Masyarakat Tengger punya setidaknya dua perayaan besar tahunan yang sekaligus jadi agenda wisata Gunung Bromo. Upacara melarung sesajen ke dalam kawah saat Kasada dan ritual besar Hari Raya Karo. Bagaimana dengan ide “jazz” sebagai ikon ke tiga dari Bromo? Betapapun janggal kedengarannya, empat kali sudah ada panggung jazz di megastruktur bentang alam yang membuat segala sesuatunya terlihat kerdil ini. Jazz on Bromo (23/09/’11) menyusul tiga kali Jazz Gunung, tepat di saat jazz hiasi juga Solo dan Bandung. Mengambil posisi di tengah maraknya pentas jazz tanah air (yang sampai berskala festival), terlihat usaha menyelaraskan materi ke dalam khazanah lokal Bromo. Ini diwakili oleh misalnya, pembukaan yang menyuguhkan jazz sebagai latar reog hingga sang singa barong capai puncak transnya. Saat itu dukun pandita yang datang dari dukuh yang berjarak 2 km dari lokasi bersama puluhan penduduk lainnya, berbangga kepada WartaJazz bahwa yang sedang tampil adalah kesenian Tengger.
Payung istilah world music yang lazim dipakai untuk menyebut penampilan Artmoschestra, Prabumi atau Bali Intertribal Organizatioon (BAIO), proporsinya cukup besar. “Ura Uri Tengger” dijelajahi Artmoschestra yang berbasis di Malang. Menurut pemain rebab Redy Eko Prastyo, Tengger adalah contoh identitas yang mampu bertahan jadi dirinya sendiri sebagaimana kelompok ini coba gambarkan. Kelompok Prabumi (Yogya) yang di antaranya bawakan “Fantasi Merak” dan “Umbul-umbul” pun menderetkan bonang sebagai perkusi kontemporer dengan pukulan mallet seolah mainkan vibrafon. Memperkuat warna etnikal BAIO , Vigneswaren Raja Endran dipasang mainkan tabla lebih dalam intensitas dominan loop. Ia mengaku baru kali pertama main dengan gitaris Yuri Mahatma di grup yang vokalisnya, Kacir Maitakai, bikin kita ingat grup NERA (coba saja dengar “Adek Nona Baju Bola-bola”). Gitaris Koko Harsoe, yang juga bertindak sebagai kurator acara, pun bawakan “Suita Singosari”, nomer progresif cerita kerajaan dalam beberapa babak aransemen dengan fitur permainan violin Helga Sedli (Hungaria).
Pagelaran gratis ini berhasil mengelak dari beban mengembel-embeli acaranya dengan kata “jazz” lewat isi yang bertanggung jawab. “Subconcious-Lee” milik Lee Konitz diluncurkan fasih kuartet Joe Rosenberg; translasi halus saksofon sopran plus fitur langkah klasik double bass Indra Gupta. Dinamika tegang-renggang solo drum Iman Najib yang membuka “All of You” (Cole Porter) dan radians permainan Jeko Fauzy dalam kuartet ini sekaligus tunjukkan bagaimana Bali telah jadi wadah perkembangan jazz di timur. Syaharani yang meringankan suasana juga masih pilih jazz “Dindi” atau “Route 66” di tengah neraca.
Program Jazz on Bromo yang diselenggarakan Kementerian Budaya dan Pariwisata Indonesia ini diharapkan mampu jadi lab kebudayaan yang bisa saja memunculkan ekspresi yang baru dari pertemuan dengan musik global. Staf ahli menteri Hari Untoro pun menambahkan, “Bukan hanya musik, mungkin ekonomi kreatif juga bisa tampil ke depannya.”
Ada yang berani bilang inilah jazz agraris. Dengan membuka pintu, jazz memang bisa saja jadi bagian dari Bromo, toh Bahasa Jawa kuno tanpa kastanya Suku Tengger sejajar spirit jazz.