Konsep Segar Budjana: Kuartet Akustik dari Timur
Ini adalah kali pertama Dewa Budjana tampil eksklusif minus pemain drum. Sebelum-sebelumnya sesi serupa Salihara itu (5/2/’12) hanyalah jeda dari penampilan full band ataupun konsep duet gitar yang sungguh beda dari ensambel berformat band. Kuartet ini pun terbilang murni akustik dengan sedikit pengecualian pada departemen gitar dan loop mesin drum yang lebih ke semburat warna sebagaimana dipahami dari rilis-rilis jazz moderen berbangun akustik. Patut kita syukuri bahwa Tony Prabowo, kurator program Jazz Buzz ini, justru melarangnya untuk tampil seperti biasa kendati sedang hangat-hangatnya luncurkan album baru. Dengar “Dawai in Paradise” malam itu malah dapat bonus, bisa menyaksikan Sruti Respati tambahkan komposisi non-Budjana.

Laiknya dolanan hom pim pa menyandikan pesan transendental ke dalam lagu anak-anak yang mudah, “Soyang” yang mengalun dalam khazanah langgam Jawa pun ternyata tak cukup dijelaskan dalam satu dua kalimat oleh Sruti. Niscaya kita akan berpikir kembali penjelasan Bu Guru asal Solo itu soal bait “nduk cenger anak kulo bade ngenger” sambil menggumamkan melodi sederhananya. Memang sederhananya tangga nada tradisi ini justru secara alami membuatnya dominan dan dihindari karya kontemporer. Akan tetapi, Budjana justru berdamai, “On The Way Home” misalnya tak terdengar sebagai kopian musik masa lalu.
Dalam situasi paling balance sekalipun, kita akan kurang fokus pada Jalu Pratidina kalau ada drum. Dering hipnotik mangkuk perunggu Tibet yang dihasilkan gerakan sirkular, gendang-gendut udu dari kombinasi pukulan di sekitar-dan-pada lubang perkusi gerabah itu, dan kendang yang set-nya ditambahi darabuka. Belum lagi saat bunyi-bunyi itu mengorbit di sekitar pukulan primer, baik kendang maupun udu, Adi Darmawan meningkahinya dengan menjadikan bass-nya perkusi ke dua seperti pada “Gangga”. Ulahnya jadi komplemen Jalu pun diulangi dengan aksen khas cak cuk grup keroncong saat “Dur Manggala Medhar” dinyanyikan, diambil dari interpretasi Sruti atas karya Goenawan Mohamad. Pemain bass yang satu ini pun menunjukkan kelasnya dengan tidak bersolo tipikal jazz. Pada “Malacca Bay” Adi memainkan nada-nada dengan teknik harmonik dan bukan merepet dalam logika bebop ataupun blues. Ini adalah sesuatu yang konsisten dikejarnya mengingat ia pun pernah memilih bergaya comping dengan potongan-potongan akor pada slot improvisasi yang biasanya justru bikin pemain nafsu.
Register atas formasi ini diisi tiupan suling Saat “Borneo” Syah yang mengingatkan pada peran bansuri Hariprasad Chaurasia di album “Making Music” (Zakir Hussain, 1986). Tentu saja sesi duet “Lonely” jadi wajib plus nomer anyar “Dawaiku” yang sayangnya kehilangan momentum progresi bridge dibanding isian Howard Levy yang memeluknya dalam idiom jazz pada versi rekaman. Agaknya keunggulan Saat adalah pada porsi musik Timurnya yang sekaligus mewakili peluang arah kompas kuartet ini ke depan. Tidak berlebihan jika pada instan membaca iklan pertunjukkan ini, langsung terbayang panggung posisi duduk. Bahkan jadi berharap bahwa kita akan dapat memperoleh dokumentasi berharganya, seperti halnya rilis video live Remember Shakti, kuintet dari Timur yang lebih dahulu tersohor.