Menikmati Kolaborasi Oran Etkin di @america
Ditilik dari asal namanya, kata “clarinette” bergender feminim dalam tata bahasa Perancis. Kalau Oran Etkin memilih personifikasi alat tiupnya itu sebagai Clara, bocah dengan tawa yang menggelitik, maka lengkaplah bayangan dunia ajaib kanak-kanak tempat klarinet bisa berbicara, menguap karena kantuk, dan melulu ingin menari sebagai seorang gadis cilik. Cuplikan dialog imajiner Clara dari proyek musik usia dini “Timbalooloo” itu ditampilkan dalam “All I Really Wanna Do Is Dance” di Pusat Kebudayaan @america pada konser Oran Etkin & Indonesian Friends (29-30/06/’12). Dalam sensibilitas Monk setiap keinginan Clara Net diucapkan dalam dialek naik-turun panjatan vertikal klarinet. Oran memang bukan sekedar menjadi maestro alat tiup kayu ini, namun ia juga terlibat aktif program musik anak-anak yang dirangkum rilis “Wake Up Clarinet“. Bahkan salah satu testimoni dari orang tua yang anaknya berpartisipasi menyebutkan bahwa anaknya bisa bicarakan Herbie Hancock, Mozart, dan samba dengan sekaligus tahu bedanya.
Selain dipasangkan dengan penabuh drum Sandy Winarta, salah satu nama yang kemudian muncul jelang kunjungan Oran adalah bassist Fajar Adi Nugroho. Sempat kaget juga kalau ternyata pemain sesi muda ini mainkan juga kontrabas. Ruang egaliter seperti “WKCR” di awal pentas membuka peluang perlihatkan sisi lain Fajar yang dikenal kental pada permainan elektrik. Nomer yang menurut Oran belum punya judul pas itu sementara gunakan nama radio New York tempat band proyek “Kelenia” berwarna Mali menampilkannya. Konsep ensambel Afrika yang masih terbawa pada nomer-nomer lain boleh jadi adalah pembangkit pola baru permainan Fajar.
Fajar tak sendiri, Sandy pun terdengar punya keleluasaan lebih untuk ciptakan ragam aksentuasi yang diakomodasi kanvas lapang ritme Afrika. Ia memperlihatkan permainan intelek dalam interval emosi yang konstan, padu dengan jazz kit minimalis yang dipakainya. Saat Oran kembali pilih klarinet bas untuk interpretasi ulang “Gambang Suling“, Sandy pun pilih isian Herlin Riley untuk versi “Blue Moon” Ahmad Jamal dengan pukulan rim yang renyah ditimpali iringan keroncong. Dari sisi progresi, aspek lain tembang dolanan inipun jadi terbuka: musik Latin yang dapat dikenali instan.
Dalam dua kali pertunjukkan terdapat pula dua formasi. Pada malam pertama Enggar Widodo isi pojok kanan panggung dengan trombon dan tuba, sedangkan pada malam ke dua ada suhu kendang Sunda Ade Rudiana dan bakat muda Gerald Situmorang di kedua sayap. Kalau kita bagi secara sederhana antara penampil jazz yang sudah punya plot jelas dengan yang cenderung serta-merta pada saatnya, maka para musisi ini harus berdiri di kutub ekstrim yang ke dua saat bertim dengan Oran Etkin. Masalahnya kemudian adalah pada di mana titik masuk dan keluar yang pas apabila interaksi antarpemain jadi mutlak di tiap lagu. Enggar terlihat agak kerepotan dengan pungtuasinya, sementara esoknya Gerald baru muncul keberaniannya menginjak pedal manipulasi delay dan volume pada nomer ke tiga, “Detach“.
Ade yang dikenal sebagai maestro tradisi dengan pikiran terbuka menyumbangkan duet istimewa gaya-New Orleans bunyi-Pasundan dalam klasik “Basin Street Blues” yang lekat dengan nama Louis Armstrong. Oran yang mengakui besarnya pengaruh musik Armstrong pada dirinya mendapati duet intro itu sebagai momen langka. Walaupun kali ini kolaborasi konser masih sebatas proyek, kesempatan rintisan seperti ini layak dikejar. Akan sayang jika parasut jazz tak mengembang terbuka atau malah jadi percuma.