Serambi Jazz Agustus: Chamber Jazz dan Glen Dauna Project
Sejak mengutarakan keinginannya pada Chico Hindarto agar dapat bernyanyi untuk grup progresif Discus yang ditontonnya, Andien ternyata awet jalan satu rel dengan gitaris Iwan Hasan. Bawakan “For This Love” bareng Discus, bahkan bertolak ke Jerman ikut Festival Zappanele (Agustus, 2009), bersambung ke Chamber Jazz hingga kini, dengan ide memboyong pemain tuba untuk gantikan pos bass sekaligus drum. Dari berulang kali manggung, Bentara Budaya Jakarta (2009), Salihara, sampai Java Jazz Festival 2011 lalu, Enggar Widodo menggenapi formasi Chamber Jazz, setia meniup tuba. Bulanan Serambi Jazz di Goethe Agustus ini (12/08/’11) kembali membawa formasi unik ini ke atas pentas dengan menampilkan Andy Gomez pada piano dari yang biasanya dikawal Mery Kasiman.
“Dat Dere” yang mengalir lancar dalam gaya obrolan saling timpal adalah lagu yang menggemaskan untuk disimak live. Bagaimana tidak, Andien berlakon pas sebagai anak Iwan Hasan yang merengek inginkan segala sesuatu yang dilihatnya, hingga bahkan tunjuk, “I want that big elephant over there!” Iwan meladeni “putrinya” itu, kadang memotong kalimat manjanya, dalam jawaban yang membungkus rapi blues tradisional yang dahulu biasa menceritakan kegelisahan kaum kulit hitam. Nomer ini pulalah yang dapat melibatkan penonton dalam drama ayah-anak tersebut dengan Andien malam itu memilih kamera foto salah seorang di barisan depan sebagai korbannya. Tanpa terasa pula, tiupan Enggar jadi bas berjalan yang disiplin menandai tiap ketukan kuat sementara piano Andy membunyikan ketukan lemah.
Kesempatan unik yang lain adalah mendengar emulasi dengung logam gamelan lewat manipulasi karakter sustain gitar Iwan Hasan pada medley “Javanese Suite“. Ia menggunakan staples pada dawai-dawainya, manipulasi yang diistilahkan prepared guitar dan digunakan sebelumnya oleh misalnya, gitaris klasik Dušan Bogdanović atau Apostolos Paraskevas, ataupun prepared piano oleh John Cage. Saat semua senyap, hanya bunyi gema permainan gamelan yang memenuhi ruangan, seolah menggambarkan ruang berkhalwat atau malah pengalaman suwung. Andien menembang sederhana, meninabobokan menurut kebiasaan Jawa (“Tak Lelo Lelo Lelo Ledung“). Lagu ini menjadi kesempatan untuk tampilkan warna progresif Iwan Hasan dengan menyambungkan kontras “Padang Bulan” dan “Cublak Cublak Suweng“.
***
Sering tampil sebagai sideman, mungkin menyebabkan banyak yang tak tahu bahwa Glen Dauna punya komposisi-komposisi orisinal. Kreasi hingga satu dekade lalu dirangkumnya dalam album “Flying Kites” dengan “Kembali”, selesai Juni 2008, sebagai karya terkini yang masuk. Matang berkat rajin pentas, Glen Dauna Project jauh mengungguli albumnya dengan dukungan anak-anak Glen sendiri, Indra Artie Dauna (trumpet dan flugelhorn) dan Rega Dauna (harmonika) yang ikut unjuk diri malam itu. Fusi “She” yang menggigit di atas rapat simbal straight ahead (Deska Anugrah Samudra) plus shaker Adjie Rao terdengar sangat moderen, menampilkan Jeffrey Tahalele sebagai tamu.
Indra yang ditampilkan di pembuka “Something” tanpa canggung, permainan ballad muted trumpet-nya dapat kita cari di album perdana Bandanaira. Rega, 13 tahun, yang dimunculkan “I’ve Grown Accustomed to Her Face” ternyata istimewa, punya kualitas lirikal, warna tonal dan bending ala Toots Thielmans (bisa dicek di video ini). Nomer musikal klasik My Fair Lady (1956) itu juga jadi kesempatan Glen untuk tunjukkan kelihaian aransemennya. “Midnight” bertempo lambat juga bisa direkomendasikan sebagai andalan orisinal Glen, apalagi ada unison Indra dan Rega eksekusi melodi kuatnya. Proyek ini didukung double bass Joshua Arifin untuk Serambi Jazz, sehingga otomatis mayoritas adalah bakat-bakat muda.