodorkan satu jenis genre saja. Bagaimanapun, festival ini adalah sebuah upaya dan kerja keras luar biasa para penggiat jazz Medan. Menjadi awal yang baik untuk selanjutnya makin membuat jazz lebih hidup dan semakin tersebar luas. Selamat untuk panitia dan barisan pendukung acara ini. Pastinya akan lebih baik lagi pada periode selanjutnya. Don’t Worry, Be Jazzy!