News

Jen Shyu, Sang Seniwati Vokal Sejati

Jen Shyu, Sang Seniwati Vokal Sejati

Liputan konser Inner Chapters oleh Jen Shyu, Teater Salihara Jakarta.

Jen Shyu tampil malam Minggu lalu, 21 April 2012, sedikit mundur dari jadwal tertulis pukul 20.00, tetapi penantian itu bukan hal yang menyebalkan ketika pertunjukan yang ditunggu-tunggu ternyata amat spektakuler. Inner Chapters, tajuk program malam itu, adalah olahan wanita berdarah campuran Taiwan dan Timor Leste tersebut dari perjalanannya melintasi Kuba, Brazil, Taiwan, Cina, Timor Leste dan Indonesia.

Foto: Witjak W. Cahya-Salihara

Terdengar mengejutkan, perjalanan lintas negara yang ia tempuh merupakan proses bagi Jen untuk menemukan dirinya sendiri. Usai pentas malam itu, lewat sesi tanya-jawab ia mengajak penonton untuk tidak melulu terpaku pada upaya memahami bahasa yang digunakan. Menanggapai pertanyaan audiens, Jen berujar, “Biarkan program notes ini jatuh dari tanganmu, singkirkan upaya untuk memahami… biarkan dirimu bertualang entah ke mana, sehingga kamu mungkin mengenal dirimu lebih baik. Mari bersamaku…,” terangnya.

Komposer pula kurator Komunitas Salihara Tony Prabowo, berceletuk esok harinya di tengah lingkaran pertemanannya dengan penikmat jazz, “Jen Shyu gila! Dia main selama kurang lebih satu setengah jam tanpa jeda. Gila!,” ungkapnya. Dan itu benar adanya, melihat Jane beraksi diatas panggung tanpa henti memang memunculkan pertanyaan-pertanyaan awam; tidak letihkah? Tidak lupakah? Sebagai pelaku musikpun, penulis heran akan kemampuan improvisasi seorang Jen Shyu yang luar biasa, sebagian besar “lagu” dalam pertunjukan itu adalah rancangan untuk kepentingan ritual improvisasi.

Improvisasi tanpa batas itulah yang melenakan audiens untuk larut dalam aneka bunyi dan suara yang dirancang Jen – untuk memenuhi pencarian akan kebaruan dan sensasi mutakhir dari khazanah lama, bahkan purba.

Sebagian besar karya yang dibawakan oleh Jen Shyu mengambil idiom lagu rakyat dan puisi dari penyair lokal yang  ia temui selama sembilan tahun perjalanan, sejak 2001 hingga 2010. Beberapa nomor bernuansa magis antara lain “Aria from Simcheongga,” Jen berlari sambil menari-nari, seolah terbang dari ujung kiri atas menuju depan panggung, serta komposisi “Video” yang berduet dengan Maria de Jesus, seorang wanita petani dari desa Makili nun jauh di Timor Leste lewat sentuhan teknologi perekam gambar dan suara yang terlihat interaktif.

Jen turut pula hadirkan “Bawa Sidoasih” layaknya seorang pesinden jawa sejati. Ia mengingatkan para hadirin, bahwa kapan serta di manapun berada, kita adalah satu: warga semesta! Jen berpesan, “We are not separate beings, we are brothers and sisters.” (Maria Sancti Tukan/WartaJazz)

Thomas Y. Anggoro

Lulusan ISI Yogyakarta. Telah meliput festival di berbagai tempat di Indonesia dan Malaysia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker